Halloween party ideas 2015




Mengubah kebiasaan seseorang atau sekelompok orang bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kebiasaan yang sudah melekat kuat dalam diri orang tersebut. Oleh karena itu, perlu kerja keras untuk mengubahnya. Cara mengubahnya harus mulai dari dalam, masuk dan terbenam dalam kebiasaannya. Dari sini, kita keluar dan mencoba membuat trik untuk mengubahnya. Namun, apakah dengan langkah ini, orang tersebut dijamin berubah? Bisakah mengubah kebiasaan mencopet menjadi kebiasaaan berdagang?

Minggu lalu, saya dan konfrater di komunitas menonton film ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI. Judulnya menarik untuk disimak. Belakangan ini, masyarakat Indonesia disuguhkan berita-berita yang kurang enak didengar. Media-media elektronik dan cetak memberitakan kasus korupsi seperti Gayus Tambunan, kasus kriminal seperti pencurian kendaraan dan perampokan yang meningkat di Jakarta dan sekitarnya, tingginya jumlah orang miskin, dan sebagainya. Singkat cerita kasus-kasus itu masih terjadi dan entah kapan selesai. Mengapa penyelesaiannya berlangsung lama?

Entahlah biarlah ini menjadi pertanyaan untuk kita semua. Melihat judul film di atas kita juga bisa bertanya, "Apakah penyelesaian kasus-kasus itu sebuah lelucon saja?" Bisa saja kita melihatnya sebagai sebuah lelucon karena penyelesaiannya belum berujung. Maka, judul film ini menjadi relevan, alangkah lucunya negeri kita ini. Tetapi, di satu sisi kita melihat bahwa penyelesaian kasus-kasus seperti ini memang tidak mudah. Bisa saja ada kemungkinan bahwa pelakunya bukan individu tetapi kelompok. Penyelesaiannya pun mesti melibatkan semua anggota kelompok. Apakah film di ini mempresentasikan kasus-kasus di atas? Tidak. Mari kita simak.

Masuk dalam Dunia Gelap
Muluk, seorang sarjana yang menganggur. Dia belum mendapatkan pekerjaan namun dia tidak putus asa mencari. Suatu ketika dia bertemu Komet, seorang pencopet jalanan. Tak disangka, Komet membawa Muluk ke markasnya dan bertemu bosnya, Jarot. Muluk heran ketika bertemu teman-teman dan bos Komet. "Kami adalah pencopet," suara itu bergema di rumah reyot itu. Rumah itu tidak tampak seperti rumah tinggal. Dari luar, kelihatan seperti sebuah rumah tak berpenghuni. Muluk kaget dan sempat menganga. Akhirnya, dia bisa menerima kalau dia sedang berbincang-bincang dengan kelompok pencopet.

Muluk kembali ke rumahnya sambil membawa tas berisi berkas lamaran kerja. Di rumah, dia bertemu keluarganya. Bapaknya memperlihatkan wajah cemberut ketika tahu bahwa anaknya belum mendapatkan pekerjaan. Muluk tidak peduli. Sambil mengotak-atik laptopnya, dia berpikir keras untuk mengubah perilaku kelompok pencopet tadi. Bapaknya keluar menemui teman-temannya. Mereka berdiskusi tentang pentingnya pendidikan. Ada yang mengatakan tidak penting, toh ada kaum berpendidikan yang menganggur. Ada yang bilang penting, untuk mengubah kualitas masyarakat dan mengangkat harkat warga. Lepas dari perdebatan ini, akan seperti apakah pergulatan Muluk nantinya? Mampukah dia mengubah pencopet menjadi orang yang baik?

