Halloween party ideas 2015



“Tuhan adalah pengarang kitab-kitab dalam agama-agama. Dalam Islam, ada sejumlah kitab. Itu adalah tulisan Tuhan sendiri,” kata Mohammad Sobary dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa waktu lalu. Meski itu adalah tulisan Tuhan sendiri, tak banyak yang membacanya. Hitung saja berapa banyak orang yang membaca kitab-kitab itu dalam setiap agama. 

Ia lalu bercerita tentang kemiripan dan perbedaan antara Tuhan dan dirinya. “Saya juga pengarang. Saya sudah menulis banyak buku. Tetapi, saya kecewa, mengapa masyarakat tidak banyak membeli dan membaca buku saya?” tutur budayawan yang pernah menjadi pemimpin umum Kantor Berita Antara ini dengan nada lantang. Menulis buku, menurutnya penuh perjuangan. Betapa kecewanya penulis ketika buku itu tidak dibaca.

“Di sinilah saya belajar berlapang dada dari Tuhan sendiri,” sambung budayawan yang sering disapa Kang Sobary dengan nada rendah. Menurut budayawan kondang ini, Tuhan tidak marah ketiak kitab-kitabnya tidak dibaca oleh banyak orang .  Beda  dengan manusia yang mudah kecewa ketika menghadapi tantangan. “Maka, marilah kita belajar berlapang dada dari Tuhan sendiri,” ucap putra kelahiran Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 7 Agustus 1952 ini dengan nada ajakan.

Jakarta, 27 Oktober 2011
Gordi Afri


Google images
Bisa jadi orang tak percaya mendengar kabar orang mati hadir kembali. Hal itu mustahil menurut logika manusiawi.

Tak ada salahnya berpandangan demikian. Sistem logika dunia hanya mengenal hal-hal yang dilihat dengan mata indrawi. Di luar itu, logika duniawi tidak bisa berbuat apa-apa.

Saya semakin yakin kalau orang mati kerapkali menjumpai kita. Bagi orang yang tidak mengalaminya bisa jadi tidak percaya. Saya mengalaminya maka saya yakin. Saya sebelumnya percaya melalui dogma/ajaran Katolik. Orang mati masih berkontak dengan kita yang hidup. Maka, berdoalah untuk mereka sebab mereka membutuhkan doa kita.

Dua minggu berturut-turut dalam bulan September ini saya berjumpa dengan Kakak saya, Yos. Dia hadir dalam mimpi. Minggu lalu, kami beraktivitas bersama dalam mimpi. Hanya saja dia tidak bicara. Kami duduk berhadap-hadapan di antara orang banyak. Mereka bercerita dan kami mendengarkan.

Tadi malam juga, dia hadir. Dia tetap diam. Beberapa keluarga saya memandangi fotonya yang ditempel di dinding ruang tamu. Kurang jelas ruang tamu di rumah siapa. Yang jelas saya dan keluarga saya melihat foto itu. Ada juga foto kami berdua waktu kecil. Foto itu juga menjadi pusat perhatian keluarga dalam kesempatan itu. Demikian rangkaian mimpi yang saya ingat.

Minggu lalu, saya menceritakan mimpi ini kepada bapak dan mama di rumah dan kepada dua adik saya yang paling besar. Bapa mengatakan, Kakak Yos hadr meminta doa kita. Ternyata pada saat yang hampir bersamaan, adik saya Afi juga bertemu Kak Yos dalam mimpi. Kakak Yos meminta rokok kesukaannya. Kak Yos—yang meninggal pada 12 Oktober 2008—hadir dalam mimpi, ingin bertemu kami adik-adiknya.

Kebetulan saja, beberapa minggu belakangan saya tidak berdoa untuk Kak Yos. Kalau dihubungkan dengan dogma Katolik, bisa saja Kak Yos datang karena kami kurang berdoa untuknya. (Maaf kak kalau kami ego, hanya ingat diri saja, dan lupa mengingat engkau). Namun, betulkah demikian? Jangan-janganitu hanya kebetulan?

