Halloween party ideas 2015

Sebagian besar manusia mengaku dirinya pernah berdoa. Pagi, siang, malam, dan setiap waktu. Berbagai bentuk doa diucapkan manusia. Apa dan bagaimana orang berkomentar tentang doa?

Doa. Kata yang pas untuk mendefinisikan hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara itu, Tuhan merupakan kata yang sarat dengan berbagai komentar.  Ada yang tidak mengakui Tuhan. Tuhan yang bagaimana dan seperti apa? Tuhan yang diakui umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi? 

Tuhan. Sekali lagi lagi kata yang multi tafsir. Ada yang berontak dengannya. Ada yang berharap padanya. Tuhan yang bagaimana dan seperti apa? Ada yang tidak mempercayainya. Percaya seperti apa? Ada yang hanya di mulut saja. Ada yang di pikirannya. Ada pula yang di hatinya.

Ya... Tuhan tak disentuh. Tak tuntas dijelaskan. Tak bisa dibuktikan. Hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau dan mampu merasakannya. Hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau menerimanya. 

Tentang doa, bagaimana?? Doa sebagai sarana berelasi dengan Tuhan muncul kalau Tuhan itu sudah jelas identitasnya. Minimal bagi pendoa itu sendiri. Yakin akan Tuhan menjadi langkah awal untuk menjalin relasi dengannya.

Komentar orang tentang doa
Seorang teman berkomentar tentang doa. Sebelumnya pertanyaan dilontarkan, “Bagaimana pandangan Anda tentang doa? Apakah Anda yakin doamu dikabulkan?” Teman itu menjawab, “Semua doa saya terkabulkan.” Wah hebat sekali. Baginya, Tuhan pasti mengabulkan doanya dan memberi yang terbaik kepadanya. Kadang-kadang waktunya tidak persis seperti yang diminta.

Lebih lanjut dia mengatakan, kalau belum dikabulkan, itu pertanda belum waktunya. Atau juga, Tuhan belum menginginkan hal itu terjadi padanya. Tuhan mengabulkannya di waktu lain. Itulah saat yang tepat untuk memperoleh apa yang diminta. Tuhan tidak menolak.
Seorang tokoh cendikiawan muslim berkomentar lain. Baginya, hanya 2% doa yang dikabulkan Tuhan. Sepanjang hidupnya, dia berdoa dengan berbagai permohonan namun hanya itu saja yang dikabulkan. Sebagian besar, 98%, tidak dikabulkan(?) (dari buku “Mari Berbagi” 2011, 27).

Injil (Matius) mengatakan demikian. Kalau berdoa jangan bertele-tele. Bertele-tele adalah tindakan orang yang tidak mengenal Allah. Jangan pula banyak kata. Banyak kata tidak menentukan banyak doa dikabulkan (Gubahan dari Mat 6:7).  

Lalu bagaimana? Kalau mau berdoa, masuklah ke kamar, tutup pintu dan berdoalah. Bapa di tempat tersembunyi  melihat engkau. Wah tambah hebat. Tuhan itu tersembunyi namun ia bisa melihat orang yang sedang berdoa. 

Ada lagi yang mengatakan hal lain. Doa baginya bukan sekadar mengucapkan kata-kata. Lebih dari kata-kata.  Doa adalah bertindak, bekerja, bernyanyi, menulis, membaca, mengetik, menyetir mobil, membantu orang lain, dan sebagainya. Doa tidak berhenti pada mengucapkan rumusan. Doa berlanjut dalam tindakan. Bertindak juga merupakan doa.

Ada sholat 5 waktu untuk umat Muslim. Ada kebaktian bagi umat Kristen Protestan pada umumnya. Ada misa/ekaristi bagi umat Katolik. Ada doa di Sinagoga bagi umat Yahudi. Penganut Budha, Hindu, Konghucu mempunyai waktu doa juga. Selain itu ada doa pribadi yang dibedakan dengan doa bersama.

