Halloween party ideas 2015

Kita tentu tak bisa memungkiri kehadiran sebuah benda unik dalam kisah kelahiran Yesus. Palungan, tempat Yesus dibaringkan. Semua orang Kristen (dan juga bukan Kristen) hampir pasti mendengar nama benda ini setiap kali merayakan Natal. Mungkin kita dengan saksama mencari makna di balik palungan ini namun mungkin juga tidak. Pertanyaannya bias saja demikian, Mengapa Yesus kok lahir di benda yang kotor ini? Tetapi bisa juga demikian, Mengapa kita harus memperhatikan palungan yang adalah benda tak bermanfaat itu, hanya untuk tempat makanan ternak saja. Apa pun pertanyaannya tentu tergantung situasi hati kita masing-masing. Tetapi ada baiknya kalau kita mengetahui lebih kurang makna di balik palungan itu.

Menurut hemat saya, palungan sangat berarti di balik kelahiran Yesus. Palungan merupakan simbolisasi maksud kedatangan Yesus. Biasanya, anak-anak ternak mengambil pakan dari palungan yang sama. Satu palungan untuk semua ternak. Saya kira tidak kurang kalau kita (manusia) diandaikan sebagai ternak-ternak itu. Meminjam kata-kata dari seorang bapak Pendeta dalam perayaan Natal bersama di sekolahan bulan Januari lalu, “Kita mau mengambil makanan dari palungan yang sama.” Maka dalam arti tertentu kita bersatu. Kita berasal dari sumber yang sama. Yesus justru hadir dalam palungan itu. Dan kita makan dari palungan itu. Di sini, saya melihat bahwa Yesus mau mengajak kita untuk mengambil bagian dalam karya-Nya, mengambil makanan dari palungan yang sama, dan sekaligus mau menyadarkan kita bahwa Dia adalah pemersatu. 

Saya meminjam kata-kata Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatulah, Jakarta (KOMPAS 24 Desember 2010), “Yesus mengajarkan, jika kita ingin dicintai maka cintailah sesama.” Kehadiran Yesus tidak hanya menyatukan kita (manusia dengan manusia) tetapi juga menyatukan kita dengan lingkungan, dan tentu saja dengan Dia yang lahir di palungan. Dalam hal inilah kita ditantang untuk membuktikan kepada sesama bahwa kita sadar atau disadarkan akan pengaruh cinta Tuhan itu.

Kehadiran Yesus di dunia mau menegaskan bahwa Allah sungguh mencintai manusia. Yesus hadir dan turun menjadi manusia untuk mewujud-nyatakan cinta Bapa kepada semua manusia. Dengan menjadi manusia Yesus bisa mencintai, mendekatkan diri dengan manusia, dengan semua manusia. Maka, semoga perayaan natal ini membawa pembaruan bagi kita semua. Semoga kita tidak terjebak dalam kerangka berpikir bahwa Natal hanyalah sebuah festival agama saja (meminjam kata-kata Komaruddin Hidayat, KOMPAS 6 Desember 2010). Natal bukanlah sebuah festival tetapi sebuah perayaan berahmat, di mana Allah turun menjadi manusia karena mau mencintai manusia. Selamat Natal untuk kita semua.
Cempaka Putih, 25 Desember 2010
Gordi Afri

www.orchidsplus.com
Saya sering mendengar pendapat banyak orang bahwa tanaman bunga itu indah. “Bunga-bunga itu indah”, “Bunga di tamanmu ada berapa jenis?” “Bunga itu begitu cantik dan wangi”, “Ada bunga bru di taman ini”, “Kita ke taman bunga yuk..”, “Kita cari tempat yang nyaman misalnya di taman gitu…” dll. Kalimat-kalimat semacam ini kiranya mewakili pendapat sekelompok orang yang begitu terkesima dengan tanaman bunga. Saya kurang begitu ingat kapan dan saat-saat mana saya mulai tertarik dengan bunga. Saya pernah menanam bunga, merawat tanaman di halaman, di dalam ruangan, di dinding rumah, dan sebagainya tetapi saya tidak merasa begitu tertarik. Ada ketertarikan terghadap bunga tertentu dan pada saat tertentu misalnya bunga mawar yang sedang mekar. Namun, saya tidak pernah merasa seolah-olah bunga menjadi sesuatu yang sublime sehingga harus didewa-dewakan, dibesar-besarkan ceritanya. Meski demikian saya menghargai pendapat teman-teman yang begitu terkagum dengan bunga. Hanya saja saya heran, mengapa banyak orang khususnya orang-orang tertentu begitu tergila-tergila dengan bunga? Apa daya pikat sehingga dia begitu terpesona dengan bunga? Adakah hal lain yang membuat dia/mereka terpikat dengan tanaman yang namanya bunga? Adakah pesan khusus dari bunga sehingga mereka harus memiliki taman bunga atau sekurang-kurangnya di samping mereka ada bunga?




