Halloween party ideas 2015

Pendahuluan
            Tulisan ini dibagi empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengertian Substansi menurut Spinoza (Baruch dpe Spinoza, 1632-77). Bagian kedua menjelaskan dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi yakni konsep ‘attribute’ dan ‘modus’. Bagian kedua ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari pengertian substansi pada bagian pertama. Bagian ketiga menjelaskan konsep Allah atau Alam sebagai kenyataan tunggal. Bagian keempat menjelaskan konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Tulisan ini ditutup dengan kesimpulan.

Substansi menurut Spinoza
            Spinoza—seperti Descartes—ingin menemukan jaminan atau pegangan yang pasti bagi segala bentuk pengetahuan. Pegangan yang pasti itu bagi Spinoza adalah konsep substansi. Substansi menurut Spinoza adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.[i] Dalam rumusan lain Spinoza mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[ii] Konsep substansi itu sudah terbentuk pada dirinya sendiri. Spinoza memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causa sui: penyebab dirinya sendiri). Spinoza berpendapat bahwa ada satu dan hanya satu substansi, dan substansi itu adalah Allah. Ia tidak setuju dengan Descartes yang mengatakan ada tiga substansi yang saling berkaitan. Substansi ini menurut Spinoza bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Sifat lain dari substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak (artinya sama sekali tidak bergantung pada yang lain), dan tunggal. Menurut Spinoza yang memenuhi semua definisi ini adalah Allah. Allah mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, tunggal, dan utuh.[iii]
            Allah adalah substansi menurut Spinoza maka Allah adalah sesuatu yang ada pada dirinya dan dipahami melalui dirinya sendiri; Allah adalah sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya; Allah adalah suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain; Allah tidak berelasi dengan yang lain; Allah tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain; Allah bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Kalau demikian bagaimana Spinoza mengetahui atau mengenal Allah yang tak terbatas kalau Allah itu hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri? Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Di sinilah letak rasionalisme Spinoza. Rasio manusia—menurut Spinoza—mampu mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama yang adalah substansi itu sendiri.[iv] Rasio itu pula yang memampukan Spinoza untuk menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah itu. Dengan kata lain, Allah yang sedemikian tak terhingga itu bisa dijelaskan dengan kekuatan rasio manusia. Namun sebetulnya pikiran manusia itu adalah bagian dari pikiran tak terbatas dari Allah.[v] Pikiran manusia—dalam hal ini Spinoza—bisa menjelaskan sesuatu yang tak terbatas, yang melampau daya tangkapnya karena masih  merupakan bagian dari yang tak terbtas itu. Yang tak terbatas itu adalah Allah dan pikiran manusia yang menjelaskan Allah itu merupakan bagian dari yang tak terbatas itu.

Dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi
            Spinoza menjelaskan dua konsep yang berhubungan dengan konsep substansi yakni konsep attribute dan modus. Attribut  atau atribut di sini berarti segala sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi, sedangkan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.[vi] Atribut merupakan sifat atau ciri khas yang melekat pada substansi dan modi merupakan berbagai bentuk atau cara keberadaan dari substansi (dari kata modus, bentuk tunggal kata benda Latin yang berarti ‘cara’).[vii] Keluasan (ekstensi) menurut Spinoza adalah sebuah attribut karena kita tangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Sedangkan warna, ukuran, dst adalah modus. Keluasan juga merupakan attribut Allah yang adalah substansi tak terhingga. Keluasan bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Allah mempunyai sifat keluasan. Tampaknya keluasan yang dimaksudkan Spinoza di sini adalah sesuatu yang tak terhingga. Seperti konsep Spinoza yang dikenakan pada Allah yakni konsep substansi tak terhingga. Allah dimengerti sebagai sesuatu yang tak terhingga. Pikiran menurut Spinoza adalah attribut dari substansi tunggal yaitu Allah. Pikiran memiliki modus-modus, misalnya aliran tertentu, imajinasi tertentu, dst. Pikiran juga bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Hakikat dari Allah adalah pikiran, dan sifat atau ciri khas dari Allah itu sendiri adalah pikiran (berpikir).

Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal
            Spinoza mengatakan bahwa dunia hanyalah satu substansi dengan kedua attribut yakni keluasan dan pikiran. Kita bisa melihat dunia dari attribut pikiran, dan kita menyebutnya ‘Allah’ tapi juga bisa melihatnya dari attribut keluasan dan kita menyebutnya ‘alam’.[viii] Dengan kata lain dunia juga mempunyai dua hakikat atau ciri khas yang melekat padanya yakni keluasan dan pikiran. Dari sini dapat dimengerti bahwa melihat dunia dari segi pikiran sama dengan melihat Allah. Sebaliknya melihat dunia dari segi keluasan sama dengan melihat alam. Pikiran (thought) di sini meliputi kesadaran (consciousness) dan pikiran itu sendriri (thought) sedangkan keluasan (extension)  meliputi tempat atau ruang (space) dan zat atau bahan (matter).[ix]
Kalau Allah adalah satu-satunya substansi maka segala yang ada harus berasal dari Allah.[x] Semua yang ada di atas alam ini; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dst berasal dari Allah. Semuanya ini tidak lain adalah cara berada dari Allah. Keberadaan dari semuanya ini bergantung pada Allah. Maka, bisa dikatakan bahwa alam dan segala isinya identik dengan Allah. Lalu apa bedanya Allah dan Alam? Yang berbeda hanyalah istilah atau sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan).[xi] Dari sini, Spinoza menyimpulkan bahwa Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal. Kenyataan tunggal di sini berarti satu kesatuan. Maka, pandangan Spinoza ini disebut sebagai monisme, yakni keyakinan bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan dan pada akhirnya segala-galanya adalah satu.[xii] Spinoza menyebutnya Deus sive Natura (Allah atau alam).
Penjabaran lebih jelasnya bisa dilihat pada skema di bawah. Alam, sebagai Allah atau natura naturans mempunyai sifat abadi, tidak berubah, tersembunyi dan unik. Sedangkan, alam sebagai alam mempunyai sifat sementara, berubah, kelihatan, dan berbeda. Sumber skema: ww.friesian.com/spinoza.htm. *Untuk lebih jelasnya pembaca mengecek ke alamat ini, karena tidak bisa dimasukkan ke laman ini.
Pandangan ini tentu saja berbeda dari ajaran agama-agama monoteis yang melihat Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah yang dipikirkan Spinoza bukanlah Allah yang bersifat personal dan memisahkan diri dari ciptaannya. Menurut Spinoza, batu atau pohon yang tampak di hadapan kita itu tak lain daripada Allah yang menampakkan diri, maka alam semesta ini sakral dan religius. Segalanya ada dalam Allah termasuk manusia yang adalah pikiran Allah. Tidak ada yang di luar Dia. Tak heran kalau Spinoza menyebut Allah sama dengan aturan kosmos.[xiii] Kehendak Allah ia samakan dengan kehendak alam maka hukum-hukum alam itu merupakan kehendak Allah. Pandangan seperti ini disebut sebagai panteisme, ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta.[xiv] Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah dan Alam merupakan kenyataan tunggal. Keduanya adalah satu substansi. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa istilah Allah dan Alam muncul karena berbeda sudut pandang dalam melihat substansi ini. 

