Halloween party ideas 2015
Showing posts sorted by relevance for query FILSAFAT. Sort by date Show all posts

Ternyata kata “filsafat” masih asing bagi orang tertentu. Beberapa teman bahkan berkomentar, baru dengar nama itu. Entah karena kurang baca, kurang dengar, kurang simak berita, atau alasan apa sampai muncul reaksi itu.

Bisa jadi mungkin karena “filsafat” itu kurang disosialisasikan (dimasyarakatkan) sehingga kurang familiar. Namun, beberapa teman juga mengatakan (orang-orang) filsafat itu terlalu mengawang-awang (abstrak). Ini mungkin karena (ilmu) filsafat itu tinggal dalam menara gading, yang mengerti hanya yang belajar filsafat itu sendiri. *Gambar google images

Mendefinisikan “filsafat” itu memang agak rumit. Ketika defiinisi dibuat selalu saja ada yang kurang. Lantas ada komentar, apakah filsafat itu sebatas itu? Dosen saya bahkan pernah membuat mahasiswa/i-nya kaget. Dia memberikan beberapa definisi filsafat dari beberapa filsuf. Anehnya, terakhir dia mengatakan, filsafat itu tak terdefinisikan.

Maksudnya, “filsafat” itu tak bisa dibatasi dalam definisi itu. Masih ada celah yang bisa ditanyakan dari definisi yang ada. Dari uraian sebelumnya saja, ada pertentangan antara para filsuf. Tak jarang pula muncul definisi, filsafat itu merupakan ilmu yang diawali dan diakhiri dengan pertanyaan. Bisa membingungkan bukan?

Saya mencoba memaparkan sebagian kecil dari definisi filsafat. Definisi yang diambil dari beberapa ahli ini tentu saja masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana pun definisi sebuah kata, kadang-kadang tidak memenuhi kandungan maksud kata itu. Itulah filsafat. Yang jelas ada guyonan, STF (Sekolah Tinggi Filsafat) itu adalah Sekolah Tanpa Faedah.

Nama ”filsafat” dan ”filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Berdasarkan bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang ”pencinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama ”filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas Pythagoras demikian tercampur dengan legenda-legenda sehingga seringkali kebenaran tidak dapat dibedakan dari reka-rekaan saja. Demikian juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama ”Filsuf” ditemukan oleh Pythagoras (Bertens,  Sejarah Filsafat Yunani, 1999:17-18).

Arti philo-sophos yang adalah pencinta kebijaksanaan ini agak lain dari pengertian filsafat atau falsafah menurut kamus ilmiah populer. Dalam kamus ini, filsafat atau falsafah mempunyai pengertian yakni pengetahuan tentang, asas-asas pikiran dan perilaku; ilmu mencari kebenaran dan prinsip-prinsip dengan menggunakan kekuatan akal; pandangan hidup (yang dimiliki oleh setiap orang); ajaran hukum dan prilaku; kata-kata arif yang bersifat didaktis (lih. Widodo (ed), Kamus Ilmiah Populer, 2002:147).

Lain lagi pengertian filsafat menurut kamus umum bahasa indonesia. “Filsafat atau falsafat atau falsafah berarti pengetahuan dan penyelidikan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta atau pun mengenai kebenaran dan arti ’adanya’ sesuatu.”( Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1987:280).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pencinta kebijaksanaan, kebijaksanaan akan pengetahuan; asas-asas pikiran dan perilaku; asas-asas hukum; dan pandangan hidup dengan menggunakan kekuatan akal budi (bdk. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, 1991:18).

*Tulisan ini merupakan olahan dari tugas kuliah di STF Driyarkara pada semester ganjil tahun 2008.

Jakarta, 10 Juli 2011
Gordi Afri


ilustrasi dari kompas.com, postingan kompasiana
Kemajuan suatu bangsa tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan Asia menitikberatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan. Dari sini mereka berkembang ke bidang lainnya. Dari pengetahuanlah, Amerika belajar membuat teknologi canggih. Bangsa-bangsa besar di Eropa seperti Jerman, Italia, Prancis, dan sebagainya, maju karena ilmu pengetahuan. Di Asia ada Jepang, Cina, Korea, Taiwan, Tailand sudah masuk kategori maju. Ilmu pengetahuan-tentu dengan ditopang bidang lain seperti ekonomi, budaya, dan sosial-politik-menjadi tonggak utama dan pertama kemajuan sebuah bangsa.