Berapa lama waktu untuk berdoa? Tak tentu. Relasi dengan Tuhan tidak terpaku dengan waktu. Kapan saja. Manusia yang membuat batasan untuk berdoa. Namun, doa tetap tak ada batas. Institusi agama membatasi dengan maksud tertentu. Kalau itu terlalu kaku, bisa cari waktu lain.

Beberapa tokoh menyediakan waktu khusus untuk berdoa. Teresa dari Calcuta (1910-1997) dan Anthony de Mello (1931-1987) dari India menganjurkan pengikutnya berdoa 6 jam sehari, di luar doa bersama. Guido Conforti (1865-1931) dari Parma, Italia menganjurkan pengikutnya berdoa 2 jam sehari, di luar doa bersama. Almarhum Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) menganjurkan agar setiap kegiatan harian dilandasi doa. Doa menjadi jiwa dari berbagai kegiatan. Ia tidak memberi batasan.

Doa bisa dilakukan di mana saja. Doa tidak hanya di Masjid, Mushola, Gereja, Kapel, Sinagoga, Kuil, pura, Wihara, Gua, rumah adat, tempat sesaji, dan sebagainya. Ini tempat resmi namun ada juga tempat lain untuk berdoa. Di jalan, di kelas, di ruang kerja, di pabrik, di dalam mobil, pesawat, kereta, di WC, dan sebagainya. Doa tidak hanya di tempat ibadat.

Bagaimana? Ada yang berdoa dengan mengucapkan rumusan baku, dengan bernyanyi, dengan bernyanyi dan berkata-kata, dengan mempersembahkan sesuatu, dengan mengorbankan sesuatu, dengan ritual tertentu, dengan bahasa tertentu, dengan berkumpul, secara sendiri-sendiri, dengan kata-kata spontan, dan sebagainya. 

Berdoa! Hanya berkata atau setelahnya berbuat? Hanya membaca rumusan atau membuat rumusan baru? Berhenti pada kata tanpa tahu latar belakang atau memahami kata dengan latar belakangnya? Terpaku pada rumusan atau bisa sesuaikan dengan situasi tertentu? Banyak berkata atau sedikit berkata? Banyak berdoa atau berdoa banyak? Berdoa dengan bertindak atau berdoa tanpa bertindak?

Doa. Meminta atau mensyukuri? Berharap atau meminta perhatian? Mendengarkan atau mencurahkan isi hati? Sekadar curhat atau melampiaskan kemarahan? Memberontak atau berusaha mencari hikamah? 

Untaian pertanyaan tanpa jawaban. Berharap menemukan jawaban sendiri. Mengembara mencari jawaban dari pengalaman. Ibarat “Seorang perempuan berusia 70 tahun ditemukan hidup, empat hari setelah gempa dan tsunami mengguncang Jepang”. Ibarat, “Seorang pria berusia 60 tahun diselamatkan dari atap rumahnya yang terseret dan mengapung di laut” (KOMPAS 16 Maret 2011). Mereka bergulat untuk hidup. Situasi menjawab harapan mereka. Mereka mengalami penderitaan dan diselamatkan.

Mencari jawaban dengan berusaha. Ibarat “Shinkawa di kota Minami Soma, Prefektur Fukushima, Jepang yang terlihat melambai-lambaikan sepotong kain merah sambil berpegang erat pada reruntuhan rumahnya” (KOMPAS 16 Maret 2011). Ia berusaha mencari penyelamatan dari tim penyelamat. Jawaban bervariasi. Semuanya unik. Jawaban muncul dari pengalaman. Berusaha adalah pengalaman yang baik. *Semua gambar dari google images

Cempaka Putih, 26 Maret 2011
Gordy Afri


Satu model ruang baca, gambar: google
Pukul 12 tepat. Siang itu, suasana ruang baca Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) sepi. Empat pengunjung tampak diam, tidak ribut. Membaca, membuat catatan, mengedit tulisan, dan membuka internet.