Allah sebagai substansi tak terhingga
            Pertanyaannya adalah mengapa Allah disebut sebagai substansi tak terhingga? Paparan di atas hanya menyebut Allah sebagai substansi tak terhingga tetapi alasan sampai menyebut demikian belum dijelaskan. Spinoza—seperti pada paparan di atas tadi hanya menyebut dua dari sifat atau hakikat Allah sebagai substansi yakni keluasan dan pikiran atau dalam sumber lain diterjemahkan sebagai pemikiran dan pengembangan.[xv] Kalau argumen Spinoza hanya sampai di sini, konsepnya tentang Allah sebagai substansi tak terhingga bisa diproblematisir. Dia hanya menyebut dua sifat Allah maka konsep Allah itu hanya terbatas pada dua itu. Dengan demikian konsepnya bukan lagi substansi tak terhingga atau Allah tetapi substansi terbatas atau Allah. Terbatas karena hanya terdapat dua sifat dari Allah, dan bukan banyak atau tak terhingga.
            Spinoza tidak berhenti di sini. Ia menjelaskan lebih lanjut tentang konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Menyebut tak terhingga berarti ada banyak sampai tak bisa dihitung atau tak terhingga. Ia mengatakan bahwa Tuhan juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas dalam setiap aspeknya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui.[xvi] Di sinilah letak ketidakterhingga-an dari Allah. Hanya dua yang disebut Spinoza saja yang dapat diketahui dari sifat Allah. Masih banyak sifat lainnya yang tidak diketahui. Pemikiran Spinoza ini menjadi kuat dan jelas kalau melihat pengertian Allah menurut Spinoza. Allah merupakan sebuah substansi maka sebagai substansi tentu saja Allah itu tidak bisa dimengerti atau dipahami seluruhnya. Hakikat dari sebuah substansi tidak bisa dipahami sepenuhnya. Selain itu Allah menurut Spinoza bukan person atau pribadi seperti dipahami orang Kristen. Hakikat seorang pribadi yang terbatas saja tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh manusia apalagi hakikat Allah yang bukan pribadi tetapi sebuah substansi. Di sini menjadi jelas bahwa memang konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza itu bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian pertanyaan yang sempat dilontarkan penulis pada bagian awal juga bisa dijelaskan. Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Pikiran manusia termasuk Spinoza memang terbatas tetapi tetap mampu menjelaskan sesuatu yang tak terbatas. Ia tetap konsisten pada pandangannya bahwa Allah itu adalah substansi tak terhingga karena ia melihat ketakterbatasan dari Allah. Dengan pikirannya yang terbatas ia menjelaskan bahwa masih ada sifat-sifat lain dari Allah yang tak terbatas namun sifat itu tidak dapat diketahui. Di sini tampak kekuatan rasio sebagai sumber pengetahuan (rasionalisme) sebagaimana dipikirkan Spinoza. Rasio mampu menunjukkan bahwa ADA yang tak terbatas dari Allah da hal itu tidak diketahui atau mungkin tidak bisa diketahui oleh manusia. Tetapi yang tak terbatas itu tetap ada.

Kesimpulan
            Demikianlah pemaparan mengenai konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza. Bermula dari sebuah kekaguman akan tokoh Spinoza yang dengan tegas mengatakan Allah itu sebagai substansi tak terhingga sementara Allah itu sendiri hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri. Bagaimana Spinoza memahami sesuatu di luar dirinya (Allah) yang tak terhingga dengan pikirannya yang terbatas dan lagi pula hal yang di luar dirinya itu tidak berelasi dengan dia. Di sini mau diperlihatkan bahwa Spinoza adalah tokoh yang mengagungkan peran rasio dalam mencari sumber pengetahuan. Dia yakin bahwa rasio manusia yang terbatas itu mampu menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah.





Catatan Akhir
[i] F. Budi Hardiman, hlm. 47.
[ii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[iii] Ibid.
[iv] Ibid. hlm. 206.
[v] Spinoza, seperti dikutip F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[vi] Ibid. hlm. 47.
[vii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[viii] F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[ix] Bdk. Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm
[x] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[xi] Ibid.
[xii] Franz Magnis Suseno, hlm. 194.
[xiii] Lih. Harry Hamersma, hlm. 11.
[xiv] KBBI, hlm. 1017.
[xv] Bertrand Russell, hlm. 749.
[xvi] Ibid.




Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia.
Hamersma, Harry. 1986. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm diunduh pada 22/11/09 jam 15.52.

 

Jakarta, 27 Mei 2011

Gordy Afri

Tulisan ini dibuat pada semester ganjil 2009/10 di STF Driyarkara, Jakarta



Google.images
Dalam sebuah perjalanan dari Sunter, Jakarta Utara, ke Bintaro, Jakarta Selatan, saya merasa lelah sekali. Tumit, betis, dan lutut terasa sakit. Belum lagi kalau kami tersesat. Cemas, tidak percaya dengan teman saya mulai muncul.“Masih berapa lama kita sampai di Bintaro?”

