Halloween party ideas 2015
Showing posts sorted by relevance for query PUISI. Sort by date Show all posts

Gimana Sich Cara Nulis Puisi Keren?

Pertanyaan yang berbobot dan bermanfaat. Dua predikat yang penting untuk warga kompasiana.

Pertanyaan di atas dilontarkan oleh seorang kompasianaer, AS (maz gordi slalu bisa buat puisi yang keren ,, bagi tipsnya dong). Entah dia bertanya serius atau hanya iseng saja. Yang jelas pertanyaan itu disematkan pada kolom komentar tulisan saya. 
Arizona San24 April 2013 03:38:55
.. amin
maz gordi slalu bisa buat puisi yang keren ,, bagi tipsnya dong :)
]

Saya sebagai penulis pun bangga bisa ditanya demikian. Saya tidak menjawab langsung. Saya hanya merasa tulisan saya berbobot juga. Saya bangga jika tulisan saya menjadi sumber pertanyaan bagi pembaca. Bertanya bagi saya menjadi langkah awal untuk belajar hal baru. Demikianlah yang didengung-dengungkan dosen Filsafat di kampus saya dulu. “Kalau kalian tidak rajin bertanya, kalian belum memasuki dunia Filsafat.”

Saya jadi ingat salah satu defenisi filsafat, ilmu yang berawal dari pertanyaan dan berakhir dengan pertanyaan juga. Saya pun sebenarnya ehndaknya ebrtanya pada kompasianer yang bertanya itu, Mengapa kamu bertanya demikian?

Tentu ada dasarnya. Paling tidak dia sudah membaca tulisan saya yang berbentuk puisi itu. Saya pun bingung menjawabnya. Gimana yah? Dari bingung ini, saya mencoba mencari jawabannya.

Pertanyaan ini berbobot karena menanyakan akar dari tulisan saya. Jika tulisan saya bagus, akarnya apa yahhh. Mengapa sampai saya bisa menulis demikian. Inilah bobotnya pertanyaan ini.

Pertanyaan seperti ini bermanfaat. Sebagai bahan pelajaran. Bertanya mengapa itu baik, menurut saya, merupakan pertanyaan bermanfaat. Manfaatnya ya orang bisa belajar mengapresiasi sekaligus terlibat dalam karya tulis orang lain.

Saya dulunya tidak suka puisi. Alasannya puisi itu mengawang-awang. Abstrak. Saya tidak betah membaca puisi. Saya pernah mengikuti puisi mingguan di koran KOMPAS. Tetapi, saya tidak menikmati sama sekali.

Saya tertarik dengan puisi setelah pernah mencoba membuatnya. Meski puisi saya itu juga abstrak. Entah mengapa dari situ, saya terus mencoba menulis puisi.

Puisi yang saya sukai adalah puisi yang ditulis oleh, Sindhunata, budayawan, filsuf, novelis, dan sastrawan, yang memimpin majalah BASIS. Saya suka membaca puisinya meski tidak banyak buku puisinya. Atau mungkin banyak tetapi saya belum menemukannya. Saya membaca banyak bukunya tetapi bukan tentang puisi. Saya membaca puisinya di majalah seperti UTUSAN dan kadang-kadang di BASIS.

Dari situ, saya mencoba menulis puisi sederhana. kata-katanya tidak abstrak. Mungkin karena saya ini orang sederhana sehingga puisi saya juga sederhana, tidak mengawang, hehee. Saya kira demikian saja tanggapan saya. Tidak lebih dari sini. Saya tidak pernah belajar formal atau mengikuti kursus menulis puisi. Untuk AS saya mengucapkan terima kasih sudah bertanya.

Salam puisi


PA, 24/4/13

Gordi



Puisi
Karya seni manusia
Daya khayal nan menarik
Rangkaian kata yang bermakna

Puisi
Mereka bilang butuh inspirasi
Sebelum membuatnya
Benarkah demikian?