Mengangkat Harkat Mereka
Kebiasaan mencopet bisa hilang dan diganti dengan kebiasaan lainnya yang lebih baik. Pemahaman ini menjadi misi Muluk untuk mengubah kelompok pencopet. Dia pun tidak tanggung-tanggung memanfaatkan pendidikan manajemennya untuk mengelola keuangan kelompok pencopet. Dia menawarkan bantuannya untuk mengelola keuangan mereka dan meminta imbalan 10% dari hasil mencopet, termasuk biaya mendidik mereka. Tak segan-­segan, dia membawa dua teman untuk mengajar pendidikan agama, budi pekerti, dan kewarganegaraan. Kelompok ini diperkenalkan dengan dunia baca-tulis, cara berdoa, dan dua cabang ilmu tadi. Pengajaran menjadi menarik karena Muluk membawa seorang guru cewek. Pencopet yang adalah kaum cowok bersemangat ketika di depan mereka ada guru cewek. Mereka juga senang ketika Muluk bersama teman-temannya membawa mereka keliling kota termasuk melihat dari dekat gedung DPR negeri ini.

Pelan-pelan Muluk dan teman gurunya memasukan ide tentang berdagang. Di sinilah awal perubahan dalam diri mereka. Mereka kini bukan hanya bisa baca-tulis dan berdoa, tetapi juga berdagang, mendapatkan uang dengan berjualan. Sebelum terjun dalam dunia berdagang, mereka mengadakan acara makan bersama. Para guru menyediakan makanan dan minuman enak yang diperoleh dari uang anak-anak binaan mereka. Sesaat sebelum menyantap hidangan para guru menjelaskan bahwa makanan ini adalah hasil uang anak binaan. Ini semua terjadi karena pendidikan. Dengan pendidikan, kita bisa mengelola uang dan menghasilkan makanan seperti ini. "Sebelum kita makan, kita mempersilakan bapak Haji (bapaknya Muluk yang hadir di ruangan itu beberapa menit sebelumnya) untuk memimpin kita dalam doa," kata ibu guru. Dengan cara ini, anak-anak binaan tadi mengerti betapa pentingnya pendidikan yang mereka terima selama ini. Bapak Muluk yang mula-mula ragu pun kini yakin akan pentingnya pendidikan.

Kembali ke dunia terang
Kelompok pencopet tadi berubah menjadi kelompok penjual. Satu per satu mereka keluar dari markas sambil membawa jualan berisi makanan dan minuman ringan. Mereka berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya sambil menawarkan jualannya. Mereka menyusuri rute pencopetan namun dengan tujuan berjualan. Kelompok 'pencopet jalan’ turun ke jalan dan menawarkan jualannya. Begitu juga dengan kelompok pencopet pasar dan mall. Betapa hebat pergulatan Muluk dan kawan-kawannya. Kini anak-anak pencopet kembali ke dunia terang. Dunia di mana mereka mesti berjuang mendapatkan sesuatu dan bukan menggunakan cara-cara instan.

Di sini, Muluk berhasilmengubah perilaku dan kebiasaan orang. Dia mulai dari dalam, masuk dalam kebiasaan hidup mencopet namun bukan berarti menjadi pencopet. Dia melihat situasi di mana pencopet hidup lalu keluar dengan cara pandang baru. Cara pandang yang memungkinkan dia mengubah perilaku mereka. Tidak ragu-ragu lagi, hasilnya pun terbukti. Kalau Muluk bisa mengubah dan mengangkat harkat pencopet, bagaimana dengan kita? Beranikah kita menjadi Muluk-Muluk yang lain? Jumlah anak jalanan dan angka kriminal akan berkurang karena setiap orang mempunyai pekerjaan. Meskipun ini hanya sebuah film tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kisah itu bisa menjadi kisah nyata. So,....apa yang bisa kita buat selanjutnya????
Cempaka Putih, 22 Januari 2011
Gordi Afri


Perjumpaan saya dengan anak jalanan di Jakarta berawal dari sebuah kebetulan. Lama-lama perjumpaan itu menjadi pergulatan selama beberapa waktu. Di luar dugaan saya ternyata jumlah mereka kian bertambah dalam dua tahun tahun terakhir. (Sumber gambar: Google images: accbrothersquad.wordpress.com)

Empat tahun lalu (2007), saya untuk pertama kali bertemu anak jalanan. Ini sebuah kebetulan karena saya diberi kesempatan untuk mengalami hidup di luar komunitas selama sebulan. Saya dan beberapa teman berjumpa dan hidup dengan anak-anak jalanan di Stasiun Senen dan beberapa anak jalanan yang mengais rejeki dalam kereta KRL Jabodetabek. Tahun 2008 hingga 2010, saya masih sempat berjumpa dengan anak jalanan di dalam kereta, perempatan jalan, stasiun, dan tempat-tempat ramai lainnya misalnya di pinggir rel kereta dan jembatan layang.