Tak bisa tidak, bangsa maju manapun harus melewati tahap ini. Jepang sudah melewati tahap ini. Itulah sebabnya Jepang menjadi salah satu bangsa maju di Asia bahkan di dunia, bersaing dengan bangsa maju lainnya di Eropa dan Amerika. Jepang memang tidak main-main dengan pengetahuan. Dalam bidang Filsafat, Jepang sudah menunjukkan buktinya. Filsuf-filsuf Jepang sudah membuktikan bahwa mereka bisa membangun dan mengembangkan ilmu Filsafat khas Jepang. Itulah sebabnya, sahabat saya yang bekerja di Jepang mengatakan, “Jepang belajar filsafat di Eropa, lalu membangun sistem filsafatnya sendiri khas Jepang.”

Kemajuan Jepang rupanya tidak lepas dari kemajuan bangsa lain seperti Eropa. Jepang-dalam hal ini-pandai belajar dari negara lain. Jepang tahu bangsa Eropa sudah maju karena ilmu pengetahuannya, dia pun ingin belajar dari Eropa. Bagi Jepang, ilmu pengetahuan tidak jatuh begitu saja dari langit. Ilmu pengetahuan mesti dicari, dipelajari, dikembangkan. Tidak ada hal baru di atas bumi ini. Semuanya sudah dipelajari, ditelusuri. Maka, kalau mau mendapatkan yang baru, selidikilah seluk-beluk yang sudah ada. Demikian juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Jepang menyelidiki perkembangan ilmu pengetahuan ini di Eropa. Jepang tahu betul, Eropa adalah gudang ilmu pengetahuan. Maka, Jepang mengirim para mahasiswanya ke Eropa. Di Eropa mereka belajar apa saja. Ilmu pengetahuan umum, budaya, sosial, politik, filsafat, teknologi dan cabang lainnya. Para mahasiswa ini belajar dan bertemu para ilmuwan Eropa. Dari para ilmuwan ini, mereka belajar banyak hal. Mereka ingin menjadikan ilmu pengetahuan ini kelak menjadi milik orang Jepang. Mereka rupanya punya keyakinan kuat bahwa Jepang juga bisa seperti Eropa. Jepang memang terbelakang dibanding Eropa tetapi mereka yakin bisa mengejar Eropa. Mereka mencari cara agar mimpi ini tercapai.

Sambil belajar, mereka menemukan caranya. Mereka belajar di Eropa tapi mereka kembali ke Jepang. Di Jepanglah mereka mengembangkan ilmu pengetahuannya. Dalam bidang Filsafat misalnya, mereka belajar dari filsuf-filsuf Eropa seperti Kierkegaard (1813-1855), Heideger (1889-1976), Buber (1878-1975). Mereka belajar karya-karya filsuf Yunani Kuno seperti Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), dan sebagainya.

Untuk mencapai perkembangan ilmu-ilmu modern, rupanya harus belajar dari ilmu-ilmu yang sudah ada sebelumnya. Jepang menerapkan hal ini dalam bidang kesehatan. Mereka mengirim tenaga kesehatan untuk belajar di Eropa lalu kembali ke Jepang dan mengembangkan pengetahuannya. Belajar kesehatan bagi orang Jepang tidak berhenti pada gelar dokter atau perawat. Belajar bagi mereka adalah pekerjaan seumur hidup.

Kata sahabat saya lagi, “Ilmuwan Jepang belajar kedokteran di Jerman, lalu kembali ke Jepang. Di sana mereka mengembangkan ilmu kedokteran dan menemukan jenis-jenis obat khas Jepang.” Ini menarik untuk ditiru. Demikian juga dengan ilmu lain seperti Filsaafat. “Orang Jepang belajar Filsafat di Eropa lalu kembali Jepang dan menemukan Filsafat khas Jepang.” Maka lahirlah nama besar seperti Nishida Kirarò (1870-1945), Tanabe Hajime (1885-1962), dan Nishitani Keiji (1900-1990). Ini hanya beberapa saja. Masih banyak ilmuwan lainnya. Mereka inilah yang berjasa membangun sistem Filsafat khas Jepang.
Mereka belajar dari Eropa, menerjemahkan karya-karya penting dari Eropa lalu mereka membangun sistem filsafatnya sendiri. Begini rupanya Jepang membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia kiranya perlu menengok sejarah. Soekarno sudah mengirim putra-putra terbaiknya untuk belajar di Eropa dan Amerika. Soekarno rupanya tidak kalah pandai dengan Jepang. Boleh jadi sebelum Jepang, dia sudah menemukan cara ini. Atau juga mungkin sama-sama pandai. Maklum, Soekarno belajar Filsafat dan ilmu pengetahuan lain di Eropa. Sayang, kecerdasan Soekarno tidak didukung oleh anak-anak bangsa. Ilmu pengetahuan dalam hal ini lagi-lagi dikhianati politik. Politiklah yang membuat putra-putra terbaik Indonesia tidak bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya di negara ini. Mereka berjaya di luar negeri sementara Indonesia sendiri terus terbelenggu dengan kemajuannya yang tinggal di tempat.