Setelah mimpi minggu lalu itu, saya berdoa untuk Kak yos tiap malam. Minimal pagi atau malam, saya memandang fotonya lalu berdoa untuknya. Namun, semalam dia hadir lagi dalam mimpi. Apa artinya ini? Boleh jadi doa kami belum cukup. Atau adakah hal lain yang Kakak inginkan?

Mungkin saya sudah tenggelam dalam egoisme sehingga lupa berdoa untuk sesama, juga untuk Kak Yos. Bisa jadi ini rambu peringatan darinya. Yang jelas saya rindu Kak Yos. Saya berjanji untuk berdoa baginya. Kak Yos, engkau hadir menjelang 3 tahun kepergianmu, bimbinglah kami, adik-adikmu dari sana…..

Selasa, 17 Oktober 2011
dalam penuh pengharapan….
Gordi Afri, adikmu

Gambar: google



Kemarin (11/10/2011), saya bertemu seorang penjahit. Persisnya saya yang berkunjung ke tempatnya bekerja. Usahanya ini terletak di pinggir jalan kecil nan ramai di Jakarta Pusat. Ibu ini melayani pelanggan usahanya dengan ramah. Siang ini pun seperti itu.


Ketika saya masuk, dia sedang membereskan sebuah celana jahitannya. Dia bercerita kalau sebelumnya ada pemuda yang hendak menjahit celananya namun gagal karena perbedaan harga. Ibu itu mempersilakan pemuda itu mencari tempat jahitan lain. Rupanya pemuda itu tidak menemukan penjahit yang cocok. Tak lama berselang, dia datang lagi. Namun, ibu setengah tua itu menolak jika jahitannya langsung diambil siang itu juga.

Ibu ini memang pekerja keras. Keringat mulai tampak di mukanya. Bisa jadi karena kepanasan. Dia dan suaminya menjalani profesi ini sejak puluhan tahun lalu. Konon, dia adalah seorang perantau. Sebagai perantau, dia mengalami banyak pengalaman bertemu orang dari berbagai latar. Dia memberi nasihat, "Mas sebagai perantau—apalagi sebagai mahasiswa—kita mesti rendah hati dengan penduduk asli." Di mana-mana perantau memang menjadi warga kelas dua. Tak sedikit yang berusaha mengubah/memperbaiki status sosial sehingga menjadi setara dengan penduduk asli. "Kalau mereka olok, kita terima dengan rendah hati saja. Namun, kita juga mesti tegas dengan identitas kita supaya mereka sadar," lanjutnya. Ibu ini sadar akan identitas. Identitas menjadi ciri khas seseorang. Bisa jadi orang yang tidak menghargai akar budayanya tidak beridentitas. 

Identitas ini pula yang membuat ibu ini dipercaya banyak orang. Dia bercerita kalau dulu dia sering melayani pesanan jahitan untuk pegawai TNI AL, dari kantor polisi, dan artis legendaris Indonesia seperti (grup) Koes Plus. "Di rumah saya, ada koleksi kaset Koes. Dia memberi dengan gratis puluhan tahun lalu," kenangnya. Bukan hanya dengan kalangan atas, ibu ini juga akrab dengan tukang sayur. "Kalau ada pakaian yang masih layak pakai, saya berikan kepadanya," cerita ibu yang sudah 35 tahun menjadi penjahit. Keakraban ini membuatnya bisa kenal dengan banyak orang. Di perantauan, peran teman amat penting. Kalau ada masalah, teman bisa membantu. Sumbangan kecil yang amat berarti. Maka, semakin banyak teman dan sahabat, semakin luas jaringan pergaulan. Semakin baik kita bertutur kata, semakain banyak orang percaya dengan kita. Terima kasih Ibu atas nasihatmu.   

Cempaka Putih, 11 Oktober 2011
Gordi Afri


Powered by Blogger.