Dalam perjalanan dengan kereta dari Bogor, saya sempat berdialog dengan beberapa teman anak jalanan. Saya sempat menyapa dan dia membalas sapaan saya. Kami tidak bisa ngobrol lama karena mereka sambil bekerja, menyapu kolong tempat duduk kereta. Saya maklumi ketika dia membalas sapaan saya sambil berlalu dengan sapu kecilnya. Melalui kegiatan inilah, mereka mencari rejeki dari para pengguna kereta. Saya juga sempat berdialog lama dan bermain dengan beberapa anak jalanan di perempatan Coca-cola, Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Di sini, saya bisa berdialog dan bermain lama dengan mereka. Kalau lampu merah menyala, mereka biasanya mepet di pintu sopir dan meminta rejeki.

Sebuah pergulatan
Hidup mereka penuh pergulatan. Ada yang menghabiskan waktunya selama seharian di jalan. Boleh dibilang 24 jam di jalan. Mereka makan, tinggal, tidur, dan bekerja di jalan. Tidak ada lagi kontak dengan keluarga, tidak lagi pulang ke rumah (meskipun ada). Tidak bersekolah. Mereka ini dikategorikan sebagai Children of the Street. Ada juga yang masih memiliki keluarga dan pulang ke rumah, sebagian ada yang bersekolah. Mereka turun ke jalan untuk membantu orang tua termasuk membiayai sekolah mereka (bagi yang masih sekolah). Mereka ini dikategorikan sebagai Children on the Street (uraian lebih lebgkap lihat di .misstika.wordpress.com).

Ini merpakan sebuah pergulatan besar. Bagi yang menghabiskan waktu di jalan, mereka bergulat melawan polusi, menyelamatkan diri dari tindakan kriminal, persaingan dengan para pengais rejeki lainnya. Kadang-kadang anak jalanan menjadi korban pengejaran aparat yang mau menghilangkan anak jalanan dari jalan. Bagi yang mengais rejeki di kereta, mereka bergulat dengan para pedagang dan pengamen dalam kereta. Ada juga anak jalanan yang mengamen di dalam bis kota, tempat-tempat umum seperti taman kota, dari rumah ke rumah, ada yang nogkrong di stasiun, terminal, pasar, dan sebagainya. Semuanya harus bergulat dan memang realitas hidup di ibu kota mesti bergulat.