Terkenang sebuah seminar di STF Driyarkara beberapa tahun lalu. Pembicaranya adalah putra Indonesia sendiri yang bekerja di kota Manchester, Inggris. Dia lebih nyaman bekerja di universitas terkemuka di Inggris ketimbang di Indonesia karena karya-karyanya tidak bisa dikembangkan di Indonesia. Bahasa kasarnya, bangsanya sendiri tidak mendukung karya-karyanya. Kiranya dia tidak sendiri. Banyak ilmuwan Indonesia yang bekerja dan mengajar sampai namanya terkenal di luar negeri termasuk di Jepang dan Eropa. Indonesia rupanya tidak kalah dari Jepang. Indonesia tinggal selangkah lagi. Namun, langkah itu masih sulit jika situasi politik, sosial, ekonomi tidak kunjung kondusif. Kapan Indonesia bisa membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuannya? Saat Indonesia sudah bebas dari belenggu politik, sosial, dan ekonomi yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Waktunya belum ditentukan. Jepang sudah menemukan saat-saat terindahnya di abad XIX dan XX. Ayo..Indonesia juga bisa. Majulah anak bangsa, rebut kemajuan dari tangan-tangan pembelenggu.

Salam cinta Indonesia.

PRM, 6/3/2015
Gordi

Padre Corda SX
Setiap hari saya mendengar berita. Dalam negeri dan luar negeri. Ketika pagi hari mengecek email, saya sudah bisa menengok berita, dalam negeri, Italia dan luar negeri Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Italia. Kadang-kadang dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Portugis versi Brasil. Namun, untuk menyimak lebih dalam, saya lebih cenderung menengok dalam tiga bahasa pertama. Tiga bahasa lainnya hanya sepintas lalu. Toh, saya tidak memahami bahasa-bahasa tersebut. Tetapi, maklum tinggal bersama-sama, jadilah saya juga ikut melihat berita tersebut.

Email gmail, ymail, dan yahoo saya sudah cukup untuk membawa informasi. Dari ketiganya juga, saya bisa berhubungan dengan dunia lainnya, sebab ketiganya saya hubungkan dengan koran dan majalah internasional seperti Vatican.va, BBC, the Guardian, UCANews, kompas.com, dan sebagainya. Sudah banyak berita yang saya terima dari media-media ini. Berita-berita itu datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Berita yang menyenangkan, menyedihkan, membakar semangat, memunculkan rasa haru, dan sebagainya. Berita-berita itu meninggalkan kesan dan pesan tersendiri buat saya.

Berita hari ini, Jumat, 30 Januari 2015 justru berita yang mengejutkan. Saya terkejut membacanya. Langsung seketika juga ikut berduka, sedih sekali. Padahal, sebelumnya, saya senang sekali. Saya baru saja menyelesaikan ujian lisan di kampus dan hasilnya bagus. Pulang ke rumah dengan perasaan senang dan bangga. Saya lalu mengecek facebook. Dari situlah saya mendapatkan berita mengejutkan ini. Padre Corda, SX meninggal dunia.

Berita meninggalnya padre ini ditulis dengan beragam status teman-teman di facebook. Saya menyimak beberapa di antaranya. Banyak kesan, ingatan, kenangan, perasaan terharu, ada di sana. Ada juga yang mengupload foto-foto tentangnya, tentang kebersamaan dengannya, tentang bekerja dengannya, tentang perjalanan dengannya. Begitu panjang jika didaftarkan. Intinya berita-berita tersebut muncul sebagai tanggapan atas berita yang mengejutkan tadi.

Berita meninggalnya padre Italia ini seperti berita meninggalnya kakak kandung saya pada bulan Oktober tahun 2008 yang lalu. Rasa sedih saya bertambah besar waktu itu. Dan, saat ini juga rasa itu muncul lagi. Sekali lagi, saya sedih sekali mendengar berita itu. Berita yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. Saya membagikan rasa sedih saya ini dengan teman-teman mantan murid-murid Padre Corda di kota Parma ini. Kami sama-sama sedih mendengar berita ini.