Tampaknya demikian
Ada inspirasi
Ada puisi

Inspirasi dapat dari mana?
Dari refleksi
Dari pengamatan
Atas hidup harian

Puisi
Mempunyai pesan
Bukan goresan belaka
Bukan pula obral kata

Puisi
Membawa maksud
Entah untuk masyarakat
Atau untuk penulisnya

Puisi
Sulit menulisnya
Mudah membacanya
Sulit menikmatinya

Puisi
Sulit menangkap maknanya
Bagi orang yang tak biasa
Dengan pikiran abstrak

Puisi
Satu bentuk karya seni
Yang bisa menjadi curahan hati
Meringankan beban pikiran

PA, 7/3/13

Gordi

FOTO, di sini
Pingin nulis puisi
Tapi kadang tidak bisa
Kata orang asal ada keinginan
Realisasinya pasti bisa

Untuk itu aku berusaha
Agar bisa menulis puisi
Tak perlu yang sulit-sulit
Mulai saja menggores satu dua baris

Ini sebagai langkah awal
Kalau sudah sering-sering membuatnya
Lama-lama pasti aku bisa
Ala bisa karena biasa

Supaya bisa berpuisi memang harus ada usaha
Usaha yang kadang sulit dibayangkan
Tapi kalau langsung dimulai
Alhasil pasti bisa

Ini juga jadi puisi
Goresan sederhana
Yang mungkin tak berarti
Tapi setiap orang bisa menilai

Salam fiksiana

PRM, 23/5/15
Gordi

FOTO, kompasiana.com
Dapat penghargaan di blog kompasiana adalah sebuah kebangaan. Bangga karena merasa dihargai di blog besar dan ramai ini. Tidak semua orang bisa dapat. Hanya sekian dari sekian banyak orang. Dengan kata lain, untuk dapat penghargaan mesti ada kelebihan atau kehebatan tertentu.

Kehebatan itu adalah kemampuan menulis. Dengan kemampuan itu, kompasianer dapat menciptakan karya yang bagus. Karya yang bagus bisa masuk kategori HL, atau Highlight, atau TA, atau Feature. Istilah ini kiranya sudah terkenal di kalangan kompasianer. Dan, sudah banyak kompasianer yang mampu membuat tulisan berkategori di atas. Yang belum tentu saja tunggu saatnya. Tidak perlu merasa kecewa jika tidak masuk. Karena, dalam kompasiana ini sebenarnya tidak ada kata TIDAK. Yang ada hanya BELUM. Jadi, yang belum dapat tunggu saja saatnya datang. Para pengelola akan memilih karya-karya terbaik dari kompasianer sekalian. Kesempatan untuk dapat penghargaan itu memang terbuka bagi semua kompasianer. Tentu dengan kriteria yang tertera dalam peraturan kompasiana ini. Kalau karya kompasianer memang tidak masuk kategori ya tentu belum bisa masuk kolom khusus di atas.

Sebagai kompasianer, saya sendiri cenderung untuk tidak memperoleh penghargaan di atas. Saya punya alasannya. Sebelumnya, saya sudah dapat penghargaan kecil seperti masuk HL, highlight dan TA. Mungkin kebetulan saja. Tetapi, bisa juga bukan kebetulan. Kebetulan karena saya tidak menyangka misalnya tulisan saya masuk di kolom TA. Bukan kebetulan karena memang saya menulis dengan baik dan hasilnya tulisan itu masuk kolom HL. Atau juga tulisan lain yang masuk kategori INSPIRATIF, BERMANFAAT, AKTUAL, dan MENARIK.

Tentu saja hanya beberapa dari tulisan saya. Tidak banyak kalau dihitung. Tetapi dari yang sedikit itu, saya sendiri merasa bangga. Bangga karena rupanya tulisan saya dihargai. Bangga karena ternyata saya punya kemampuan untuk menulis dengan baik. Bangga karena ada yang menilai tulisan saya berinspiratif. Beberapa puisi saya sering masuk kategori inspiratif ini meski saya sendiri tidak mau menamai diri saya sebagai penyair (penulis puisi). Saya sendiri cenderung menilai diri saya sebagai penikmat puisi, pembaca karya puisi, pembaca CERPEN dan CERMIN di kompasiana. Dari membaca, saya menulis puisi.

