Halloween party ideas 2015


Sumber gambar sini

Saya tidak mau banyak berkomentar tentang pendidikan khususnya pendidikan dasar di Indonesia. Selain karena saya bukan pengamat pendidikan, saya juga tidak ahli dalam bidang pendidikan. Hanya saja saya begitu tertarik dengan dunia pendidikan. Ketertarikan ini juga yang mendorong saya untuk ‘mengintip’ perkembangan pendidikan di Indonesia.

Saya memilih memerhatikan pendidikan dasar. Bukan berarti yang lainnya tidak diperhatikan. Pendidikan itu kan merupakan proses berkelanjutan sehingga tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Pendidikan dasar menurut saya merupakan pendidikan yang luput dari perhatian banyak orang. Untuk pendidikan menengah, media cukup banyak mengulas, mulai dari kasus kriminal yang melibatkan siswa (tawuran) sampai kisah sukses siswa di kancah internasional.

Media tentu mengangkat pendidikan dasar (SD), hanya saja yang muncul adalah gedung sekolah rusak, kekurangan guru, sengketa lahan, dan sebagainya. Padahal pendidikan dasar merupakan pijakan untuk pendidikan lainnya. Kalau dasarnya kuat maka ke atasnya akan lebih baik. Kuncinya adalah pendidikan dasar.

Dalam tulisan ini, saya hanya menyampaikan selamat berjuang untuk para siswi/a yang masih mau sekolah meski jembatan sudah ambruk. Beberapa kali di media belakangan ini diangkat tulisan dan foto anak sekolah yang berjuang agar bisa ke sekolah. Ada yang berjalan sampai berapa kilometer, melewati jalan berliku-liku, menuruni lembah menaiki lereng, ada juga yang merayap di jembatan tua, bahkan ada yang rela menyeberangi sungai dengan konsekuensi pakaian sekolah basah kuyup.

Betapa besar perjuangan anak-anak Indonesia. Saya ingat teman-teman SD saya dari 2 kampung yang harus menyeberangi sungai ke sekolah. Sayangnya, pemerintah seolah-olah menutup mata terhadap perjuangan anak-anak ini. Bagaimana mungkin pemerintah tidak bisa membangun sarana transportasi yang baik untuk warga termasuk untuk anak-anak sekolah di negeri ini. Dalil yang sering muncul adalah medannya sulit. Memang topografi Indonesia seperti itu. Itulah alam Indonesia. Alam tidak bisa berubah. Yang berubah adalah manusia yang menghuninya. Maka, pemerintah semestinya wajib menyediakan infrastruktur yang baik bagi rakyatnya.

Saya tidak menyalahkan pemerintah pusat atau daerah. Karena urusan ini bukan urusan yang bisa dilempar-tanggungjawabkan. Urusan ini dicapai dengan kerja sama antara pemangku jabatan yang dalam hal ini adalah pemerintah dari pusat hingga daerah.

Akhirnya, selamat dan tetap semangat untuk adik-adik saya yang berjuang memperoleh ilmu. Saya juga berterima kasih untuk pemerintah dan semua pihak yang masih memiliki hati untuk memperjuangkan pendidikan dasar di negara ini. Harapannya mata kita semakin lebar melihat dan ikut berjuang bersama anak-anak. Perjuangan saat ini adalah perjuangan membangun infrastruktur. Jangan sampai kita ikut ambruk bersama jembatan yang dibawa sungai. Pendidikan dasar mesti diperhatikan semaksimal mungkin. Ini hanya opini dari seorang anak bangsa. Mungkin terlalu ideal tetapi inilah wujud cinta saya kepada bangsa ini.

CPR, 24/2/2012
Gordi Afri

ABU DI DAHI: TANDA PERTOBATAN

Gambar dari google

Tiap tahun umat Katolik menerima abu. Abu itu ditandai di dahi. Berbentuk salib. Ungkapan yang keluar dari mulut Pastor dan pembantunya yang memberi abu demikian, “Bertobatlah dan Percaya kepada Injil”.

Ungkapan ini mengandung dua makna menurut hemat saya. Pertama unsur pertobatan. Ada waktu 40 hari bagi kita untuk bertobat. Bertobat menuntut perubahan dalam hidup. Perubahan mulai dari diri sendiri. Sangat bijak Gereja menyediakan waktu untuk merenung selama 40 hari. Meniru kebiasaan Yesus berpuasa 40 hari di Padang Gurun. Mampukah kita berpuasa di padang gurun sekarang ini?