Saatnya shalat dzuhur. Penjaga ruang baca keluar sebentar. Saya hendak pulang ke rumah. Tanda waktu di atas bagi saya menjadi pembatas kunjungan ke ruang baca. Kunjungan siang ini terjadi karena tidak ada kuliah.

Menuju tempat parkiran sepeda. Inilah sarana trasnportasi para mahasiswa. Siang itu, suasans parkiran sepi. Tampak sepeda-sepeda mengisi sebagian tempat itu. Sepeda tersebut adalah sepeda para mahasiswa yang sedang kuliah. Sebagiannya kosong. Hanya beberapa mata kuliah yang dijadwalkan pada jam kuliah ketiga (11-12.30).

Di sebelah pagar tempat parkiran tampak dua orang. Seorang adalah tukang sepatu. Dia biasa nongkrong di situ. Menunggu mahasiswa yang memanfatkan jasanya memperbaiki sepatu. Dia duduk di bangku panjang yang ditempatkan di dekat pagar.

Seorang lagi adalah tukang syomai. Dia tampak tertidur di bangku panjang. Pengunjung sepi karena mahasiswa sedang kuliah. Selain itu, sebagian besar mahasiswi/a sudah kembali ke rumah dan kosan. Jualan seperti ini amat  laku pada jam istirahat. Jam jeda antar-mata kuliah bagi mahasiswi/a.

Sementara itu, seorang petugas satpam sedang duduk di kantornya. Dia biasa memerhatikan setiap dosen dan mahasiswi/a yang keluar-masuk kampus. Penjagaan semakin ketat apalagi dengan maraknya teror bom di sejumlah tempat di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor. Sesekali dia keluar membuka pintu gerbang ketika ada mobil yang masuk atau keluar.

Saya keluar dengan sepeda. Melalui jalan Cempaka Putih Indah. Melewati komplek perumahan. Di sebelah kiri jalan terdapat 6 rumah. sedangkan sisi kana jalan, terdapat gedung sekolah Melania dan salah satu gedung kampus.

Selanjutnya, saya melalui Jalan Cempaka Putih 26. Jalan yang selalu ramai karena dilalui kendaraan umum dan kendaraan angkutan barang. Namun, siang ini tampak lenggang. Kendaraan yang lewat amat sedikit.

Selokan di sebelah kanan jalan masih bersih. Sayangnya, selokan ini menyebarkan bau tak sedap. Selain itu, kalau hujan sekitar 2 jam, selokan ini penuh. Kadang-kadang meluap sehingga menyebabkan kemacetan.

Generasi penerus, gambar:google
Sementara di sebelah kanan jalan suasana gelanggang olahraga Arcici tampak sepi. Di sinilah para atlet muda, seusia SD/SMP mengasah kemampuan. Dua jam lagi (pukul 14.00), lapangan sepak bola bagian depan ramai dengan pemain bola dan penonton. Mereka beratraksi di siang bolong.

Di salah satu bagian jalan, saya memerhatikan siswi/a SDN Cempaka Putih dan SMPN 137 Jakarta. Mereka sedang keluar. Waktunya untuk pulang ke rumah. Sebagian dari mereka berada di jalan. Ada yang berdiri sedang menunggu angkuatan dan mobil  jemputan. Ada yang sedang asyik bercerita. Ada pula yang bermain-main.

Mereka menguasai sebagian jalan. Kendaraan yang lewat menggunakan sebagian jalan. Pemandangan seprti ini kerap terjadi ketika jam keluar sekolah. Dua sekolah yang berdiri di pinggir jalan ini mendidik banyak murid. Ada beberapa unit gedung berbentuk huruf U. Tiap unit memiliki tigan lantai.

