Halloween party ideas 2015

FOTO, 21cineplex.com
Di masyarakat majemuk seperti Indonesia, perselisihan antara berbagai perbedaan menjadi isu hangat. Yang paling sering terdengar adalah perselisihan dalam perbedaan agama. Indonesia dengan kekayaan tradisi agamanya justru memiskinan keharmonisan hidup. Di sinilah Indonesia ditantang untuk mengelola dengan baik perbedaan ini. Perbedaan yang pada dasarnya membuat Indonesia menjadi kaya bukan saja dalam materi tetapi dalam budaya dan agama. 

Selain agama, perselisihan lain yang sering muncul adalah perbedaan budaya. Sudah banyak cerita pertengkaran antara dua budaya berbeda di Indonesia. Ambil contoh tentang perantau Madura di Kalimantan. Juga contoh lain yang sering terdengar. Betapa perbedaan ini tidak dikelola dengan baik oleh Indonesia yang kaya perbedaan ini. Padahal, jika dikelola dengan baik Indonesia menjadi rumah bersama. Rumah yang menaungi perbedaan.

Menuju Indonesia sebagai rumah bersama memang tidak mudah. Mesti melewati sejarah panjang dan menuai korban juga konflik tak berakhir. Apa pun alasannya inilah kondisi yang mesti dilewati Indonesia. Dan, Indonesia sebenarnya sudah dan sedang melewati kondisi-kondisi ini. Indonesia dalam sejarahnya mengalami kondisi sulit ini. Meski berkali-kali mengalaminya, Indonesia rupanya belum mau mengakhirinya. Indonesia masih bergeliat menyelsaikan konflik seperti ini. Kita berharap, Indonesia mau dan mampu melewati dan mengakhiri konflik perbedaan seperti ini. Indonesia mesti optimis dan jangan pesimis mencapainya.

Rasa optimis inilah yang juga menjadi gambaran dalam film Tabularasa (2014). Kami menonton film ini pada Minggu, 10 Mei yang lalu di kota Milan, Italia. Bersama rombongan dari Parma, kami berangkat siang hari. Di sana kami bertemu teman-teman Indonesia lainnya yang datang dari kota sekitar seperti Milan, Reggio Emilia, Ferrara, Rimini, dan sebagainya. Bagi kami, film ini menarik. Apalagi, menampilkan keanekaragaman Indonesia di hadapan orang asing, Italia. Film ini mau mengatakan pada mereka bahwa Indonesia itu kaya dengan tradisi budaya dan agama. Indonesia mau melestarikan ini. Pelestarian ini jauh melampaui konflik perbedaan yang ada. Di film itu memang dikisahkan perbedaan itu. Perbedaan yang membuat konflik. Namun, pada akhirnya mereka bisa bersatu membangun kehidupan bersama.

Film ini seolah-olah mau menyindir Indonesia. Betapa tidak, sampai saat ini Indonesia belum mampu mengatasi konflik agamanya. Indonesia yang besar malah kalah dengan kelompok yang menggunakan agama sebagai senjata untuk menguasai yang lain. Agama mana pun kiranya mendambakan perdamaian bukan saja bagi pemeluknya tetapi bagi orang lain juga. Namun, masih ada kelompok tertentu yang katanya demi agama rela menguasai bahkan merusak hubungan dengan yang lain. Ini tentu saja bukan demi agama. Kalau pun dia ngotot menjual ayat-ayat sucinya, itu hanya bohong belaka. Dia sebenarnya tidak tahu agamanya.

Dari agama, film ini juga mau menyindir Indonesia yang seolah-olah tak berkuasa melampaui perbedaan budayanya. Dalam sejarahnya, Indonesia diwarnai konflik budaya. Dan konflik ini memakan korban. Nyawa manusia melayang gara-gara perbedaan budaya. Akhir-akhir ini memang konflik budaya seperti ini makin pudar. Semoga, tidak ada lagi. Kalau pun ada semoga tidak banyak.

Indonesia—kalau dibangun dengan baik—seperti makanan khas Padang. Makanan di RM Padang diracik dengan berbagai bumbu. Bukan saja menu gulai ikan kakap seperti diceritakan dalam film Tabularasa. Ada banyak menu lainnya. Ini berarti diracik dengan banyak bumbu. Banyak bumbu banyak rasa. Indonesia mestinya seperti menu makan Padang ini. Bumbunya sudah ada yakni pluralitas agama dan budaya. Tinggal saja meraciknya dengan baik, Indonesia nantinya dicintai dan diminati banyak orang seperti menu masakan Padang yang dicintai rakyat Indonesia.

Indonesia yang diimpikan adalah Indonesia seperti keluarga Mak dalam Tabularasa. Keluarga yang dibangun dari pluralitas. Mak, orang Padang. Hans, orang Papua. Orang Padang biasanya beragama Muslim. Orang Papua biasanya beragama Kristiani. Perbedaan ini tidak dihilangkan. Perbedaan ini jadi modal untuk membangun keluarga yang harmonis. Dan memang—dalam film—dikisahkan keharmonisan keluarga ini. Tentu setelah melewati konflik antara mereka.

Apa yang dilakukan Mak adalah contoh nyata bagi warga Indonesia. Membantu dengan penuh cinta. Ingat relawan di setiap bencana alam di Indonesia. Tidak pernah membantu berdasarkan kelompok agama dan budaya. Meski, oleh kelompok usil tertentu, selalu menciptakan suasana keruh. Mereka menggiring opini publik untuk menolak bantuan dari agama lain. Padahal, dalam bencana, misinya adalah membantu, dan bukan mencari warga seagama. Mak, melampaui perbedaan ini.

Mak—kiranya tahu—yang dia bantu adalah bukan orang Muslim. Tetapi, dia tetap mau membantu. Bahkan, sekalipun pembantunya, Natsir dan Parmanto, menentang sikapnya. Bagi Mak, Hans membutuhkan pertolongan. Dan, Mak memberikan pertolongan. Memberi makan dan mengajaknya untuk bekerja di rumahnya.

Mak juga melampaui sekat budayanya. Dia orang Minang dan Hans orang Papua. Dua budaya berbeda namun mewakili Indonesia Barat dan Timur. Mak seolah-olah mengatakan pada penonton bahwa Mak yang orang Indonesia Barat ini mau membantu orang Indonesia Timur. Mak tidak membantu hanya orang Indonesia Barat dan orang Minang saja. Ingatkah ini wahai para pembenci kelompok relawan gempa? Membantu jangan dengan persyaratan. Membantu mesti disertai sikap totalitas.

Saya puas dan bangga menonton film ini. Demikian juga teman-teman Indonesia yang lainnya. Film ini juga mau mewartakan pada dunia khususnya kota Milan bahwa Indonesia bisa hidup damai di tengah perbedaan yang ada. Kota Milan juga diwarnai perbedaan ini. Penduduknya datang dari berbagai negara, budaya, dan agama yang berbeda. Jika Milan tidak hati-hati, konflik antara warganya sulit tercegah. Dan, dalam hal ini Milan mestinya belajar dari Indonesia. Indonesia yang mereka lihat dalam film ini. Dan, tentu saja jika Milan kaya dengan makanan khas Italianya, Indonesia juga punya masakan enak dengan menu-menunya.

Terima kasih Tabularasa.

PRM, 18/5/15
Gordi



Post a Comment

Powered by Blogger.