Kian bertambah
Menurut data terakhir, jumlah anak jalanan di DKI Jakarta mengalami peningkatan hingga 50 persen. Jika pada 2008 jumlahnya sekitar 8.000 orang, pada 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Mereka tersebar di 25 titik di Jakarta (megapolitan.kompas.com). Penyebaran lain ada di sekitar beberapa tempat bimbingan belajar anak jalanan seperti Sahabat Anak Prumpung, Jakarta Timur; Sahabat Anak Grogol, Jakarta Barat; Sahabat Anak Cijantung, Jakarta Timur; Sahabat Anak Gambir, Jakarta Pusat; Sahabat Anak Manggarai, Jakarta Selatan; Sahabat Anak Senen, Jakarta Pusat; Sahabat Anak Tanah Abang, Jakarta Pusat (misstika.wordpress.com).
Dalam satu keluarga bisa ditemukan lebih dari satu anak jalanan. Menurut data, Dapat dikemukakan bahwa keluarga anak jalanan di Jabodetabek, 6,7% (3 orang) jumlah anaknya yang bekerja di jalanan sebanyak 1–2 orang, 57,8% (26 orang) 3 – 4 orang, dan 35,6% (16 orang) 5 – 6 orang (tkskponorogo.blogspot.com). Jumlah ini bertambah jika kehidupan ekonomi Indonesia memburuk. Memang tidak semua anak jalanan tinggal di jalan untuk mencari uang. Ada yang hanya main-main dan mau hidup di jalan. Jumlah terbesar dari kelompok pencari uang sebab banyak di antara mereka yang kehidupan ekonomi keluarganya buruk. (Gambar-gambar di bawah ini diunduh dari google images)
Kado untuk kita semua
Saya kadang merasa aneh dengan kehidupan di Jakarta. Di tengah gemerlapnya kehidupan kota, banyaknya bangunan megah, kok masih ada saudari/a kita yang begitu menderita. Kita sama-sama tinggal di jakarta, hanya saja ada yang tidur beralaskan kasur di rumah berdinding tembok, namun ada pula yang beralaskan gardus di emperan toko, bangku di terminal, bahkan ada yang beralaskan gerobak . Ironis bukan? Inilah realitas yang terjadi. Jurang itu begitu dalam antara ‘kaum berpunya’ dan ‘kaum tak berpunya’. Bagaimana kita menghadapi situasi ironis semacam ini?
Membayangkan kehidupan teman-teman jalanan, saya teringat puisi di bawah ini. Puisi ini lahir dari pergulatan saya bersama teman-teman (anak-anak) jalanan. Ini adalah gambaran jeritan hidup anak-anak jalanan. Semoga puisi ini menginspirasi kita semua untuk membantu mereka dengan bentuk dan cara kita masing-masing.

Doa seorang anak jalanan*
Tiap saat aku selalu berjuang
Mengais secuil rezeki dari para aristokrat negeri ini
Kadang aku beruntung, rezeki ada di pihakku
Kadang pula aku tak beruntung, konyol ada di pihakku.
Tiap saat aku selalu berusaha
Kukerahkan segenap tenagaku
Demi secercah harapan yang terbit dari abang-abang di sekitarku
Kadang mereka mengerti keadaanku
Kadang pula mereka cuek karena telanjur keenakan dalam kemapanan hidup.
Tiap saat aku selalu berharap
Harap, harap, dan terus berharap
Kadang harapanku mendatangkan kecerahan
Kadang pula harapanku menjadi sirna ditelan pelangi kelupaan negeri ini.
Tiap saat aku berdoa
Berdoa pada Dia sang empunya kehidupan
Kadang Dia mendengar jeritanku
Kadang pula suaranya tak kudengar karena kebisingan dunia yang sudah kacau balau.
Di atas semuanya ini
Aku hanyalah manusia hampa, dan hamba
Yang selalu berharap dalam petualangan menemukan
Siapa sebenarnya diriku dan
Apa yang sedang kucari dalam alam baka ini.

*Pernah dimuat di Warta Xaverian edisi Oktober 2009-Maret 2010
Cempaka Putih, 18 Januari 2011
Gordy Afri

(Gambar: google: sutono.net)