Ada rasa bangga ketika melihat jumlah anak sekolah seperti itu. Ruang kelas terisi dengan manusia yang siap dibentuk. Merekalah generasi penerus bangsa Indonesia. Harapan akan masa depan bangsa yang lebih baik ada di pundak mereka.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri juga fakta anak dan remaja yang putus sekolah. Di Jakarta jumlah mereka banyak. Data yang dihimpun berbagai instansi terkait kadang-kadang berbeda. Ini menunjukkan mereka belum terdata semua. Singkatnya masih banyak anak yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan.

Ada anak jalanan, anak yatim piatu yang tidak diurus, anak yang memang tidak mau bersekolah, anak yang mampu secara akademis tetapi lemah secara ekonomi, dan sebagainya.

Jalan berikutnya melalui komplek perumahan Cempaka Putih Barat. Di sini terdapat banyak pohon rindang beserta bunga hias. Sebagian besar pohon ini terdapat di pinggir jalan. Ada pula yang ditanam di sudut lapangan.

Pada siang hari, sekitar jam 12 sampai jam 2 siang, banyak kendaraan berteduh. Komplek ini memang banyak menyediakan tempat teduh. Sebagian besar tempat teduh ada di pinggir jalan. Pengendara tergoda untuk memarkir kendaraan. Menikmati udara segar di bawah terik matahari yang menyengat.

Selain itu, kesejukan juga terlihat dalam pagar rumah. Ada beberapa rumah yang memiliki lahan tempat bertumbuhnya pohon rindang. Di sinilah tempat nongkrong yang aman di siang hari. Kadang-kadang pemilik rumah berkumpul sekeluarga di bawah pohon sambil menikmati minuman segar, es kelapa muda, dan minuman segar sejenisnya.

Selain pohon rindang, komplek ini terkenal dengan tanaman hias. Pot bunga menyebar di sepanjang jalan. Ada petugas khusus yang merawat tanaman ini. Beberapa penduduk juga sering merawat. Tanaman ini rupanya bukan milik petugas kebersihan, petugas kelurahan, petugas RT dan aparat setempat. Tanaman ini milik semua penduduk. Sense of belonging ini menjadi pendorong untuk merawat tanaman umum seperti ini.

Ada satu masjid besar yang terletak di pinggir jalan. Masjid Jami Al-Falah. Di sinilah sebagian besar penduduk mengadakan ibadah Jumatan. Masjid ini juga menjadi tempat pembinaan anak-anak usia dini. Hampir setiap pagi ada kelompok anak-anak  yang menggunakannya. Kelompok menari, membaca, bermain, dan sebagainya.

Lima belas menit berlalu. Sepeda saya masuk di garasi. Tempat garasi hampir terisi semua. Sepeda lain rupanya sudah diparkir lebih dulu. Sebagian besar penghuni rumah sudah kembali dari kampus.

Perjalanan siang ini cukup melelahkan. Mengayuh sepeda di bawah terik matahari. Menghabiskan banyak kalori. Tenaga yang dikeluarkan mesti diganti dengan penambahan tenaga baru. Cairan tubuh mesti diisi dengan cairan tubuh.

Perjalanan mencapai garis akhir. Segenap impian lenyap bersama tenaga yang dikeluarkan. Satu yang tidak boleh lupa, hidup tidak berakhir hari ini. Biarlah kesusahan hari ini cukup untuk hari ini. Kegembiraan hari esok sedang menanti. Meski kita tak tahu, kita mesti tetap berharap.
Cempaka Putih, 16 Maret 2011
Gordy Afri

Gambar: Google images
Senyum dan keramahan merupakan dua hal yang mahal. Meski mahal sebagian besar manusia mendambakannya. Hampir setiap orang ingin diperlakukan dengan ramah dan diterima dengan senyum manis. Sayangnya tidak semua orang mampu memperlakukan sesamanya dengan senyum dan ramah. Memang tidak mudah. Makanya dua hal ini merupakan “barang” mahal.