Ada banyak godaan di sekitar. Di situlah diri kita diuji. Masih kuat atau tidak. Bukan sekadar tahan dari ujian tetapi mesti mampu untuk berubah. Dalam masa puasa ini kita mesti kembali kepada diri sendiri. Dalam kesendirian kita menmukan diri. Dari situlah kita bisa berubah.

Unsur kedua adalah percaya pada Injil. Rasanya kita sudah percaya pada Injil sejak kita dibaptis. Tetapi semudah itukah kita percaya pada Injil? Percaya pada Injil menuntut keyakinan yang kuat. Injil bukan lagi dimaknai sebagai sebuah buku yang bisa dibaca di mana saja. Lebih dari sebuah buku, injil adalah Sabda Yesus. Petuah yang keluar dari mulut Yesus.

Dan, sekarang ini, Sabda itu bukan saja untuk dibaca dan dihayati tetapi mesti menjadi bagian dari diri kita. Oleh sebab itu, Injil mesti dihidupi. Percaya pada Injil menurut hemat saya berarti menjadikan Injil itu sebagai bagian dari diri kita. Orang lain mestinya mampu melihat diri kita sebagai sebuah Injil, sebagai kabar sukacita bagi sesama. Apakah kita sudah menjadi kabar yang menggembirakan bagi sesama kita?

Mari bersama-sama dalam masa puasa ini kita kembali kepada diri kita, melihat ke kedalaman hati. Selamat bepantang dan berpuasa.

CPR, 24/2/2012
Gordi Afri

BACA JUGA: RABU ABU DI ITALIA


Sumber di sini

Ini peristiwa konyol kemarin. Kekonyolannya membuat saya menarik sesuatu yang penting.

Saya dan dua teman mengikuti kebaktian di GKI Kelapa Cengkir, Kelapa Gading. Kami berjalan berurutan. Teman saya berada di depan dan di belakang, saya di tengah.

Setibanya di pintu masuk, kami mengambil majalah dan lembaran informasi kebaktian hari itu. Teman yang di depan mengambil duluan. Setelahnya saya. Saya melihat, dia memencet tombol setelah menerima majalah dari petugas. Giliran saya sekarang. Petugas menyerahkan majalah itu. Saya menerimanya sambil tersenyum dan menyapa selamat pagi.

Lalu, saya berpindah tempat. Tanpa melihat kode-kode yang ada di atas tombol itu, saya langsung memencet. Yang saya lihat hanya jumlah angka setelah pencetan itu. Angkanya bertambah. Astaga…ternyata itu tombol untuk perempuan. Petugas itu tertawa. Lalu saya meminta maaf.

“Ehh..salah. maaf bu, giliran berikutnya nanti tidak perlu pencet lagi.”
Ibu itu tersenyum dan mengangguk saja.

Lalu, giliran teman saya berikutnya. Dia memencet tombol untuk laki-laki. Setelahnya dia menoleh ke saya dan tersenyum. Wah…benar-benar kekonyolan yang memalukan. Namun untuk apa malu? Asal saja mengakuinya dengan jujur, itu sudah cukup.

Ah…kekonyolan ini membuat saya tidak enak. Untunglah teman saya tidak menyinggung hal ini lagi. Kalau ketahuan sama teman yang satu pasti tambah ramai pembicaraannya.

Dikira tombol itu untuk semua jemaat yang datang. Ternyata tombol itu digolongkan menurut jenis kelamin. Ada laki-laki dan perempuan. Ada juga tombol untuk tamu dan anggota tetap di gereja itu.

Lain kali mesti hati-hati. Setiap tombol memiliki fungsinya. Kalau salah menekannya pasti fungsinya kacau.  Ini masih untung. Kekonyolannya masih dimaafkan. Kalau tidak akan ada yang memarahi dan dimarahi. Apa jadinya itu???

CPR, 12/2/2012
Gordi Afri  


Sumber gambar sini

Mula-mula saya heran dengan banyaknya denominasi Gereja Kristen di Indonesia. Keheranan ini bukan datang tiba-tba. Saya dibesarkan di lingkungan mayoritas Gereja Katolik. Saya tahu di samping Gereja Katolik ada Gereja Protestan yang sangat dekat dengan Gereja Katolik dalam hal sejarah. Saya pun tak asing dengan nama Gereja Protestan.