Berita sedih ini menjadi bertambah karena di Parma ini, tadi malam, meninggal seorang padre lainnya, Padre Battista Mondin, SX. Filsuf dan Teolog ternama di Italia. Dia menjadi satu di antara sekian ahli filsafat Santo Thomas Aquinas di Italia. Penelitian dan karya-karyanya menjadi rujukan banyak pakar filsafat dan teologi di seluruh dunia. Tentangya juga saya mempunyai kenangan. Memang, beberapa kali saya bersapa dengannya setelah dia pindah ke kota Parma pada 2013 yang lalu. Selain, itu saya mengenalnya sejak di Jakarta, melalui bukunya tentang Filsafat Abad Pertengahan dan Filsafat Manusia. Salamat jalan untuk kedua padre saveriani ini.

Mereka meninggalkan banyak kenangan untuk kami.
Hanya kenangan itulah yang kami ingat.
Kenangan itu ditulis dalam ingatan kami.
Kami mengingatkan kembali kebersamaan dengan mereka.
Itulah mereka yang mendahului kami.
Selamat jalan ya padre.


Prm, 7/2/15
Gordi



Santo Yustinus Martir lahir tahun 103 M dan mati tahun 165 M. Ia adalah seorang santo yang bertobat karena membaca Injil. Baginya, Injil menjadi filsafat. Dia memang suka belajar filsafat. Karena sukanya, ia mengajar filsafat. Dia menemukan kebenaran sejati dalam Injil. Kebenaran yang sama pernah ia temukan dalam pelajaran filsafat. Tetapi, dalam Injil, ia menemukan kebenaran yang sejati.

Banyak kesaksian bahwa orang pintar akan menjauh dari agama. Tak jarang orang pintar malah mencoba mengobrak-abrik ajaran agama. Dari beriman menjadi tidak beriman. Dari ber-Tuhan menjadi berateis. Tentu perlu juga mencoba mengkritisi ajaran agama yang kadang terkesan kaku. Dengan itu, ajaran agama tidak diterima begitu saja tetapi diuji keilmiahannya sehingga bisa diterima akal.

Tetapi, meneliti ajaran agama tidak sama dengan melepaskan status keberimanan, keber-Tuhanan. Percaya pada Kehendak Tuhan adalah bagian dari iman. Sedangkan meneliti ajaran tentang Tuhan adalah bagian dari kerja ilmiah, olah pikir manusiawi. Keduanya mesti dibedakan dan tentu salaing mendukung.

Santo Yustinus yang kita peringati hari ini, 1 Juni kiranya menjadi teladan bagi kita. Ia tekun membaca Taurat dan Injil. Seharusnya kita pun meneladan dia, jatuh cinta pada Injil. Injil menjadi kekasih yang selalu dikenang, diingat, dan juga dihayati dalam hidup. Yustinus cerdik dari sisi otak, dan cerdik pula dalam hal beriman. Dengan mencintai ilmu yang kita pelajari, kita juga mencintai Injil yang kita hayati.


PA, 1/6/13
Gordi

Gimana Sich Cara Nulis Puisi Keren?

Pertanyaan yang berbobot dan bermanfaat. Dua predikat yang penting untuk warga kompasiana.

Pertanyaan di atas dilontarkan oleh seorang kompasianaer, AS (maz gordi slalu bisa buat puisi yang keren ,, bagi tipsnya dong). Entah dia bertanya serius atau hanya iseng saja. Yang jelas pertanyaan itu disematkan pada kolom komentar tulisan saya. 
Arizona San24 April 2013 03:38:55
.. amin
maz gordi slalu bisa buat puisi yang keren ,, bagi tipsnya dong :)
]

Saya sebagai penulis pun bangga bisa ditanya demikian. Saya tidak menjawab langsung. Saya hanya merasa tulisan saya berbobot juga. Saya bangga jika tulisan saya menjadi sumber pertanyaan bagi pembaca. Bertanya bagi saya menjadi langkah awal untuk belajar hal baru. Demikianlah yang didengung-dengungkan dosen Filsafat di kampus saya dulu. “Kalau kalian tidak rajin bertanya, kalian belum memasuki dunia Filsafat.”

Saya jadi ingat salah satu defenisi filsafat, ilmu yang berawal dari pertanyaan dan berakhir dengan pertanyaan juga. Saya pun sebenarnya ehndaknya ebrtanya pada kompasianer yang bertanya itu, Mengapa kamu bertanya demikian?

Tentu ada dasarnya. Paling tidak dia sudah membaca tulisan saya yang berbentuk puisi itu. Saya pun bingung menjawabnya. Gimana yah? Dari bingung ini, saya mencoba mencari jawabannya.

Pertanyaan ini berbobot karena menanyakan akar dari tulisan saya. Jika tulisan saya bagus, akarnya apa yahhh. Mengapa sampai saya bisa menulis demikian. Inilah bobotnya pertanyaan ini.