Untuk kesekian kalinya penulis bertemu dengan pak tua yang menjadi tukang parkir di gereja Pulo Mas. Sebut saja namanya Pak Ujang. Usianya kira-kira mendekati 60-an tahun. Fisiknya tampak kuat. Kulit tubuhnya tidak lekang diterpa sinar matahari. Dari raut wajahnya, tampak kulit mulai keriput. Pakar kesehatan menemukan bahwa kulit manusia pada usia tua akan keriput. Usia mendekati 60 tahun termasuk usia tua. Penemuan ini berlaku untuk Pak Ujang. Meski demikian, semangatnya menjadi tukang parkir tetap tinggi.

Tiap kali mengikuti misa Mingguan di Pulo Mas, penulis bertemu Pak Ujang. Sebagian besar umat bertemu dengannya. Dia duduk atau berdiri di gerbang masuk gereja. Dia biasanya mengurus bagian parkiran kendaraan roda dua di halaman gereja. Bukan hanya untuk misa hari Minggu. Misa harian juga. Penulis termasuk umat yang sering—paling kurang sekali sebulan—mengikuti misa hari Kamis pagi di sana. Pada saat itu juga penulis bertemu Pak Ujang. Tugas hariannya di situ. Dia setia meski hanya beberapa sepeda motor dan mobil yang diurus pada pagi itu.

Satu kebiasaan yang selalu muncul dari Pak Ujang adalah memberi senyum dan keramahan. Seperti yang terjadi hari Minggu, 6 Maret. Dia duduk di kursi plastik yang terletak di samping gerbang. Dia tersenyum ketika penulis menaikkan kaca helem. Dia datang ke dekat sepeda motor. Dengan senyum khas-nya, dia menyapa dengan ramah, “Selamat sore, apa kabar?” Dia lalu memberikan kartu parkiran. Setelahnya,
dia kembali ke kursinya sambil menunggu sepeda motor lain masuk. Untuk kesekian kalinya penulis melihat senyum khas dan sapaan ramah Pak Ujang.

Penulis masuk ke gereja sambil berpikir tentang senyum dan sapaan ramah Pak Ujang. Senyum dan ramah memang mudah diucapkan tetapi sulit diwujudkan. Orang yang dalam keadaan marah dan emosional biasanya enggan dan tidak mampu untuk senyum dan ramah. Senyum dan ramah muncul dari kedalaman hati orang yang bahagia. Senyum dan ramah merupakan ungkapan kebahagian. Senyum dan ramah tidak muncul begitu saja tetapi ada latar belakangnya. 

Mengapa sulit untuk senyum dan marah? Senyum dan marah memang butuh latihan. Orang yang hidup dalam suasana bahagia akan mudah menciptakan senyum dan keramahan. Lama-lama senyum dan keramahan tampak sebagai reaksi asli karena keadaan dan bukan diciptakan untuk tujuan tertentu. Bukan pula dibuat-buat dan dipaksakan. Sebaliknya, senyum dan keramahan akan sulit ditemukan dalam diri orang yang selama hidupnya tampak kaku. Kalau demikian apakah senyum dan marah hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu saja?

Hampir semua orang bisa senyum dan ramah (kecuali yang cacat fisik tertentu sehingga sulit tersenyum). Ya, semua orang. Mulai dari Rudi Hartono dan Michael Hartono (orang terkaya urutan pertama dan kedua di Indonesia versi Forbes 2011) sampai pengemis yang mewakili kaum miskin. Tukang parkir seperti Pak Ujang bisa tersenyum dan berlaku ramah tiap kali bertemu umat. Dia tidak sulit untuk senyum dan ramah. Baginya, kedua hal ini bukan lagi barang mahal tetapi barang murah. Tiap hari ia berlaku demikian. Tidak semua pemilik sepeda motor dan mobil memberi uang sebagai balas jasa kepada Pak Ujang. Pak Ujang bukanlah tukang parkir di ITC Cempaka Mas, Rumah Sakit St. Carolus, atau Taman Monas yang setiap hari keluar-masuk ratusan sepeda motor dan dibayar tetap dengan biaya Rp 1000 tiap jam. Pak Ujang hanyalah tukang parkir yang dibayar tidak tentu. Meski demikian, Pak Ujang tetap saja tersenyum dan ramah ketika menerima kartu parkiran. Dia selalu mengucapkan terima kasih. Tak peduli entah ia menerima kartu dengan uang atau kartu tanpa uang. Senyum dan ramah memang mengakar kuat dalam dirinya. 