Di samping saya ada tanaman bunga, ada taman bunga, ada pot bunga. Di rumah dan di rumah tetangga ada bunga bahkan ada ada taman bunga yang ukurannya besar. Di kampus saya ada bunga, di gereja, di tempat-tempat umum yang saya kunjungi. Singkatnya ada banyak tempat yang disediakan untuk bunga. Bunga di sini maksudnya bunga hidup, bukan bunga hiasan yang tidak bernapas. Dari fenomena ini muncul asumsi bahwa bunga begitu disukai banyak orang. Dalam gereja ada bunga. Letaknya juga strategis yakni di altar dan sekitarnya. Umat yang mengikuti perayaan ekaristi pasti melihat bunga ini. Dan kalau coba dihitung, kira-kira berapa banyak yang suka akan bunga itu? Cara menata dan merangkai bunga itu bagus sehingga banyak orang melihatnya dan bahkan banyak orang tertarik untuk melihatnya. Untuk mengukur suka-tidaknya orang pada bunga di altar itu gampang saja. Coba saja pada satu hari Minggu altar dibiarkan tanpa bunga. Saya pernah mendengar bisikan beberapa orang di samping saya, “Kok agak lain ya. Altarnya kurang begitu bagus. Coba kalau dihiasi bunga….” Ini menunjukkan bahwa ada orang yang masih mengharapkan adanya bunga di altar. Ini hanya sekadar contoh untuk menggambarkan bagaimana orang tertarik melihat bunga. Di tempat-tempat umum lainnya bisa saja ada komentar seperti ini. Pertanyaannya, mengapa orang begitu tertarik dan bisa kagum pada bunga?


Pengalaman tertarik dengan bunga merupakan pengalaman personal. Pengalaman personal yang bisa diceritakan kepada orang lain. saya kira ini soal perasaan. Dan perasaan merupakan sesuatu yang abstrak. Kadar ketertarikan orang pada bunga tidak bisa diukur dengan pasti dan tentu saja berbeda untuk tiap orang. Ketertarikan itu muncul dari hati dan tidak bisa ditipu. Saya hanya bisa mengatakan saya tertarik dengan bunga yang berwarna merah itu sementara teman di samping saya tertarik dengan bunga yang berwarna kuning. Kami tidak bisa menjelaskan kadar ketertarikan saya sekian. Yang bisa dijelaskan mungkin hal-hal lahiriah misalnya warnanya, wanginya, bentuknya, dll. Tetapi hal esensial yang membuat saya tertarik tidak bisa dijelaskan. Dan memang hal-hal lahiriah inilah yang bisa membuat orang tertarik pada bunga. Orang buta tidak bisa merasa tertarik dengan bunga karena warnanya. Ia mungkin bisa tertarik karena wanginya.

Ciri-ciri lahiriah dari bunga inilah yang membuat orang melihat bunga mempunyai daya pikat tersendiri. Orang-orang tertentu berjuang mati-matian mendapatkan bibit dari sebuah bunga karena ia merasa bahwa bunga itu mempunyai arti baginya. Entahkah pengalaman masa kecilnya atau pengalaman jatuh cinta atau pengalaman lain. Bunga itu bisa membuatnya menghayal dan mengingat pengalaman bersama orangtua, bersama sang kekasih, dll. Bunga menjadi tempat untuk curhat mengenai peristiwa tertentu, masa tertentu. Saya senang ketika pada suatu kesempatan disuruh untuk mencari bunga kembang sepatu. Waktu kecil bunga ini mendominasi pagar taman kami. Tentu saja unik bagi saya pada saat itu. Tiap beberapa hari dia mengeluarkan pucuk bunga berwarna merah dan merah muda (tergantung jenis kembang sepatu). Pucuk ini menjadi rebutan antara dua kelompok makhluk hidup. Manusia (saya dan kakak saya) dan beberapa kelompok burung. Saya dan kakak saya berebut untuk memetik pucuk ini. Di dalamnya ada cairan manis yang bisa dinikmati. Begitu pula dengan beberapa jenis burung pipit yang mencurinya dari taman kami. Mereka mau menikmati manisnya pucuk itu. Warnanya juga menarik perhatian saya. Warna merah/merah muda bisa dilihat dengan jelas dari jauh. Ketertarikan akan warna dan wangi pucuk kembang sepatu ini berlaku juga bagi para tamu wisata di hotel tempat saya pernah tinggal. Mereka—yang umumnya dari Eropa—senang kalau ada bunga di kamar. Ini menandakan bahwa ada alasan yang memikat hati banyak orang untuk tetarik dengan bunga. Alasan ini bukan berkadar rasional tetapi cenderung berkadar perasaan (feeling) meskipun yang perasaan itu bisa dirasionalkan.
www.happyvalentinesday14february.com