Pertanyaan seperti ini bermanfaat. Sebagai bahan pelajaran. Bertanya mengapa itu baik, menurut saya, merupakan pertanyaan bermanfaat. Manfaatnya ya orang bisa belajar mengapresiasi sekaligus terlibat dalam karya tulis orang lain.

Saya dulunya tidak suka puisi. Alasannya puisi itu mengawang-awang. Abstrak. Saya tidak betah membaca puisi. Saya pernah mengikuti puisi mingguan di koran KOMPAS. Tetapi, saya tidak menikmati sama sekali.

Saya tertarik dengan puisi setelah pernah mencoba membuatnya. Meski puisi saya itu juga abstrak. Entah mengapa dari situ, saya terus mencoba menulis puisi.

Puisi yang saya sukai adalah puisi yang ditulis oleh, Sindhunata, budayawan, filsuf, novelis, dan sastrawan, yang memimpin majalah BASIS. Saya suka membaca puisinya meski tidak banyak buku puisinya. Atau mungkin banyak tetapi saya belum menemukannya. Saya membaca banyak bukunya tetapi bukan tentang puisi. Saya membaca puisinya di majalah seperti UTUSAN dan kadang-kadang di BASIS.

Dari situ, saya mencoba menulis puisi sederhana. kata-katanya tidak abstrak. Mungkin karena saya ini orang sederhana sehingga puisi saya juga sederhana, tidak mengawang, hehee. Saya kira demikian saja tanggapan saya. Tidak lebih dari sini. Saya tidak pernah belajar formal atau mengikuti kursus menulis puisi. Untuk AS saya mengucapkan terima kasih sudah bertanya.

Salam puisi


PA, 24/4/13

Gordi


gambar di sini
Perjalanan ke mana pun akan selalu terkenang jika ada peristiwa yang menyentuh hati. Ini efek dari peristiwa itu. Satu lagi hal yang menguntungkan yakni suasana ketika peristiwa itu berlangsung. Perjalanan menyenangkan, tidak membosankan, dan waktu tak terasa. Tiap saat akan diisi dengan hal yang menarik perhatian.

Beberapa waktu lalu saya mengalami hal ini. Sampai sekarang saya masih mengenang dan mengingat peristiwa itu. Lima belas menit sebelum kramat djati berangkat, saya dan seorang bapak duduk di dalam bis. Teman-teman penumpang lain mendahului kami dalam bis. Kursi yang tersisa pas buat kami berdua. Kami mulai menyapa dan memperkenalkan diri. Saya seorang mahasiswa dan dia seorang wiraswasta, katakanlah demikian. Dia bekerja sebagai penghubung antara pengrajin barang antik dari wilayah Jawa Timur dan para penjual di Bali. Pembicaraan kami berkisar seputar profesi masing-masing. Saya yang muda ini mulai bertanya tentang pekerjaan yang digelutinya. Dari kata-katanya tersirat makna mendalam tentang nilai kehidupan. Dia mengatakan, “Hidup ini membutuhkan perjuangan sekuat tenaga. Terkadang harapan kita tidak menjadi kenyataan. Di sinilah peran kita untuk selalu berjuang dalam menjalankan pekerjaan macam apa pun.”

Saya amat tersentuh dengan kata-kata ini. Menjadi manusia memang harus berjuang. Manusia yang tidak berjuang adalah manusia yang mudah jatuh dalam dunia putus asa. Perjuangan seperti apakah yang bapak ini geluti? Saya menanyakan perihal barang antik yang dia sebut. Barang-barang itu adalah lemari dengan berbagai model, kursi, meja, asbak, dan sebagainya. Barang antik itu ialah barang biasa yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampak begitu indah. Antik yang bapak sebutkan tadi adalah indah sehingga muncul istilah barang antik.

Giliran saya menjawab pertanyaan. Dia heran ketika saya mengatakan, “Saya dari pulau bunga dan sedang mencari ilmu (kuliah) di Jakarta.”
“Jauh amat dik.”
“Ya, begitulah pak….”