Teman saya menunjukkan peta perjalanan. Saking sakitnya, pertanyaan muncul lagi. “Apakah kamu yakin kita tidak tersesat?”

Teman saya menjawab, “Percayalah pada saya, kita akan tiba dengan selamat.”
Setelah seharian menyusuri Jakarta, kami tiba di tempat tujuan. Teman saya senang dan bangga. Peta perjalanan yang dia buat membantu kami dalam perjalanan ini.

Para murid bingung, cemas, dan gelisah menghadapi situasi baru. Yesus yang selama ini selalu bersama mereka akan pergi dan berpisah dengan mereka. Mereka harus buat apa? Mereka tidak tahu, Kemana Yesus akan pergi, dan di mana Bapa itu tinggal.

Sebelumnya, Yesus menjelaskan demikian. Ia pergi kepada Bapa-Nya. Di sana, Ia menyiapkan tempat untuk kita, manusia dan para murid. Setelah semuanya siap, Yesus datang kembali membawa kita untuk tinggal selamanya dengan Dia di tempat itu.Tinggal bersama Yesus berarti tinggal bersama Bapa. Sebab “Bapa dan Yesus adalah satu.”  

Sebelum sampai ke tempat itu kiranya dua hal perlu dipersiapkan. Pertama, tahu jalan ke sana. Jalan itu melalui Yesus sendiri. Melalui Dia sama dengan dekat dengan Dia, akrab dengan Dia, meniru sikap-Nya, dan sebagainya. Kelak kita akan tinggal bersama Dia sebab Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” Kebenaran tak lain adalah “pengalaman hidup yang meliputi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia”.

Kedua, yakin akan jalan yang kita lalui itu. Keyakinan berarti masuk lebih jauh dalam relasi dengan objek yang kita yakini itu. Jika Yesus adalah jalan (yang kita pilih) maka kita yakin akan Yesus. Yakin akan Yesus berarti yakin akan Bapa. Keyakinan ini yang Yesus berikan kepada para murid-Nya sebelum Ia berpisah dengan mereka.

Kita—sama dengan para murid—sering merasa bingung, cemas, dan gelisah dalam hidup. Situasi sosial berubah sedikit saja, kita sudah cemas. Kadang-kadang keyakinan sampai dikorbankan. Kita tidak percaya diri lagi bahkan tak percaya dengan hal yang kita yakini selama bertahun-tahun.

Lepas dari situasi ini, kita tetap mempunyai keyakinan dalam diri masing-masing. Kita akan sampai pada tempat idaman kita, Rumah Bapa. Di sana, Yesus menyiapkan tempat untuk kita dan hidup selamanya dengan kita. Dialah jalan, kebenaran, dan hidup. (Dimuat di http://www.xaverindo.org)

Cempaka Putih, 20 Mei 2011
Gordi Afri

Google images
Pengalaman tinggal bersama keluarga petani sekaligus peternak membekas dalam ingatan saya. Pengalaman itu menjadi segar kembali dalam otak setelah mendengar kisah Gembala yang Baik.  Ada kemiripan yang begitu dekat.

Waktu itu saya masih di sekolah dasar. Tiap bangun pagi, saya selalu berpapasan muka dengan seorang bapak. Mula-mula heran, pagi-pagi begini kok sudah siap ke ladang. Apakah salah kalau tunggu agak siang setelah matahari terbit?Ternyata dia hendak ke ladang, memberi rumput kepada kerbaunya. Biasanya, dia memindahkan kerbaunya ke tempat yang ditumbuhi rumput segar.

Saya tahu sekarang. Dia tak ingin kerbaunya kelaparan. Semalaman, kerbaunya menempati daerah yang ada rumputnya. Paginya, kerbau itu harus dibawa ke tempat baru sehingga dia tetap mendapat rumput. Kadang-kadang bapak itu memotong sendiri rumput lalu dibawa ke tempat kerbau itu.

Menjelang siang, biasanya sekitar jam 10-11, dia pergi lagi. Dia akan memindahkan kerbaunya ke dekat air sungai. Kerbau tidak tahan panas dan cepat haus. Kalau siang, kerbau biasanya merendam di sungai sehingga tubuhnya tidak kepanasan.

