Ada dua sikap yang muncul ketika berhadapan dengan orang yang kita kenal baik. Pertama, kita mengakuinya sebagai orang yang kita kenal. Namun, (kedua), kadang-kadang di antara kita, ada yang masih ragu-ragu dengan keyakinannya. Sepintas kita melihat masalahnya ada di objek (orang yang kita kenal). Namun, kalau disadari kita jangan mengabaikan juga dengan subjek (kita yang melihatnya).

Para murid bertemu Yesus (orang yang mereka kenal). Ada yang menyembah dan ada pula yang ragu-ragu. Mula-mula saya melihat ke-ragu-ragu-an ini berkaitan dengan identitas Yesus. Kalau demikian, mereka kurang cekatan. Yesus hidup bersama mereka selama ini. Bagaimana mungkin mereka masih ragu-ragu? *Foto google images

Rupanya, ragu-ragu yang dimaksud adalah ragu-ragu dengan kesanggupan mereka untuk mengikut Yesus. Mereka tahu akan diutus. Namun, mereka ragu, tak berdaya. Mereka sudah mengetahui dan merasakan kasih Yesus bagi mereka selama ini. Mereka ragu-ragu, apakah mereka bisa seperti itu?

Iman para murid dipertebal dengan peristiwa ini. Kalau melihat dari perspektif sekarang, sikap mereka tak ada salahnya. Justru memang seperti itu sebaiknya. Meragukan sesuatu berarti melihat lebih dalam dan mencari akar dari sesuatu. Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf modern, mengatakan “Aku yang ragu adalah aku yang eksis”. Dengan kata lain, eksistensi kita nyata dalam tindakan meragukan itu. Iman yang semula diragukan—menurut saya—akan menjadi iman yang murni dan mengakar kuat.

Meski demikian, sebagai orang beriman Katolik, keragu-raguan terhadap iman itu semestinya jangan dipupuk-berkepanjangan. Meragukan dalam jangka panjang tanpa mencari dasar mengantar kita pada sikap skeptis. Jika skeptis ini berkepanjangan akan berbahaya bagi perkembangan iman kita. Demikian juga dengan perkembangan kehidupan sosial. Kalau semuanya diragukan, apa yang masih bisa menjadi dasar pijakan kita? Masih adakah yang patut kita percayai jika semuanya diragukan?

Meragukan saja tidak cukup. Mesti ada yang menjadi dasar dan batu pijakan. Ibarat rumah yang berdiri di atas batu dan fondasi yang kuat. Teologi Katolik—menurut saya—sangat tepat. Ada dasar yang kuat yakni iman dan wahyu. Kedua hal ini menjadi inti agama Katolik. Dua hal ini juga yang menjadi batu pijakan agar kita bisa percaya pada Allah dan yakin akan iman yang dipilih. Pencarian dan pergumulan akan iman dan peristiwa pewahyuan terjadi dalam peziarahan hidup. Kadang-kadang sangat sulit untuk memahami cinta Allah yang begitu besar. Tetapi jangan takut “Allah menyertai kita” dalam peziarahan hidup ini.

Ibarat seorang pewarta, para murid mempunyai sesuatu yang diyakini betul untuk diberitakan kepada orang lain. Demikian juga kita, umat Katolik mesti mempunyai dasar iman yang kuat supaya bisa percaya pada Allah dan bisa dibagikan pada sesama. Iman itu berakar dalam pengalaman—seperti dialami para murid—namun iman itu mesti dipertanggungjawabkan. Jangan sampai kita “Ya” saja tetapi tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Yesus yang naik ke surga itu memberi warisan rohani pada para murid dan para murid memberi pada kita di zaman ini. (Pesta Kenaikan Tuhan Yesus, 2011).

Cempaka Putih, 2 Juni 2011
Gordi Afri