Tahun lama (2010) baru saja lewat dan tahun baru (2011) sudah tiba. Begitu banyak hal yang kita lalui di tahun lama dan begitu banyak pula yang akan kita alami di tahun baru. Singkatnya banyak hal yang berlalu dan banyak hal yang akan datang. Ada yang berubah dan ada yang tetap. Kemungkinan akan adanya perubahan itu selalu ada. Pertanyaannya adalah “Mungkinkah kita bisa berubah?” Pertanyaan ini bukan membutuhkan jawaban singkat (mungkin-tidak mungkin) tetapi bermaksud menanyakan bagaimana perubahan itu terjadi.
Tiap awal satu masa waktu, saya dan Anda selalu membuat komitmen baru. Inti komitmen itu adalah perubahan. Maka tak heran, ada yang mengatakan, besok saya akan membuat kebiasaan baru misalnya bangun pagi-pagi untuk belajar, atau besok saya mencoba bangun seperti pagi ini supaya bisa belajar. Atau, minggu depan saya akan mencoba untuk mempersiapkan pelajaran sebelum guru atau dosen menanyakan kepada siswi/a di kelas. Atau, bulan depan saya akan mencoba menerapkan prinsip baru yakni prinsip kerja cepat-tepat. Begitu banyak komitmen kita pada awal minggu, bulan, dan satuan waktu lainnya.
Di tahun 2011 ini pun kita sudah membuat komitmen baru. Biasanya komitmen itu dilatarbelakangi oleh pengalaman di tahun sebelumnya. Yang kurang baik di tahun lalu akan diperbaiki menjadi baik di tahun ini. Yang baik di tahun lalu akan diusahakan untuk menjadi lebih baik atau minimal mempertahankan yang baik itu di tahun ini. Contoh konkret. Kalau saya sering terlambat ke kantor tahun lalu maka tahun ini saya mencoba untuk serinng datang cepat atau bila perlu datang cepat setiap hari. Kalau tahun lalu saya sering bangun terlambat pada pagi hari maka tahun ini saya berusaha untuk bangun cepat. Langkah awal yang perlu adalah merombak semua sistem kebiasaan buruk kita. Perombakan ini merupakan sebuah perubahan dan perubahan ini akan berdampak pula pada hasilnya. Kita selalu mengharapkan hasil yang lebih baik.
Pelaku perubahan
Perubahan—seperti komitmen—datang dari diri kita sendiri. Kalau kita mau berhasil maka berusahalah mulai dari diri sendiri. Sean Covey (2001: 94) memberikan nasihat kepada remaja, “Kamu bisa menjadi ‘pelaku perubahan’, dan meneruskan kebiasaan-kebiasaan baik kepada generasi mendatang, mulai dari anak-anakmu sendiri”. Ini menandakan bahwa setiap kita merupakan penentu utama perubahan dan setiap kita bisa berubah dan meneruskan perubahan. Boleh saja kita selalu membuat komitmen baru di awal pekan, awal bulan, dan awal tahun. Berani membuat komitmen berarti berani berubah mulai dari diri sendiri.
Pertanyaan di atas bisa dijawab. Kita mungkin saja dan bahkan kita bisa berubah. Perubahan itu muncul karena kita berusaha mulai dari diri sendiri. Perubahan bukan datang atau mulai dari orang lain. Kita sedang menyusuri tahun baru di mana kita sudah membuat komitmen baru. Maka, komitmen itu sebaiknya menjadi arahan kita untuk berubah. Kita masih punya banyak kesempatan untuk berubah, untuk menyukseskan komitmen itu. Kita berada di awal tahun ini dan kebiasaan kita di awal tahun ini masih labil namun sebaiknya kita arahkan sejak dini sehingga menjadi stabil. Stabilitas yang sesuai dengan komitmen kita. Kalau tidak, kita akan labil terus dan lagi-lagi kita akan gagal. Mari kita mencoba.
Cempaka Putih, 11 Januari 2011
Gordy Afri