Di samping itu, saya kira hal lain yang menarik banyak orang untuk memiliki, merawat, menikmati tanaman bunga adalah zat kimia yang dikeluarkan oleh bunga. Seperti tanaman-tetumbuhan umumnya, bunga mengeluarkan oksigen (O2) yang dibutuhkan oleh manusia. Dia menghasilkan banyak oksigen. Tak jarang banyak orang di kota besar memelihara banyak bunga di rumah, di kantor, di taman umum, di mal, dan tempat umum lainnya. Dari sini terpancar kehijauan yang merupakan reduksi dari warna alam asli. Warna-warni juga akan tampak dari beberapa jenis bunga yang memiliki warna tertentu. Keindahan akan tampak. Selain itu, banyaknya bunga akan mengurangi proses pemanasan global (global warming) yang sekarang ini sedang menjadi perhatian dan keprihatinan banyak orang. Makanya, ada alasan bagi orang tertentu untuk terkesima dan kagum ketika melihat bunga, melihat taman bunga yang hijau dan indah. Di tengah hiruk-pikuk dan kacau balaunya polusi udara Jakarta, saya kagum dan merasakan indahnya taman bunga dan pemandangan alam di puncak. Bersih dan segarnya udara di puncak membuat saya betah dan ingin duduk berlama-lama di taman bunga di salah satu rumah peristirahatan. Tak heran kalau orang mengatakan surganya dunia adalah taman bunga.

Terakhir. Bunga bisa menjadi pembawa pesan khusus. Pesan yang tampak sekaligus tidak tampak. Saya pernah memberi sepucuk bunga kepada teman saya. Bunga itu dititipkan pada teman saya yang lain, dan pernah juga saya sendiri sengaja menaruh di atas meja belajarnya. Dia senang, kagum, dan tertarik dengan bunga itu. Bunga itu mempunyai banyak pesan yang tidak tampak, tergantung dia menafsirkannya. Saya memberinya hanya mau mengatakan bahwa kamu secantik bunga ini, penampilanmu secantik bunga ini, dan sebagainya. Bagi dia mungkin ada yang lebih dari situ. Bunga dari sang kekasih menimbulkan multi-tafsir. Namun, pada intinya bunga menjadi ungkapan cinta antara dua remaja, dua kekasih yang sedang dibakar oleh kobaran cinta. Bunga dari sang kekasih menjadi kandungan memori yang begitu kuat dalam jangka waktu tertentu. Bunga itu bisa menjadi ungkapan cinta terdalam antara dua kekasih. Singkatnya bunga menjadi jembatan cinta yang keliahatan sekaligus transenden (baca= melampaui yang kelihatan). transenden karena makna di balik hadirnya bunga itu—bagi orang tertentu—begitu dalam, kadang tak terbayangkan. Maka, saya senang karena di samping rumah, di halaman kami ada banyak bunga. Begitu juga di rumah tetangga. Bunga-bunga itu menjadi obyek untuk menghilangkan kepenatan dan kejenuhan di tengah banyaknya materi kuliah juga menjadi obyek mata untuk bernostalgia. Maka, mari kita memelihara bunga………
Jakarta, 6 Desember 2010
Gordy Afri