Dia tambah heran mendengar jurusan yang saya ambil, Filsafat. Dia sama sekali belum begitu akrab dengan istilah Filsafat. Ternyata masih ada masyarakat yang belum mengenal istilah ini. Dia berpesan supaya saya belajar dengan baik dan berusaha untuk berhasil. Pesan ini disampaikan karena dia melihat realitas yang ada di sekitar tempat ia hidup. “Sekarang ini banyak penganggur. Mendapatkan pekerjaan sangat sulit. Banyak sarjana menjadi penganggur. Jangan sampai adik menjadi penganggur setelah selesai belajar Filsafat.”
Saya paham dan setuju dengan pendapat bapak. Banyak penganggur di negeri ini. Sorotan tajam kaum tua kepada kaum muda yang diwakili oleh para sarjana adalah masalah mencari dan mendapatkan pekerjaan. Dia tentu kecewa jika kaum muda yang nota bene berpendidikan, menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, tidak mendapat pekerjaan. Padahal generasi seangkatannya mendapat pekerjaan tanpa melalui pendidikan yang tinggi. Menurut hemat saya masalah ini bisa diselesaikan. Perlu kacamata yang tajam dan seimbang untuk melihat persoalan semacam ini. Perbedaan pendapat (atau mungkin penilaian) tentang pekerjaan perlu dijembatani dengan dialog yang hidup. Dua catatan yang menurut hemat saya amat membantu melihat persoalan seperti ini.

Pertama, tidak salah kaum tua mengatakan demikian. Tetapi, alasannya tidak melulu pada pendidikan. Alasan berpendidikan formal atau tidak bukan menjadi alasan dasar untuk membangun argumen. Kaum muda yang tamat SMA pun bisa mendapat pekerjaan yang layak dalam masyarakat. Saya kira persoalan utama adalah kemauan untuk bekerja. Banyak orang berpendidikan yang tidak mau bekerja di luar bidang keahliannya. Padahal tidak semua jurusan yang diambil memiliki lapangan kerja yang memadai. Kondisi ini seharusnya menumbuhkan semangat kaum muda untuk menciptakan lapangan kerja baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Kedua, ketiadaan lapangan kerja seharusnya menyadarkan orang untuk belajar berkreativitas dan meraba semua jenis pekerjaan. Orang yang kreatif bisa bekerja di sektor mana pun. Modalnya adalah kemauan untuk bekerja. Jangan terus mengharapkan untuk bekerja di bidang yang dikuasai, di bidang yang sesuai dengan jurusan di perguruan tinggi. Ada orang yang berhasil bukan karena ahli dalam bidangnya tetapi karena mau bekerja dalam bidang yang ditawarkan kepadanya. Kreativitas dalam bekerja muncul jika orang setia bergelut dengan pekerjaannya. Keahlian muncul setelah bergelut dalam jenis pekerjaan tertentu. Maka, jangan menganggap diri ahli karena telah menamatkan studi dalam bidang tertentu. Berhasil dalam studi tidak sepenuhnya membuat seorang sarjana menjadi ahli. Gelar sarjana yang didapatkan menjadi langkah awal untuk terjun dalam dunia lapangan kerja. Di situlah dia akan mendapat keahliannya. Seperti seorang yang terpelajar atau doktor belum bisa dikatakan ahli kalau dia belum mengajar atau membuat penelitian. Pergumulannya dalam dua bentuk kegiatan ini menentukan dan membuat dia menjadi ahli dalam bidang yang digelutinya. Petani tidak menjadi ahli kalau dia belum turun ke sawah, membasahi jari tangannya dengan air dan lumpur.

Pembicaraan kami sudah terlalu lama. Bis yang kami tumpangi mendekati bibir dermaga Gilimanuk. Kami pun keluar menikmati suasana baru di luar bis. Penyeberangan dengan kapal feri berlangsung selama 45 menit. Ketika masuk kembali dalam bis di pelabuhan Ketapang, Surabaya, saya mulai kantuk. Bapak itu ingin mlanjutkan perbincangan. Saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya,
“Tiba jam berapa di Situbondo pak?”
“Dua jam lagi.”

Dia mengambil nasi bungkusnya ketika mata saya mulai redup. Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Saya terlelap di alam peraduan tanpa mimpi. Saya capek apalagi siangnya tidak istirahat. Sepanjang sore hari kami berdiskusi. Tubuh saya begitu lelah. Saya kaget ketika sadar dan tidak melihat bapak itu lagi. Saya tidak bisa berdiskusi lagi dengannya. Padahal masih banyak bahan yang bisa disikusikan. Teman di samping kanan saya menyampaikan pesan bapak itu ketika dia mau turun tadi, “Bapak bilang selamat menempuh perjalanan selanjutnya, semoga tiba dengan selamat di tempat tujuan.” Ini pesan terakhir darinya yang tidak langsung saya dengar karena tertidur. Terima kasih pak, selamat jalan juga…….. Perjumpaan sesaat yang berharga buat saya. Hidup ini memang selalu membutuhkan perjuangan. Tiap hari harus diisi dengan perjuangan, apa pun bentuknya………

Jakarta, 4 September 2010
Gordi Afri



Google images

I.       Riwayat hidup
Pythagoras hidup kira-kira tahun 580-500 SM.[1] Tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Pythagoras lahir di Pulau Samos (dekat pantai Asia Kecil). Daerah ini termasuk daerah Ionia. Menurut tradisi (Yunani), ia sering bepergian (antara lain ke Mesir). Namun, mengenai hal ini belum ada kepastian. Kehidupan Pythagoras tidak lepas dari pengaruh politik. 