Saya kira belum terlambat. Kita masih dalam bilangan oktaf Natal. Bertepatan dengan perayaan tahun baru. Tahun lama diganti dengan tahun baru menurut satu sistem perhitungan waktu. Sebab, masih ada sistem hitungan lainnya misalnya kalender Islam, kalender Cina, dll. Tahun baru yang dirayakan hari ini mengikuti satuan sistem hitungan kalender Gregorian.
Entah mengapa, saya masih terkesima dengan pemandangan gua/kandang natal di kapel. Tiga puluh menit sebelum misa malam Natal, saya sudah ada di kapel. Mata saya tertuju ke gua natal itu. Menatap lama, dan terkesima dengan perabot yang ada di dalamnya. Patung Maria, Yosef, para gembala, keledai (yang ditunggangi keluarga Yosef), domba, tiga orang Majus, dll. Semuanya membentuk pemandangan yang unik. Tentu saja semua ini hanyalah sarana yang membantu merefleksikan peristiwa kelahiran Yesus, sang Juru Selamat. Tanpa ini pun sebenarnya bisa, tetapi kalau ini bisa membantu juga lebih baik. Sehingga, sarana gua Natal ini bisa dipajang.
Ngomong-ngomong soal kelahiran Yesus. Katanya Yesus adalah Allah tetapi kok Dia lahir seperti manusia. Bahkan, kalau memerhatikan dengan baik bacaan-bacaan Injil dalam oktaf Natal, Yesus pun mengikuti adat istiadat Yahudi (dan juga Hukum Taurat). Yesus disunat dan diserahkan kepada Tuhan di Bait Allah. Dari sini bisa diklaim kalau Yesus itu benar-benar manusia. Tetapi perlu diingat bahwa Dia bukan sekadar manusia. Dia adalah manusia yang unik karena Dia adalah Utusan Allah satu-satunya. Kalau demikian dalam dirinya ada manusia dan Tuhan. Maka, tidak salah kalau dibilang Yesus itu sekaligus Allah dan Manusia. Allah karena Dia adalah Utusan Allah, dan Manusia karena Dia memang terlahir sebagai manusia, lahir dari Perawan Maria, dan hidup di tengah budaya orang Yahudi.
Membayangkan kehidupan Yesus bersama orang tuanya, saya jadi ingat sebuah kisah kehidupan saya bersama Bapak saya. Suatu ketika, kami pergi ke tempat pertandingan bola voli. Di situ sudah berkumpul banyak penonton. Mulai dari anak kecil seperti saya, orang muda-mudi, dan kaum tua. Suara mereka bergemuruh meneriaki tim favoritnya. Para pemain semakin percaya diri dan bertambah semangat ketika suporter meneriaki yel-yel untuk mereka. Di tengah suara sorak-sorai itu, saya tetap saja melongo karena tidak bisa melihat atraksi para pemain. Mata saya terhalang oleh penonton yang berdiri merapat. Saya merengek dan memukul-mukul ujung tangan bapak sambil meminta digendong. Akhirnya bapak saya, membungkuk dan mengangkat saya. Saya menjadi setingkat dengan bapak saya dan bisa melihat atraksi para pemain. Peristiwa ini bisa membantu saya merefleksikan bagaimana Allah mengasihi manusia.
Natal adalah kesempatan yang paling baik untuk merenungkan bagaimana Allah mencintai manusia. Dia tidak hanya mengutus (gerak turun) Putra-Nya menjadi manusia tetapi juga mengangkat (gerak naik) manusia menjadi Anak Allah. Manusia menjadi satu (melebur) dengan Allah. Manusia tidak lagi kelihatan sebagai manusia yang tidak berarti tetapi sebagai manusia yang dikuasai oleh Allah. Ibarat setetes air yang ditumpahkan ke dalam piala berisi anggur. Air itu tidak kelihatan sebagai air tetapi sebagai air yang terlihat seperti anggur. Air itu melebur, menjadi satu dengan anggur dan kelihatan sebagai anggur.
Lima menit sebelum jam 12.00 pada tanggal 31 Desember 2010, seorang teman memegang arloji dan mulai menghitung menit demi menit. “Lima menit lagi,” teriaknya sambil menujukkan arlojinya. Kami semua melihat ke arahnya. Begitu seterusnya dia berteriak tiap menit hingga sampai waktunya. “Selamat tahun baru……” kami semua melambaikan tangan, bersorak gembira, lalu berjabatan tangan satu sama lain. Begitulah malam pergantian tahun dilalui. Waktu itu sebenarnya waktu yang sama. Waktu yang bergerak dan berputar melalui siang dan malam. Sistem perhitungan waktu (yang dibuat manusia) yang membuat kita membagi waktu tahun demi tahun seperti ini. Sambil mengingat dan melupakan kemajuan dan kemuduran kita di tahun 2010, kita melangkah maju, menyambut tahun 2011. Semoga kita, Anda dan saya, tetap mengevaluasi diri, mengembangkan segala yang progress dari tahun lama di tahun baru ini, dan memperbaiki yang kurang baik dari tahun lama. Akhirnya selamat berpetualang di tahun 2011. Selamat tahun baru….
Cempaka Putih, 1 Januari 2011
Gordy Afri
Powered by Blogger.