Beberapa waktu lalu, saya dicegat oleh seorang remaja. Dia mau menanyakan perihal pakaian berwarna Ungu yang dikenakan oleh pastor saat memimpin misa. Pertemuan yang adalah sebuah kebetulan. Kebetulan dia lewat dan bertemu saya. Lalu, dia menodong saya untuk memenuhi keingintahuannya akan arti warna Ungu yang dikenakan pastor itu. Peristiwa ini membuat saya untuk peka dengan perkembangan yang terjadi di sekitar saya. Remaja ini begitu tanggap melihat peristiwa di sekitarnya. Dia datang ke gereja lalu melihat hal yang baru yakni pakaian berwarna Ungu. Hari-hari Minggu sebelumnya dia datang ke gereja dan seperti biasa dia melihat sang gembala mengenakan pakaian berwarna Hijau. Perubahan pada pola berpakaian sang gembala ternyata tak luput dari perhatian para pemerhatinya. Mungkin remaja ini kurang mendengarkan penjelasan sang gembala perihal perubahan pakaian yang dia gunakan dalam misa. Biasanya, sang gembala memberi penjelasan tentang makna pakaian itu atau sekurang-kurangnya mengapa dia mengenakan pakaian berwarna itu.
Menurut buku yang saya baca, warna Ungu dalam pakaian pastor itu mempunyai tiga arti yakni prihatin, matiraga, dan tobat. Warna ini dikenakan pada masa adven. Ya, adven yang berasal dari kata bahasa Latin, adventus yang artinya kedatangan. Kedatangan Dia yang adalah Tuhan kita Yesus Kristus. Menunggu kedatangan seseorang mengandaikan bahwa sebelumnya ada kerinduan. Kalau saya merindukan orangtua saya berarti saya mempunyai harapan bahwa ada saatnya nanti saya bertemu orangtua saya. Saya menunggu waktu yang tepat yakni pada masa liburan. Dalam kerinduan kita berharap dan sambil berharap kita mempersiapkan hati kita untuk menerima Dia (dan dia/mereka) yang kita tunggu. Menerima Dia dengan hati yang bersih akan lebih berguna daripada menerima Dia dengan hati yang kotor. Kotor karena kita kurang menggunakan waktu penantian untuk memebersihkan hati kita. Orang-orang di kampung membersihkan segala penjuru kampung sebelum pak camat datang mengunjungi kampung mereka. Pemerintah Indonesia bersama masyarakat Jakarta mempersiapkan segala sesuatu—termasuk menyingkirkan hewan korban dari jalur-jalur utama—sebelum kedatangan Obama. Sudah sepantasnya memang kita menyiapkan hati yang bersih untuk menerima Dia, menerima siapa saja yang datang ke hadapan kita.
Saya kira remaja yang bertanya tadi sudah siap menerima Dia. Keberaniannya mencegat saya untuk bertanya merupakan sebuah kesiapan. Siap kalau terjadi apa-apa. Sebab, ada hal baru yang ia temukan. Kita ingat saudara/i kita di Mentawai, Yogya, dan warga sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur yang setiap saat selalu siap. Mereka siap-siaga kalau-kalau terjadi bencana alam, tsunami, tanah longsor, semburan lahar, dll. Kita mestinya selalu siap setiap saat demi menghadapi peristiwa luar biasa. Gereja Katolik mempunyai tradisi tua—sejak abad-abad pertama sejarah Gereja—untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan-Nya. Ini sebuah kesempatan berahmat yang seyogianya dimanfaatkan dengan bijaksana. Kalau masa ini dilewatkan begitu saja, kita akan menyesal nanti. Ibarat lima gadis cantik nan bodoh yang lupa menyiapkan pelita saat mempelai tiba. Bayangkan kalau kita baru sadar bahwa kita lupa membawa cangkul ketika kita berdiri di atas ladang kita. Bayangkan kalau kita lupa membawa kartu izin mengikuti ujian saat memulai ujian. Bayangkan kalau kita lupa membawa handuk ketika kita sudah basah dengan air di kamar mandi. Semuanya akan kacau-balau. Betapa ruginya kita kalau sudah diberi waktu untuk bersiap-siap tetapi hasilnya justru kosong. Rugi dan malu (kalau masih bisa merasa malu) kalau kita tidak ada bedanya sebelum memasuki masa adven dan saat mengakhiri masa adven yakni saat Dia telah hadir di hadapan kita.
Kita tidak boleh lupa untuk tetap prihatin dengan saudara/i kita di Mentawai, Wasior, Yogya, dan Jawa Timur. Kita mengisi masa penantian ini dengan sedikit rasa prihatin. Dari rasa prihatin tumbuh niat untuk membantu mereka yang kondisinya agak prihatin. Dengan demikian kita tidak lagi berhenti pada rasa prihatin saja tetapi memberikan hati untuk mereka. Kita harus bisa keluar dari kemapanan kita dan keluar untuk menemui mereka yang mengalami situasi baru. Kita perlu untuk peka dengan kondisi mereka. Mari kita mengikuti jejak sang remaja tadi yang berani keluar dari rasa herannya dan mencari jawaban. Mari kita keluar dari rasa prihatin kita dan menemukan obyek yang kita prihatinkan.
Jakarta, 3 Desember 2010
Gordy Afri
Powered by Blogger.