Sorenya, bapak itu pergi lagi. Dia menggunakan waktu ini untuk berlama-lama berada di dekat kerbaunya. Ketika kerbau makan rumput, bapak itu berada di dekatnya. Kadang-kadang, saat seperti inilah, dia memberi garam untuk menjinakkan kerbaunya. Sebelum kembali ke rumahnya, bapak ini menempatkan kerbaunya di daerah yang berumput segar. Minimal cukup untuk makanan sepanjang malam sebelum esok pagi dipindahkan.

Dalam relasinya dengan ternak peliharaannya, bapak ini digolongkan sebagai gembala yang baik. Kisah Gembala yang Baik menampilkan hal serupa. Dalam relasi manusia dan Bapa, Yesus adalah perantara. Manusia ibarat domba (ternak peliharaan) dan Yesus adalah gembala (Sang pemilik rumput).

Yesus tahu domba-dombanya (manusia). Seperti bapak mengenal dan dekat dengan ternak peliharaannya. Domba-domba mendengar suara gembala. Mendengar juga kapan sang gembala mendekatinya. Entah pagi-pagi buta seperti bapak tadi maupun saat lain. Hanya domba yang tahu.


Lebih dari itu, gembala memanggil domba-dombanya dengan nama mereka masing-masing. Nama adalah sebuah tanda identitas. Memanggil orang dengan namanya merupakan sebuah penghormatan. Saya selalu bangga tiap kali orang yang lebih besar (kedudukan sosial) dan lebih tua (usia dan pengalaman) memanggil saya dengan nama saya. Ini pertanda dia memperhatikan saya dan sekaligus juga menunjukkan bahwa ia menghormati saya.
Google images

Memanggil dengan nama menurut hemat saya tidak saja merupakan bentuk penghormatan tetapi di situ terjalin relasi. Antara kerbau dan bapak yang tiap sore menemaninya makan rumput dan memberinya rumput ada relasi. Demikian juga dengan Yesus yang mengenal manusia. Ada relasi yang intim entah manusia sadar atau tidak.

Kisah ini menampilkan sosok pemimpin (gembala) yang baik. Gembala yang baik diringkas dengan satu kalimat. Gembala yang mengenal domba-dombanya, pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Dari mengenal, seorang pemimpin menjadi tahu dan dari tahu dia menjadi pelayan. Kita semua adalah pemimpin di suatu tempat, suatu instansi, suatu kesempatan. Bapak tadi adalah seorang pemimpin yang memperhatikan bawahannya (ternak peliharaannya). Dia menjadi pelayan total, dari pagi hingga sore. Dalam dialah ternaknya mencapai kepuasan dalam makanan. Dalam Yesus juga manusia memperoleh hidup abadi, hidup penuh kebahagiaan. Hidup yang selalu ceria meski ditimpa kesusahan dan masalah besar.
Cempaka Putih, 13 Mei 2011
Gordy Afri 


foto ilustrasi dari internet
Berbaring di tempat tidur saat sakit kadang dilihat sebagai tindakan pasif. Tak banyak yang bisa dilakukan selain tidur, berbaring, dan menunggu kunjungan. Sebetulnya, tindakan itu bukan melulu pasif. Tampaknya pasif tetapi bisa juga aktif. Ide cemerlang kadang muncul dari tempat tidur. Meskipun oleh sebagian penulis novel atau cerita pendek, ide itu muncul di toilet.

Beberapa teman menceritakan pengalamannya saat  sakit. Kerinduan akan kunjungan dari sesama adalah kerinduan terbesar saat sakit. Menyendiri di kamar membuka tabir kesepian. Tak ada yang bisa diajak bicara. Sendiri, hanya bisa memandang apa yang bisa dipandang dalam kamar.

Selebihnya ide liar melayang ke mana-mana, lamunan menembus tembok kamar. Ini pertanda si sakit juga berpikir. Selain itu, pergulatan dengan penyakit menjadi menu setiap saat. Di atas semua ini ada pengalaman terdalam yakni kerinduan akan kehadiran orang lain di kamar.