Nah, kalau semua kategori khusus di atas sudah saya dapat, mengapa tidak mau menerima penghargaan lagi? Saya tentu bangga jika ada penghargaan lagi. Tetapi, untuk apa? Saya kira tidak ada lagi penghargaan yang lebih bernilai dari yang sudah saya dapatkan. HL sudah, TA sudah, tinggal saja CENTANG BIRU yang katanya, hanya penulis yang bersumbangsih saja yang bisa dapat centang biru. Maksudnya, kompasianer yang tulisannya—katakan saja—bermanfaat untuk kepentingan bersama. Mohon dikoreksi kalau saya salah ingat. Waktu itu ada pemberitahuan dari admin tentang ini tetapi sekarang saya sudah lupa. Dan, memang kompasianer yang ber-CENTANG BIRU menurut saya, tulisannya bagus dan bermanfaat. Tentu saya juga bisa mendapatkannya. Saya yakin sekali untuk dapat CENTANG BIRU ini. Tinggal saja menulis dengan baik, atau lebih baik lagi dari sekarang, dan menulis artikel yang bermanfaat bagi kepentingan bersama, pada akhirnya pasti saya dapat. Tetapi bagi saya CENTANG BIRU itu tidak terlalu saya perlukan. Kalau dikasih centang biru ya silakan. Kalau tidak juga silakan. Toh, saya menulis di kompasiana ini gratis dan tidak bertujuan untuk mencari penghargaan. Kalau dikasih tentu saja diterima.

Saya cenderung untuk mengatakan LEBIH BAGUS JIKA SAYA TIDAK MENDAPAT PENGHARGAAN itu. Alasannya? Saya tahu kompasianer dengan CENTANG BIRU adalah kompasianer yang bisa dinilai ‘berkelas’ketimbang kompasianer lainnya. Maaf, label ini mau tak mau saya pakai. Bukan untuk mengatakan kompasianer yang tidak bercentang biru tidak berkelas. Apa boleh buat dalam pembagian semacam ini, pembedaan mesti ada. Apalagi sudah jelas. Tetapi tidak perlu menarik kesimpulan bahwa yang tidak bercentang biru tidak berkelas. Tidak! Bukan itu maksud saya. Tentu memang mereka belum bercentang biru. Jadi, masih ada kemungkinan untuk bercentang biru. Seperti saya juga ada kemungkinan untuk dapat itu.

Dengan centang itu, pandangan kompasianer lain otomatis juga berubah. Yang bercentang adalah yang tulisannya bagus. Maka, kalau ada tulisannya nanti yang tidak atau kurang bagus, komentar pun muncul. Kompasianer ini kok tulisannya begini-begini saja padahal sudah bercentang biru. Penilaian semacam ini kadang subyektif tetapi apa boleh buat pasti akan muncul.

Saya cenderung untuk tidak menerima centang itu karena alasan ini juga. Saya bukan penulis hebat di kompasiana meski ada kemungkinan untuk jadi penulis hebat. Saya bukan penulis yang rajin menulis di kompasiana meski saya bisa saja menulis setiap hari. Saya bukan penulis artikel yang berguna bagi sesama—yang masuk kategori khusus—meski  sesekali saya dapat.

Saya hanya menulis untuk megisi waktu dan berbagi. Sekali lagi mengisi waktu dan berbagi. Jadi, dengan dua modal ini, saya bisa menulis dengan bebas tanpa iming-iming menulis hebat dan bagus atau menulis supaya dapat HL. Saya menulis BUKAN UNTUK DAPAT PENGHARGAAN dan BUKAN SUPAYA MASUK KATEGORI HL atau TA. Bukan. Saya menulis untuk berbagi dan mengisi waktu luang saja. Jadi, kalau masuk HL, TA, atau berguna bagi sesama, itu hanya konsekuensi. Saya menulis dan ada konsekuensinya. Konsekuensi itu saya dapat baik dari pengelola kompasiana maupun dari pembaca. Menulis untuk berbagi memang asyik. Saya bisa menulis kapan saja dan memilih topik apa saja.

Mungkin RUGI atau saya merasa KASIHAN pada kompasiana jika saya diberi penghargaan CENTANG BIRU tetapi saya tidak rajin menulis. Kasihan kompasiana jika beri saya centang biru tetapi saya tidak mampu menghasilkan tulisan yang bermutu dan bermanfaat. Jika centang itu diberikan, ibaratnya saya seperti menerima gaji ketiga belas. Dan, saya sendiri merasa gaji ini gratis dan tentunya saya harus membalasnya dengan gratis. Balas gratis dalam konteks ini di kompasiana adalah menulis dengan baik, bermutu, dan bermanfaat. SAYA MALU jika sudah dapat CENTANG BIRU tetapi tidak bisa menghasilkan TULISAN YANG BAIK DAN BERGUNA. Jadi, biarkan saya tidak menerima centang itu agar saya tetap menulis di sini dengan baik.