Menurut kesaksian Aristoxenos—seorang murid Aristoteles—Pythagoras tidak setuju dengan pemerintahan tyranos Polikrates sehingga ia pindah ke Kroton (Italia selatan).[2] Di situ, ia mendirikan tarekat keagamaan yang dikenal dengan sebutan Tarekat Pythagorean[3], atau Perguruan Pythagoras.[4] Asal mula tarekat ini tidak jelas.[5] Tarekat ini meninggalkan pengajaran yang berasal dari Pythagoras sendiri dan para muridnya. Sulit membedakan mana yang berasal dari Pythagoras dan mana yang dari muridnya. 

Pythagoras memberi pengajarannya secara lisan. Pengajaran ini pun dirahasiakan dan dilarang untuk disiarkan. Meski demikian Tarekat ini memiliki keistimewaan atau karakter yakni asketik dan religius.[6] Pythaoras menetap di Kroton selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya, Pythagoras bersama muridnya pindah ke Metaponthion. Alasan-alasan politik menjadi penyebab perpindahan ini. Pythagoras meninggal di Metaponthion.

II.    Ajaran tentang jiwa
Pythagoras mempunyai ajaran—seperti para filsuf prasokratik lainnya—yang kas. Salah satu ajaran dari Pythagoras adalah ajaran tentang jiwa. Manusia yang hidup sezaman dengan Pythagoras mempertanyakan tentang jiwa khususnya jiwa manusia. Namun, jiwa itu masih dikaitkan lagi dengan makhluk hidup lain. Pythagoras menjadi salah satu tokoh yang membahas tentang jiwa manusia di zamannya. Tentu saja pembahasannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.

Menurut Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwanya berpindah ke hewan, dan bila hewan itu mati, ia berpindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya, jiwa bisa diluputkan dari nasib reinkarnasi[7] itu. Penyucian itu dihasilkan dengan berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang.[8] 

Satu contoh perpindahan jiwa dari manusia ke binatang yakni ketika Pythagoras menyuruh seorang sahabat—yang memukul anjing—untuk berhenti memukul anjing. Ia mendengar suara anjing yang mendeking karena dipukul. Ia mendengar suara seorang sahabat yang telah meninggal dari dengkingan anjing itu. Manusia mati namun jiwanya berpindah ke tubuh anjing. Suara dengkingan anjing yang dipukul itu menandakan perpindahan jiwa manusia—dalam hal ini adalah seorang sahabat Pythagoras—yang meninggal itu.

        Pythagoras juga mengatakan dua hal tentang jiwa. Pertama, Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang selamanya ada. Badan merupakan tempat tinggal jiwa, tetapi sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan badan. Jiwa ada di badan—untuk  sementara saja—sebagai hukuman. Jiwa tidak selamanya ada di satu badan. Jiwa bisa keluar dari satu badan dan harus pindah ke badan lain. Keberadaan jiwa itu tergantung dari katarsis (penyucian) badan. Penyucian ini dilakukan dengan menjauhkan diri dari kesukaan badan. Kalau badan sudah suci secara sempurna, jiwa akan keluar dari badan. Kalau belum sempurna jiwa akan berpindah dari badan ke badan. Tugas manusia adalah mengeluarkan jiwa dari badan.

             Menurut pandangan ini manusia harus bertanggung jawab atas perpindahan jiwanya. Ini merupakan tugas berat yang dihadapi manusia. Bagaimana manusia pada zaman Pythagoras—khususnya yang menganut paham ini—melakukan hal ini? Pythagoras mempraktikkan ajarannya kepada murid-muridnya. Unsur penting yang ditekankan kepada murid-muridnya dalam mempraktikkan ajaran ini adalah memenuhi peraturan-peraturan yang ada.[9] Peraturan itu misalnya berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang, dan juga menjuahkan diri dari kesukaan badan.

