Halloween party ideas 2015

Google images

I.       Riwayat hidup
Pythagoras hidup kira-kira tahun 580-500 SM.[1] Tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Pythagoras lahir di Pulau Samos (dekat pantai Asia Kecil). Daerah ini termasuk daerah Ionia. Menurut tradisi (Yunani), ia sering bepergian (antara lain ke Mesir). Namun, mengenai hal ini belum ada kepastian. Kehidupan Pythagoras tidak lepas dari pengaruh politik. 

Menurut kesaksian Aristoxenos—seorang murid Aristoteles—Pythagoras tidak setuju dengan pemerintahan tyranos Polikrates sehingga ia pindah ke Kroton (Italia selatan).[2] Di situ, ia mendirikan tarekat keagamaan yang dikenal dengan sebutan Tarekat Pythagorean[3], atau Perguruan Pythagoras.[4] Asal mula tarekat ini tidak jelas.[5] Tarekat ini meninggalkan pengajaran yang berasal dari Pythagoras sendiri dan para muridnya. Sulit membedakan mana yang berasal dari Pythagoras dan mana yang dari muridnya. 

Pythagoras memberi pengajarannya secara lisan. Pengajaran ini pun dirahasiakan dan dilarang untuk disiarkan. Meski demikian Tarekat ini memiliki keistimewaan atau karakter yakni asketik dan religius.[6] Pythaoras menetap di Kroton selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya, Pythagoras bersama muridnya pindah ke Metaponthion. Alasan-alasan politik menjadi penyebab perpindahan ini. Pythagoras meninggal di Metaponthion.

II.    Ajaran tentang jiwa
Pythagoras mempunyai ajaran—seperti para filsuf prasokratik lainnya—yang kas. Salah satu ajaran dari Pythagoras adalah ajaran tentang jiwa. Manusia yang hidup sezaman dengan Pythagoras mempertanyakan tentang jiwa khususnya jiwa manusia. Namun, jiwa itu masih dikaitkan lagi dengan makhluk hidup lain. Pythagoras menjadi salah satu tokoh yang membahas tentang jiwa manusia di zamannya. Tentu saja pembahasannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.

Menurut Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwanya berpindah ke hewan, dan bila hewan itu mati, ia berpindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya, jiwa bisa diluputkan dari nasib reinkarnasi[7] itu. Penyucian itu dihasilkan dengan berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang.[8] 

Satu contoh perpindahan jiwa dari manusia ke binatang yakni ketika Pythagoras menyuruh seorang sahabat—yang memukul anjing—untuk berhenti memukul anjing. Ia mendengar suara anjing yang mendeking karena dipukul. Ia mendengar suara seorang sahabat yang telah meninggal dari dengkingan anjing itu. Manusia mati namun jiwanya berpindah ke tubuh anjing. Suara dengkingan anjing yang dipukul itu menandakan perpindahan jiwa manusia—dalam hal ini adalah seorang sahabat Pythagoras—yang meninggal itu.

        Pythagoras juga mengatakan dua hal tentang jiwa. Pertama, Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang selamanya ada. Badan merupakan tempat tinggal jiwa, tetapi sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan badan. Jiwa ada di badan—untuk  sementara saja—sebagai hukuman. Jiwa tidak selamanya ada di satu badan. Jiwa bisa keluar dari satu badan dan harus pindah ke badan lain. Keberadaan jiwa itu tergantung dari katarsis (penyucian) badan. Penyucian ini dilakukan dengan menjauhkan diri dari kesukaan badan. Kalau badan sudah suci secara sempurna, jiwa akan keluar dari badan. Kalau belum sempurna jiwa akan berpindah dari badan ke badan. Tugas manusia adalah mengeluarkan jiwa dari badan.

             Menurut pandangan ini manusia harus bertanggung jawab atas perpindahan jiwanya. Ini merupakan tugas berat yang dihadapi manusia. Bagaimana manusia pada zaman Pythagoras—khususnya yang menganut paham ini—melakukan hal ini? Pythagoras mempraktikkan ajarannya kepada murid-muridnya. Unsur penting yang ditekankan kepada murid-muridnya dalam mempraktikkan ajaran ini adalah memenuhi peraturan-peraturan yang ada.[9] Peraturan itu misalnya berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang, dan juga menjuahkan diri dari kesukaan badan.