Dengan tidak menerima centang, saya selalu merasa tulisan saya tidak bagus. Dan dengan merasa tulisan saya tidak bagus, saya akan terus menerus BERUSAHA untuk membuat tulisan yang BAGUS dan BERMANFAAT.

Sekadar sharing pengalaman. Terima kasih untuk pembaca.

PRM, 29/5/15
Gordi

foto oleh Si Tukang Buat Sushi
Satu jam lebih membaca tulisan teman-teman kompasioner. Ada yang cukup melihat judulnya saja, ada yang membaca sampai tuntas, ada yang membaca sebagian saja, ada yang membaca dengan cepat, ada yang membaca penuh perhatian. Inilah warna-warni tulisan di kompasiana. Beda orang beda tulisan, beda bakat beda model tulisan. Itulah indahnya kebersamaan.

Sebentar lagi saya tidur. Saya membaca beberapa puisi dari teman-teman kompasioner. Tidak ada maksud untuk menulis puisi malam ini. Hanya mau membaca sebelum tidur saja. Selama ini saya jarang membaca puisi. Saya tidak mahir membuat puisi. Mudah-mudahan dengan sering membaca saya bisa menuangkan isi hati dalam bentuk puisi.

Berpuisi sebelum tidur. Terima kasih untuk teman-teman penyair di kompasiana ini. KAlian memberi warna pada tulisan yang masuk. Tulisan ini hanya goresan belaka. Mungkin tidak bermakna. Tetapi saya memaknaianya sebagai buah pikiran sebelum tidur. SAmpai jumpa lagi. Terima kasih untuk pembaca yang melirik judul tulisan ini, yang membaca entah sampai tuntas atau sebagain tulisan ini. DAn, terima kasih untuk penyair yang karyanya saya baca sebelum tidur ini.

CPR, 5/7/2012
Gordi Afri

FOTO, m.kompas.com
Lain ayah lain anak
Tidak perlu disamakan
Meski ada juga yang berusaha menyamakannya
Keduanya berbeda 

Namun keduanya bisa juga sama
Kalau anak baik mereka cari ayahnya
Pasti baiknya anak dari baiknya ayah
Begitu komentar mereka

Ayah yang baik menurunkan anak yang baik
Maka ayah yang baik pun dinilai menghasilkan anak yang baik
Pikiran ini sudah melekat
Tak diragukan lagi

Padahal kenyatannya bisa meleset
Ayah baik anak jahat
Anak baik ayah jahat
Harapannya memang ayah baik anak juga baik

Puisi ini kutulis iseng-iseng
Karena kompasiana sulit dibuka
Yang ada hanya tulisan eror
Larilah ke kompas.com

Ide pun muncul
Kompas.com itu ayahnya
Kompasiana anaknya
Beri judul lain ayah lain anak

Lain kompas.com lain kompasiana
Memang keduanya lain
Satunya ayah satunya anak
Bukan tanpa alasan memilih kompas.com sebagai ayah

Boleh tanya mengapa buka ibu
Sebab ibu yang melahirkan
Ya tentu saja
Tetapi aku pilih ayah saja

Sebab tentang baik dan buruknya anak
Sering dikaitkan dengan anak
Meski kenyataannya anak yang baik juga
Dipengaruhi oleh ibunya

Santo Agustinus jadi orang baik
Karena Ibunya Monika berusaha menanamkan sifat baik pada anaknya
Tentu Megawati jadi presiden
Karena pengaruh Soekarno ayahnya yang presiden itu

Kembali ke kompas.com dan kompasiana
Ini bukan kritik untuk kompasiana
Ini hanya puisi iseng setelah kompasiana tidak bisa diakses
Buka kompas.com memang lancar

Maka, memang kompas.com itu ayah yang baik
Kompas.com jadi pilihan ketika kompasiana macet
Kompasiana juga belajar dari kompas.com
Lihat saja berita kompasiana itu banyak terinspirasi dari kompas.com