Kadang orang enggan membantu si sakit. Macam-macam alasan bisa diajukan. Bukan mantri/bidan/perawat/dokter, takut terjangkit, tidak ada yang bisa diberikan buat si sakit, takut mengganggu, bukan jam besuk, dan sebagainya. Yang dibutuhkan si sakit sebenarnya hanya satu, yakni kehadiran kita. Syukur kalau bisa menyapanya, bisa berbagi cerita dengannya. Yang lain tidak terlalu mendesak baginya.

 Seorang kakek yang bergulat dengan penyakit AIDS yang dideritanya tidak mengharapkan kesembuhan dari pengunjungnya. Ia tahu penyakitnya tidak mudah disembuhkan. Harapan untuk sembuh kecil. Namun, ia mengharapkan kehadiran orang lain di sampingnya. Memberinya senyum saja sudah merupakan kebahagiaan baginya.

Beberapa teman membenarkan hal ini. Ketika sakit, kerinduan terbesar adalah dikunjungi teman. Betapa sepinya berada di kamar pada siang hari. Saat-saat itulah muncul kerinduan untuk dijenguk. Teman yang sekadar menyapa dari pintu saja merupakan sebuah penghiburan bagi si sakit. Beberapa teman mengakui kalau sapaan semacam itu mengusir kesepian yang menghinggapinya selama sakit.

Penulis salut dengan sepasang suami istri yang dengan berani mengajak berbicara kepada pasien di sebuah rumah sakit. Mulai dengan perbincangan hangat. Rupanya mereka tahu, bercerita adalah hal yang dibutuhkan si sakit. Lama-lama mereka berdoa untuk kesembuhan si sakit. Meski tidak seiman dengan mereka, penulis yang waktu itu sedang sakit  menghargai usaha mereka untuk berdoa. Kehadiran mereka menciptakan suasana baru.

Lebih mudah mengalami Tuhan yang mencintai manusia saat sakit ketimbang saat sehat. Secara fisik, si sakit lebih banyak diam dan pasif. Saat itulah disadari betapa ia rindu akan Tuhan yang bisa menguatkan dan menyembuhkannya. Kesadaran ini agak beda ketika sehat di mana manusia lebih berperan aktif dalam aktivitasnya. Tuhan pun disingkirkan jauh dan sama sekali hampir tidak mendapat tempat di hatinya.

Sebenarnya Tuhan itu ada di mana-mana. Dia melampaui ruang dan waktu. Dia ada baik waktu sakit maupun sehat. Dia ada di mana-mana. Dia bukan melulu ada di Bait Allah, Gereja, Masjid, Kuil, Vihara, Pura, Pohon, Batu, dan tempat tinggal Tuhan lainnya. Ia ada di mana-mana. Dan yang paling sederhana kehadirannya adalah Dia ada dalam hati setiap manusia. Manusia pun berhak untuk “menyadari” dan “tidak menyadari” kehadirannya.

Di sini teruji keyakinannya. Atau memilih yakin “Tuhan ada di hati” atau memilih “Tuhan tidak ada di hati”. Dua-duanya merupakan keyakinan yang paling dalam dari manusia. Bagi yang yakin akan mengatakan bahwa pernapasan adalah bukti bahwa Dia hadir. Dia memutuskan sesuatu setelah mengalami kebimbangan adalah bukti Dia hadir.

Namun, bagi yang tidak pun akan mengatakn bahwa keputusan itu melulu merupakan tindakan saya tanpa intervensi pihak lain. Begitu juga pernapasan adalah pemberian alam. Memang manusia mengalami pernapasan sebagaimana adanya makhluk lain di bumi.

Bagi si sakit, kehadiran dan kunjungan dari orang sekitarnya merupakan bukti cinta Tuhan. Tuhan hadir lewat pengunjung. Bukti cinta paling nyata yang bisa dirasakan oleh si sakit. Dia kiini tahu Tuhan hadri dan mendampinginya selama sakit. Tuhan bukan lagi Dia yang jauh tetapi Dia yang dekat yakni di sampingnya.

Cempaka Putih, 6 Mei 2011
Gordy Afri  
Powered by Blogger.