Kedua, Jiwa adalah ‘harmoni’ dari badan. Dalam hal ini Pythagoras menggunakan prinsip keharmonisan dalam setiap barang. Ia mengibaratkan harmoni dari gitar yang tak mungkin lepas dari dawai-dawainya. Demikian juga jiwa tak mungkin lepas dari badan manusia. Jiwa ‘sudah’ ada ‘sebelum’ berada di badan. Jiwa itu ada tanpa permulaan. Jika demikian, adanya itu tidak tergantung dari badan.[10]

Menurut pandangan ini jiwa tak mungkin lepas dari badan. Berarti di satu sisi sama saja kalau badan dan jiwa itu menyatu. Di sisi lain mugkin tidak, karena jiwa ada sebelum ada di badan dan adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Kalau jiwa dan badan menyatu maka dalam hal ini ada pertentangan. Ini bertentangan dengan teori yang mangatakan bahwa jiwa adalah tempat tinggal badan tetapi sama sekali tidak punya hubungan dengan badan. Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa pembahasan Pythagoras tentang badan dan jiwa belum selesai.

Pada pembahasan lain Pythagoras mengatakan bahwa jiwa adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak berjasad serta tidak dapat mati. Oleh karena hukumlah maka jia terbelenggu dalam tubuh. Dengan penyucian (katharsis), orang dapat membebaskan jiwanya dari belenggu tubuhnya, sehingga setelah orang mati jiwanya akan mendapatkan kebahagiaan. Akan tetapi barang siapa tidak menyucikan diri atau penyucian dirinya kurang, jiwanya akan berpindah ke kehidupan yang lain, sesuai dengan keadaanya, baik berpindah ke binatang, ke tumbuh-tumbuhan atau ke manusia.[11]

III.          Kesimpulan
             Pythagoras sangat  ketat dengan pengajaran khususnya pengajaran tentang jiwa. Bahkan  para muridnya menerapkan ajaran ini.  Ada peraturan-peraturan mengenai pakaian dan mengenai pantang, hal mana tentu mempunyai hubungan dengan ajaran Pythagoras tentang perpindahan jiwa.[12] Ajaran Pythagoras yang diterapkan pada para muridnya ini tentu bukanlah sesuatu yang sempurna dan tanpa cacat. Perdebatan mengenai badan dan jiwa manusia belum selesai. Mungkin tak ada lagi yang bisa menjelaskan bagaimana posisi jiwa dan badan manusia saat itu sehingga teori Pythagoras ini berhenti di sini. 

Bagian akhirnya menyisakan pertanyaan. “Apakah badan jiwa menyatu?” “Apakah mereka berpisah?” Hal ini belum dijelaskan dalam teori Pythagoras. Singkatnya bahwa teori ini belum sempurna. Apa yang dibicarakan dalam teorinya hanyalah sebatas ide awal. Di masa selanjutnya mungkin ide ini akan berkembang dan sampai pada penemuan mengenai posisi badan dan jiwa. 

Teori Pythagoras ini masih bertentangan. Pythagoras mengatakan bahwa badan adalah tempat tinggal jiwa namun tidak ada hubungan sama sekali dengan jiwa. Pythagoras juga mengatakan bahwa adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Bagaimana mngkin keduanya bisa seperti ini? 

Belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai hubungan atau kedudukan dari badan dan jiwa. Keduanya tentu memiliki hubungan erat yakni badan adalah tempat tinggal jiwa, tetapi mengapa keduanya tidak ada hubungan sama sekali? Teori Pythagoras menyisakan pertanyaan.

Daftar pustaka
Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.
Copelston, F. 1946. A History of Philosophy vol i. Cambridge: Cambridge university press.
Sudiarja, A (ed). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta, Yogyakarta: Gramedia, Penerbit Buku KOMPAS, Kanisius.
Harun Hadiwijono. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus.
Hassan Shadily. ? Ensiklopedi Indonesia (edisi khusus). Jakarta: P.T.Ichtiar Baru—Van Hoeve.


*Karangan ini dibuat pada semester ganjil 2008/09 di STF Driyarkara Jakarta

Cempaka Putih 21/11/2011
Gordi Afri


[1] Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hlm. 1090.
[2] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 42.
[3] Ibid.
[4] Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hal. 1092.
[5] Copelston, F. A History of Philosophy vol i. hlml.29, “The origins of the Pythagorean Society, like the life of the founder, are     shrouded in obscurity.”
[6] Ibid  “But the Pythagorean School had a distinguishing characteristic, namely, its ascetic and religious character.”
[7] Menurut Ensiklopedi Indonesia Reinkarnasi berasal dari kata Latin incarnatio = mengambil bentuk manusia; caro = daging/tubuh. Dengan demikian Reinkarnasi berarti proses penjelmaan kembali sewa atau roh leluhur ke dalam tubuh manusia, binatang atau makhluk lain.
[8] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 44.
[9] Ibid.               
[10] Lih. Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hlm. 1093-1094.
[11] Harun Hadiwijono. sari sejarah filsafat barat 1. hlm. 19-20.
[12] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 43.
Powered by Blogger.