Maka, sambil menunggu kompasiana bisa diakses
Kutulis puisi ini
Biar disimpan saja di komputer
Dari pada ide ini hilang begitu saja

Salam hormat untuk tim kompasiana
Yang sedang giat-giatnya memberi tenaga baru pada kompasiana
Salam semangat untuk kompasianer sekalian

PRM, 2/6/15
Gordi


Perjumpaan saya dengan anak jalanan di Jakarta berawal dari sebuah kebetulan. Lama-lama perjumpaan itu menjadi pergulatan selama beberapa waktu. Di luar dugaan saya ternyata jumlah mereka kian bertambah dalam dua tahun tahun terakhir. (Sumber gambar: Google images: accbrothersquad.wordpress.com)

Empat tahun lalu (2007), saya untuk pertama kali bertemu anak jalanan. Ini sebuah kebetulan karena saya diberi kesempatan untuk mengalami hidup di luar komunitas selama sebulan. Saya dan beberapa teman berjumpa dan hidup dengan anak-anak jalanan di Stasiun Senen dan beberapa anak jalanan yang mengais rejeki dalam kereta KRL Jabodetabek. Tahun 2008 hingga 2010, saya masih sempat berjumpa dengan anak jalanan di dalam kereta, perempatan jalan, stasiun, dan tempat-tempat ramai lainnya misalnya di pinggir rel kereta dan jembatan layang.

Dalam perjalanan dengan kereta dari Bogor, saya sempat berdialog dengan beberapa teman anak jalanan. Saya sempat menyapa dan dia membalas sapaan saya. Kami tidak bisa ngobrol lama karena mereka sambil bekerja, menyapu kolong tempat duduk kereta. Saya maklumi ketika dia membalas sapaan saya sambil berlalu dengan sapu kecilnya. Melalui kegiatan inilah, mereka mencari rejeki dari para pengguna kereta. Saya juga sempat berdialog lama dan bermain dengan beberapa anak jalanan di perempatan Coca-cola, Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Di sini, saya bisa berdialog dan bermain lama dengan mereka. Kalau lampu merah menyala, mereka biasanya mepet di pintu sopir dan meminta rejeki.

Sebuah pergulatan
Hidup mereka penuh pergulatan. Ada yang menghabiskan waktunya selama seharian di jalan. Boleh dibilang 24 jam di jalan. Mereka makan, tinggal, tidur, dan bekerja di jalan. Tidak ada lagi kontak dengan keluarga, tidak lagi pulang ke rumah (meskipun ada). Tidak bersekolah. Mereka ini dikategorikan sebagai Children of the Street. Ada juga yang masih memiliki keluarga dan pulang ke rumah, sebagian ada yang bersekolah. Mereka turun ke jalan untuk membantu orang tua termasuk membiayai sekolah mereka (bagi yang masih sekolah). Mereka ini dikategorikan sebagai Children on the Street (uraian lebih lebgkap lihat di .misstika.wordpress.com).

Ini merpakan sebuah pergulatan besar. Bagi yang menghabiskan waktu di jalan, mereka bergulat melawan polusi, menyelamatkan diri dari tindakan kriminal, persaingan dengan para pengais rejeki lainnya. Kadang-kadang anak jalanan menjadi korban pengejaran aparat yang mau menghilangkan anak jalanan dari jalan. Bagi yang mengais rejeki di kereta, mereka bergulat dengan para pedagang dan pengamen dalam kereta. Ada juga anak jalanan yang mengamen di dalam bis kota, tempat-tempat umum seperti taman kota, dari rumah ke rumah, ada yang nogkrong di stasiun, terminal, pasar, dan sebagainya. Semuanya harus bergulat dan memang realitas hidup di ibu kota mesti bergulat.