Kedua, Jiwa adalah ‘harmoni’ dari badan. Dalam hal ini Pythagoras menggunakan prinsip keharmonisan dalam setiap barang. Ia mengibaratkan harmoni dari gitar yang tak mungkin lepas dari dawai-dawainya. Demikian juga jiwa tak mungkin lepas dari badan manusia. Jiwa ‘sudah’ ada ‘sebelum’ berada di badan. Jiwa itu ada tanpa permulaan. Jika demikian, adanya itu tidak tergantung dari badan.[10]

Menurut pandangan ini jiwa tak mungkin lepas dari badan. Berarti di satu sisi sama saja kalau badan dan jiwa itu menyatu. Di sisi lain mugkin tidak, karena jiwa ada sebelum ada di badan dan adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Kalau jiwa dan badan menyatu maka dalam hal ini ada pertentangan. Ini bertentangan dengan teori yang mangatakan bahwa jiwa adalah tempat tinggal badan tetapi sama sekali tidak punya hubungan dengan badan. Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa pembahasan Pythagoras tentang badan dan jiwa belum selesai.

Pada pembahasan lain Pythagoras mengatakan bahwa jiwa adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak berjasad serta tidak dapat mati. Oleh karena hukumlah maka jia terbelenggu dalam tubuh. Dengan penyucian (katharsis), orang dapat membebaskan jiwanya dari belenggu tubuhnya, sehingga setelah orang mati jiwanya akan mendapatkan kebahagiaan. Akan tetapi barang siapa tidak menyucikan diri atau penyucian dirinya kurang, jiwanya akan berpindah ke kehidupan yang lain, sesuai dengan keadaanya, baik berpindah ke binatang, ke tumbuh-tumbuhan atau ke manusia.[11]

III.          Kesimpulan
             Pythagoras sangat  ketat dengan pengajaran khususnya pengajaran tentang jiwa. Bahkan  para muridnya menerapkan ajaran ini.  Ada peraturan-peraturan mengenai pakaian dan mengenai pantang, hal mana tentu mempunyai hubungan dengan ajaran Pythagoras tentang perpindahan jiwa.[12] Ajaran Pythagoras yang diterapkan pada para muridnya ini tentu bukanlah sesuatu yang sempurna dan tanpa cacat. Perdebatan mengenai badan dan jiwa manusia belum selesai. Mungkin tak ada lagi yang bisa menjelaskan bagaimana posisi jiwa dan badan manusia saat itu sehingga teori Pythagoras ini berhenti di sini. 

Bagian akhirnya menyisakan pertanyaan. “Apakah badan jiwa menyatu?” “Apakah mereka berpisah?” Hal ini belum dijelaskan dalam teori Pythagoras. Singkatnya bahwa teori ini belum sempurna. Apa yang dibicarakan dalam teorinya hanyalah sebatas ide awal. Di masa selanjutnya mungkin ide ini akan berkembang dan sampai pada penemuan mengenai posisi badan dan jiwa. 

Teori Pythagoras ini masih bertentangan. Pythagoras mengatakan bahwa badan adalah tempat tinggal jiwa namun tidak ada hubungan sama sekali dengan jiwa. Pythagoras juga mengatakan bahwa adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Bagaimana mngkin keduanya bisa seperti ini? 

Belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai hubungan atau kedudukan dari badan dan jiwa. Keduanya tentu memiliki hubungan erat yakni badan adalah tempat tinggal jiwa, tetapi mengapa keduanya tidak ada hubungan sama sekali? Teori Pythagoras menyisakan pertanyaan.

Daftar pustaka
Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.
Copelston, F. 1946. A History of Philosophy vol i. Cambridge: Cambridge university press.
Sudiarja, A (ed). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta, Yogyakarta: Gramedia, Penerbit Buku KOMPAS, Kanisius.
Harun Hadiwijono. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus.
Hassan Shadily. ? Ensiklopedi Indonesia (edisi khusus). Jakarta: P.T.Ichtiar Baru—Van Hoeve.


*Karangan ini dibuat pada semester ganjil 2008/09 di STF Driyarkara Jakarta

Cempaka Putih 21/11/2011
Gordi Afri


[1] Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hlm. 1090.
[2] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 42.
[3] Ibid.
[4] Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hal. 1092.
[5] Copelston, F. A History of Philosophy vol i. hlml.29, “The origins of the Pythagorean Society, like the life of the founder, are     shrouded in obscurity.”
[6] Ibid  “But the Pythagorean School had a distinguishing characteristic, namely, its ascetic and religious character.”
[7] Menurut Ensiklopedi Indonesia Reinkarnasi berasal dari kata Latin incarnatio = mengambil bentuk manusia; caro = daging/tubuh. Dengan demikian Reinkarnasi berarti proses penjelmaan kembali sewa atau roh leluhur ke dalam tubuh manusia, binatang atau makhluk lain.
[8] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 44.
[9] Ibid.               
[10] Lih. Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hlm. 1093-1094.
[11] Harun Hadiwijono. sari sejarah filsafat barat 1. hlm. 19-20.
[12] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 43.

Post a Comment

Powered by Blogger.