Senyum dan ramah bisa mengakar kuat dalam pribadi orang. Dibutuhkan latihan dan kesabaran. Senyum dan ramah akan mudah dikalahkan oleh arus emosional yang melanda pribadi manusia. Namun, jika ada usaha dan kesabaran, senyum dan ramah tetap terpantul. Pengendalian diri menjadi kunci. Pengendalian diri yang baik akan tampak dalam kemampuan untuk mengelola setiap perasaan yang dialami. Pengendalian diri menjadi jaminan apakah senyum dan ramah bisa bertahan jika diterpa emosional dan perasaan lainnya. Jika kuat, senyum dan ramah akan terpancar. Jika tidak, senyum dan ramah akan menjauh. 

Pak Ujang yang melakukan pekerjaan sederhana bisa senyum dan ramah. Ia manusia sama seperti kita yang lain. Bekerja sesuai profesinya. Senyum dan ramah melampaui sekat profesi dan suasana. Dalam setiap pekerjaan ada nada-nada senyum dan ramah. Menjadi mahal jika kita tidak bisa menangkap suasana senyum dan ramah. Sebab, keduanya akan selalu ada. Namun, keadaanya akan selalu terancam. Senyum dan ramah bergantung pada suasana hati. Kalau bad-mood senyum dan ramah akan menjauh. Sebaliknya, kalau good-mood senyum dan ramah mendekat dan dengan mudah keluar dari diri kita. Akhirnya, di mana tubuhmu (pekerjaanmu) ada di situ hatimu (senyum dan ramah-mu) ada.

Cempaka Putih, 12 Maret  2011

Gordy Afri

                 



Jarum jam menununjukkan pukul 5.45 p.m. Para pegawai kantor siap pulang ke rumah. Pekerjaan di awal pekan minggu ini diakhiri.
A
da yang menggunakan angkutan umum, mobil pribadi, dan sepeda motor. Semuanya ramai-ramai menggunakan jalan. Sementara itu suasana jalan padat dengan kendaraan. Laju kendaraan bergeser sekitar 1-2 meter per 5 menit. *Gambar: google images
 

Begitulah situasi Jalan Salemba Raya pada Senin, 28 Februari lalu. Penulis termasuk salah satu pengendara yang terjebak kemacetan. Kemacetan bukan hal baru bagi warga Jakarta. Sebagian besar warga sudah tahu dan pernah mengalami masalah ini. Hampir tidak ada bagian jalan yang kosong. Semuanya dipadati kendaraan, mobil, sepeda motor, dan bajai. Bahkan sebagian sepeda motor naik di trotoar. Ini terjadi karena badan jalan tak mampu menampung kendaraan yang ada. Selain itu pengendara sudah tidak sabar lagi berlama-lama di tengah kemacetan.

Selain di jalan Salemba, suasana serupa terjadi di jalan Salemba Tengah, berlanjut ke Jalan Percetakan Negara dan Jalan Rawasari. Keempat jalan ini berhubungan. Kendaraan dari Jalan Salemba menembus Salemba Tangah dan Rawasari. Pemandangan serupa juga terjadi di Jalan Gunung Sahari hingga simpang lima Senen. Bisa jadi di beberapa tempat lain juga sama. Semuanya macet. Hari ini hari Senin, hari awal pekan. Hari di mana sebagian besar pegawai kantor masuk. Tidak heran kalau keramaian di kantor berpindah di jalan. 