Kian bertambah
Menurut data terakhir, jumlah anak jalanan di DKI Jakarta mengalami peningkatan hingga 50 persen. Jika pada 2008 jumlahnya sekitar 8.000 orang, pada 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Mereka tersebar di 25 titik di Jakarta (megapolitan.kompas.com). Penyebaran lain ada di sekitar beberapa tempat bimbingan belajar anak jalanan seperti Sahabat Anak Prumpung, Jakarta Timur; Sahabat Anak Grogol, Jakarta Barat; Sahabat Anak Cijantung, Jakarta Timur; Sahabat Anak Gambir, Jakarta Pusat; Sahabat Anak Manggarai, Jakarta Selatan; Sahabat Anak Senen, Jakarta Pusat; Sahabat Anak Tanah Abang, Jakarta Pusat (misstika.wordpress.com).
Dalam satu keluarga bisa ditemukan lebih dari satu anak jalanan. Menurut data, Dapat dikemukakan bahwa keluarga anak jalanan di Jabodetabek, 6,7% (3 orang) jumlah anaknya yang bekerja di jalanan sebanyak 1–2 orang, 57,8% (26 orang) 3 – 4 orang, dan 35,6% (16 orang) 5 – 6 orang (tkskponorogo.blogspot.com). Jumlah ini bertambah jika kehidupan ekonomi Indonesia memburuk. Memang tidak semua anak jalanan tinggal di jalan untuk mencari uang. Ada yang hanya main-main dan mau hidup di jalan. Jumlah terbesar dari kelompok pencari uang sebab banyak di antara mereka yang kehidupan ekonomi keluarganya buruk. (Gambar-gambar di bawah ini diunduh dari google images)
Kado untuk kita semua
Saya kadang merasa aneh dengan kehidupan di Jakarta. Di tengah gemerlapnya kehidupan kota, banyaknya bangunan megah, kok masih ada saudari/a kita yang begitu menderita. Kita sama-sama tinggal di jakarta, hanya saja ada yang tidur beralaskan kasur di rumah berdinding tembok, namun ada pula yang beralaskan gardus di emperan toko, bangku di terminal, bahkan ada yang beralaskan gerobak . Ironis bukan? Inilah realitas yang terjadi. Jurang itu begitu dalam antara ‘kaum berpunya’ dan ‘kaum tak berpunya’. Bagaimana kita menghadapi situasi ironis semacam ini?
Membayangkan kehidupan teman-teman jalanan, saya teringat puisi di bawah ini. Puisi ini lahir dari pergulatan saya bersama teman-teman (anak-anak) jalanan. Ini adalah gambaran jeritan hidup anak-anak jalanan. Semoga puisi ini menginspirasi kita semua untuk membantu mereka dengan bentuk dan cara kita masing-masing.

Doa seorang anak jalanan*
Tiap saat aku selalu berjuang
Mengais secuil rezeki dari para aristokrat negeri ini
Kadang aku beruntung, rezeki ada di pihakku
Kadang pula aku tak beruntung, konyol ada di pihakku.
Tiap saat aku selalu berusaha
Kukerahkan segenap tenagaku
Demi secercah harapan yang terbit dari abang-abang di sekitarku
Kadang mereka mengerti keadaanku
Kadang pula mereka cuek karena telanjur keenakan dalam kemapanan hidup.
Tiap saat aku selalu berharap
Harap, harap, dan terus berharap
Kadang harapanku mendatangkan kecerahan
Kadang pula harapanku menjadi sirna ditelan pelangi kelupaan negeri ini.
Tiap saat aku berdoa
Berdoa pada Dia sang empunya kehidupan
Kadang Dia mendengar jeritanku
Kadang pula suaranya tak kudengar karena kebisingan dunia yang sudah kacau balau.
Di atas semuanya ini
Aku hanyalah manusia hampa, dan hamba
Yang selalu berharap dalam petualangan menemukan
Siapa sebenarnya diriku dan
Apa yang sedang kucari dalam alam baka ini.

*Pernah dimuat di Warta Xaverian edisi Oktober 2009-Maret 2010
Cempaka Putih, 18 Januari 2011
Gordy Afri

Gak sangka
Puisi saya jadi HL
Padahal itu hanya berisi pertanyaan saja
Tetapi memang cukup unik

Unik karena mempetanyakan tentang hakikat bertanya
Saya mulai dengan memberi pernyataan
Dilahirkan untuk bertanya
Sehingga menjadi penanya

Kemudian menguraikan
Mengapa hanya bertanya terus
Kapan menjawabnya
Kembali lagi jawaban semula

Dilahirkan untuk bertanya
Bukan untuk menjawab
Kalau pun sampai menjawab
Jawabannya berupa pertanyaan

Lalu untuk menarik pembaca
Saya memberi judul
Orang ini aneh
Judul hanya untuk menarik perhatian pembaca

