Beberapa waktu lalu saya sempat diikutsertakan dalam pameran kain Kafan di sebuah tempat di Jakarta. Waktu ditawarkan dalam kegiatan ini, saya senang karena rasa ingin tahu saya akan terealisasi. Seperti manusia pada umumnya sebagai makhluk ingin tahu, saya pun ingin tahu apa itu kain Kafan. Saya sudah lama mendengar nama ini namun hingga saat itu masih banyak pertanyaan. Saya pernah melihat gambar kain Kafan itu di buku tetapi tidak lama saya melihatnya karena takut. Kok, gambarnya kayak gini, emang ga ada yang lebih baik? Serem!!!
Tanda tanya besar yang menempel di dahi saya ketika hampir tiba di lokasi pameran adalah, “Betulkah kain Kafan itu penutup jenazah Yesus?” Saya mengiyakan saja apa yang sudah lama diyakini umat Katolik bahwa kain Kafan adalah kain penutup jenazah Yesus. Satu motivasi saya mengikuti kegiatan pameran kain Kafan ini adalah mencari jawaban dari pertanyaan saya tadi. Akankah jawaban itu memuaskan saya? Tidak tahu, intinya saya mencoba mencari jawaban dan kalau boleh meminta jawaban dari pemandu acara pameran ini.
Teman-teman serombongan saya rupanya sama dengan saya, masih asing dengan istilah ini. Beruntung saya sudah mendengarnya lebih dahulu. Para pemandu hilir mudik di sekitar ruang tunggu. Merekalah yang melayani dengan memberi penjelasan tentang kain Kafan pada tiap rute yang disediakan panitia. Ini membantu pengunjung karena disuguhkan stand-stand sebagai manivestasi dari kain itu. Stand-stand itu berisi gambar mulai dari proses penemuan kain kafan itu, proses penelitian terhadap kain itu, sejarah tempat penyimpanannya hingga dimuseumkan. Menarik tentu saja.
Tibalah giliran kami masuk. Saya berdiri paling depan untuk mendengarkan penjelasan pemandu dan melihat dari dekat gambar-gamabar seputar kain Kafan. Penjelasannya cukup memuaskan, menarik, tidak tergesa-gesa, hanya saja tidak ada kesempatan bertanya. Kesempatan bertanya sedikit saja mengingat rombongan lain masih antri di belakang kami. Gambar-gambarnya cukup seram. Gambar-gambar ini adalah semacam replika dari kain Kafan asli yang disimpan di museum di Turin, Italia. Pada kain ada gambar jejak seorang manusia yang kelihatan seperti dianiaya hingga tetes darah terakhir. Mungki itu yang diyakini sebagai Yesus. Tentu itu tidak mudah mengidentifikasi orang itu atau sedikitnya ciri-ciri orang itu. Di sinilah para ahli berkecimpung. Ratusan ahli dengan berbagai keahliannya meneliti kain misterius ini. Ada yang meneliti dari sudut pandang bahan asli kain itu, umurnya kain itu, kekuatan kain itu ketika berhadapan dengan suhu dan cuaca yang berbeda, dan sebagainya. Singkatnya, kain itu diteliti oleh para ahli ilmiah. Menarik di sini karena para peneliti bukan hanya berlatar belakang agama yang berbeda tetapi juga kaum ateis (tidak beragama atau tidak percaya akan adanya Tuhan). Variasi latar belakang keahlian dan kepercayaan tidak menyurutkan niat mereka untuk bersatu meneliti kain Kafan itu.
Hasil akhir penelitian mereka ternyata agak mirip. Ada yang menemukan bahwa kain itu memang merupakan kain pembungkus jenazah seorang pemuda yang dianiaya, disiksa dengan beberapa pukulan, cambukan, dll. Pemuda itu berambut panjang dan ada beberapa bagian tubuhnya yang kena tusukan. Identifikasi ini agak mirip dengan ciri-ciri manusia yang bernama Yesus. Agak mirip belum tentu berarti itu Yesus dan belum tentu itu bukan Yesus. Siapa tahu ada pemuda yang mirip Yesus. Singkatnya ada kesulitan dalam mengklaim bahwa itu wajah Yesus. Kalau demikian, mengapa umat Katolik meyakini bahwa kain Kafan adalah kain pembungkus jenazah Yesus?
Saya tertarik dengan kata-kata almarhum Paus Yohanes Paulus II pada suatu kesempatan melihat kain kafan ini, “Gereja Katolik tidak berhak untuk mengatakan bahwa kain Kafan itu adalah kain yang betul-betul digunakan untuk membungkus jenazah Yesus, biarlah para ahli (yang berasal dari berbagai keahlian dan berbagai latar belakang agama-tmbhan pen.) yang membuktikan dengan penelitiannya.” Jawaban ini cukup berarti bagi saya sebagai sang pencari jawaban. Jawaban ini mengandung sikap rendah hati yang tulus dari seorang pemimpin agama Katolik. Akhirnya, saya sebagai orang Katolik hingga saat ini meyakini bahwa pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Apa yang kelihatan kadang tidak kelihatan. Dalam artian dalam apa yang kelihatan tampak pula misteri yang tidak mudah dikuakkan. Terima kasih untuk pemandu dan teman-teman yang mengikutsertakan saya dalam pameran kain Kafan ini.
Jakarta, 29 Oktober 2010
Gordy Afri