Ada anggapan bahwa sepeda motor menjadi penyebab kemacetan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah sepeda motor yang cukup banyak. Berdasarkan data kepolisian hingga tahun 2010 (akhir Juli), jumlah sepeda motor di Jakarta sudah mencapai 8 Juta unit. Jumlah ini diperkirakan bertambah 900 setiap hari (data dari maiwanews.com). Namun, tentu ada juga penyebab lain. Bis yang “mengetem”, menunggu lama, di sembarang tempat menyebabkan kendaraan lain ikut berhenti. Masalah lain yakni jalan yang tergenang air. Sebagian kendaraan menghindar atau memilih berhenti jika berhadapan dengan genangan air. Ada juga tempat umum yang menggunakan sebagian jalan sebagai parkiran. Ini semua memperlambat arus kendaran.

Kemacetan membawa masalah baru bagi warga Jakarta. Warga ibu kota Jakarta diperkirakan menderita kerugian sebesar Rp. 28 Triliun per tahun akibat kemacetan (Antara News). Kerugian bahan bakar diperkirakan Rp. 10,7 trilun (kerugian terbesar). Ini terjadi karena banyaknya bahan bakar yang terbuang saat kendaraan terjebak macet. Kerugian kedua yakni waktu produktif yang diperkirakan mencapai Rp. 9,7 triliun. Kerugian ketiga dalam bidang kesehatan yakni pengendara yang stres dan terkena polutan. Kerugian ini diperkirakan sebesar Rp. 5,8 triliun. Kerugian terakhir dialami oleh pemilik angkutan misalnya berkurangnya jam angkut. Kerugian ini diperkirakan sebesar Rp. 1,9 triliun. 

Angka di atas besar. Untuk mencapai angka itu seorang pekerja mesti berjuang sekian lama. Angka di atas senilai dengan 100 ribu rumah elit di Jakarta yang harganya Rp 250 juta ke atas. Bayangkan kalau biaya beli 10 rumah itu dibuang dalam waktu setahun. Padahal mencarinya amat sulit tetapi menghabiskannya begitu mudah. Dengan terjebak dalam kemacetan. Sebagian besar di antara pengguna jalan tidak tahu kalau mereka rugi sebesar itu karena begitu lama antri di jalan.

Angka itu bisa diperkecil jika pengguna jalan dan pemerintah memiliki komitmen untuk mencari solusi. Rakyat tidak ingin biaya sebesar itu dibuang begitu saja. Rakyat tidak ingin duduk berlama-lama di angkutan kota, berdiri di jalan dan halte. Rakyat ingin semuanya lancar, cepat sampai di tempat tujuan. Pemerintah dan rakyat hendaknya duduk bersama memecahkan persoalan kemacetan. Rakyat sebagai pengguna jalan ingin nyaman berlalu lintas. Pemerintah semestinya menyediakan fasilitas publik bagi warganya. Jalan merupakan fasilitas publik yang dinikmati semua warga. Rakyat akan puas jika pemerintah memperbaiki jalan yang ada, menertibkan kendaraan yang diparkir di jalan, menindak tegas pengendara yang melanggar.

Sebaliknya rakyat harus berkomitmen menjaga fasilitas publik yang ada. Menjaga jalan umum, bersama-sama memperbaiki jika ada yang rusak. Yang perlu ditekankan juga adalah ketertiban dalam berlalu lintas. Tertib berlalu lintas merupakan langkah awal membantu polisi. Polisi bisa mengendalikan kelancaran kendaraan jika pengguna jalan ikut mendukungnya. Tanpa kerja sama keduanya, jalanan tetap macet. Dengan ini, kecelakaan di jalan dan kerugian akibat macet bisa diperkecil. Mari kita menjadi pengguna jalan yang bijak di tengah kemacetan.
Cempaka Putih, 5 Maret 2011
Gordy Afri
Powered by Blogger.