Inti tulisannya tentang bertanya
Tetapi ada juga komentar yang mempertanyakan di mana dan apanya yang aneh
Bagi saya orang yang bertanya terus termasuk aneh

Tetapi aneh dalam hal ini
Bukanlah keanehan yang bodoh
Saya berpikir
Dari keanehan muncul pertanyaan lagi

Seperti dalam filsafat
Orang bertanya dari keheranan
Demikian juga dengan
Keanehan yang melahirkan pertanyaan

Terima kasih untuk tim admin
Yang melihat inti daripada sekadar mempertanyakan yang aneh dari tulisan saya
Selamat sore

Dari Makasar, 11/4/13
Gordi


foto oleh labollatorium
Bangun pagi-pagi sekali
Kunyalakan lampu di kamarku
Mudah saja, tinggal menekan tombol

Lalu terang-benderang muncul

Rasa kantuk hilang seketika
Saya puas tidur
Dan pagi ini bangun dengan semangat baru
Terima kasih untuk sang PEMBERI hidup

Kutatap tembok kamarku
Semuanya terlihat jelas
Dengan cahaya yang terpancar
Dari bola lampu

Cahaya seperti ini adalah keuntungan bagiku
Banyak teman saya yang tak menikmati terang dari cahaya seperti ini
Mereka tetap berada dalam gelap

Tak heran jika mereka bangun
Kala mentari bersinar dan memncarkan cahanya
Cahaya pagi ini sungguh membuka pikiranku
Di kampung-kampung para ibu tak menikmati cahaya seperti ini

Mereka bangun pagi
Berjalan menuju dapur
Menyiapkan sarapan pagi
Dengan pelita berminyak di tangan

Dan di sini juga demikian
Katanya di kota
Tapi tak semua bisa menikmati cahaya seperti ini
Butuh biaya besar untuk mendatangkan cahaya seperti ini di kamar

Banyak yang tak sanggup membayar uang listrik
Banyak yang terpaksa tidur saja di taman
Banyak yang tak menikmati betapa pentingnya listrik
Dan aku, aku menikmati semua ini

Aku ingin berterima kasih pada sang PEMBERI
Yang membuatku bisa menikmati semua ini
Sekali lagi terima kasih

Jauh-jauh sebelumnya
Dahulu kala tepatnya
Para ahli menemukan bola lampu
Beserta jaringan listriknya

Dan sekarang generasi kami tinggal menikmati saja
Sekali lagi
Tak bosan-bosan kulantunkan
Hatur terima kasih yang berlimpah

Prm, 2/3/14
Gordi


Serial Puisi Terima Kasih, 1. Dia Beriku Napas Pagi Ini

Puisi ini dimuat juga di blog kompasiana kolom FIKSI



Saya melanjutkan serial tulisan tentang terima kasih. Sebelumnya ada 2 puisi tentang terima kasih. Serial ketiga dalam bentuk tulisan bukan puisi. Pertama dan kedua berisi kalimat terima kasih saat bangun lalu menyalakan lampu. Bagian ini mengulas soal air yang saya minum.

Seperti biasa tiap kali bangun pagi saya meminum air sebelum membasuh muka. Saya bisa minum minimal 2 gelas. Tapi jarang saya minum pakai gelas. Saya selalu minum dari botol yang saya bawa ke kamar. Segar rasanya meminum air dingin di pagi hari. Ada yang terbiasa meminum air hangat. Mungkin ini lebih bagus. Tapi saya selalu minum yang dingin.

Lain saya lain sahabat-sahabat saya. Kalau saya selalu minum air, sahabat saya sama sekali tidak minum air. Mereka tidak bisa mendapatkan air minum yang bersih dan sehat. Uang tak ada untuk membeli air.tidak ada uang untuk membeli air. Memang, kala air dikalengkan, dikemaskan, semuanya menjadi bernilai dalam bentuk uang. Karena ini, mereka tidak minum air.

Saya ingin berterima kasih pada Pencipta yang menyediakan air. Dan, saya berterima kasih pada mereka yang memberiku air.

Prm, 9/3/14
Gordi

Sebelumnya
1. Dia Beriku Napas Pagi Ini
2. Cahaya di Kamarku


Powered by Blogger.