Namun, ketika saya keluar dari lingkungan saya, rasa heran mulai muncul. Ternyata Gereja Protestan itu banyak. Denominasinya banyak, ada Gereja Kristen Indonesia, Gereja Kristen Jawa, Gereja Masehi Injili, Gereja Metodhis, Gereja Protestan Indonesia Barat, dan sebagainya. Gereja-gereja ini bernanung di bawah bendera Gereja Kristen Protestan atau resminya Agama Kristen Protestan. Tentu ini amat berbeda dengan Gereja Katolik yang berasal dari agama Katolik sendiri. Agama Kristen Protestan ternyata memiliki banyak Gereja.

Tak heran jika jemaat Kristen Protestan di Indonesia lebih banyak daripada umat Katolik. Data pastinya memang sulit ditentukan. Ada banyak sensus yang dibuat, bahkan kadang-kadang mungkin tidak ada kesepakatan tentang angka pastinya. Namun, hampir pasti yang saya dengar bahwa jemaat Gereja Kristen lebih banyak ketimbang umat Katolik. Saya tak heran sebab dalam agama Kristen sendiri terdapat banyak Gereja sedangkan dalam agama Katolik hanya ada satu Gereja yakni Gereja Katolik. Banyak Gereja banyak pengikut, begitu kira-kira latar belakang angka tersebut.

Menurut Pendeta Yohanes dari Gereja Methodis Johar Baru, Gereja itu ibarat taman. Ketika kita masuk ke taman, kita melihat bunga yang indah. Bunga mawar yang kita lihat pertama sangat indah. Masuk lebih dalam lagi, ada bunga matahari. Kita pun melihat bunga itu sangat indah. Begitu seterusnya. Ada banyak bunga yang kita lihat di taman itu. Semuanya memiliki ciri khas tersendiri. Kekhasannya itulah yang membuatnya indah. Begitu kira-kira ringkasan kata-kata pendeta itu dalam khotbah ibadat oikumene pada Sabtu, 28/1/2012 di Gereja Methodis Johar Baru.

Lebih lanjut pendeta asal Sumatera Utara ini mengatakan, kita tidak perlu merasa gereja kita paling benar dari yang lainnya. Sebab, tiap gereja mempunyai kekhasannya tersendiri. Ada yang kontemplatif, ada yang berjingkrak sebagai tanda hadirnya Roh Kudus, ada yang harus menyanyi keras-keras untuk memuji Tuhan. Semuanya mempunyai kekhasannya. Gereja-gereja ini kiranya seperti bunga-bunga yang ada di taman. Kalau semua orang melihat Gereja seperti taman, di dalamnya ada variasi, maka tak ada lagi fanatisme antara gereja.

Sumber gambar sini
Ketika gereja hadir dengan berbagai wajahnya, di situlah wajah Yesus ditampilkan. Namun, pandangan semacam ini menunai kritik juga. Ada komentar orang yang tidak setuju dengan berkembangnya atau bermunculannya gereja-gereja baru saat ini. Mereka mengatakan, kalau kita dipanggil untuk bersatu, mengapa kita hanya terkurung dalam kelompok gereja kita sendiri? Banyak gereja baru membuat kita tidak bersatu lagi. Namun, kesatuan seperti apakah yang didambakan? Toh, dalam satu taman bunga-bunga indah menjadi satu yakni menciptakan keindahan dalam taman itu. Kalau begitu, apakah hadirnya gereja-gereja baru menghalangi kita untuk bersatu?

Salah satu persoalannya di sini adalah soal keterbukaan antara jemaat gereja. Kalau jemaatnya saling terbuka dan mau bekerja sama dengan jemaat gereja lainnya maka kesatuan itu bisa tercapai. Memang kalau semuanya terkurung sesuai kelompok gerejanya maka tidak ada kesatuan itu. Yang ada adalah perpecahan sebab kita tidak satu lagi. Dalam Injil tertulis kita dipanggil menjadi satu. Menjadi satu seperti apa? Toh gereja secara fisik ada bermacam-macam. Ataukah gereja dalam artian kita disatukan dalam nama Yesus?  Kalau gereja yang dimaskud adalah yang terakhir ini, kita sudah mencapai kesatuan itu. Agak sulit menjadikan jemaat Kristen dan umat Katolik menjadi satu institusi gereja. Gereja-gereja dengan berbagai denominasinya tetap dipertahankan. Kita hanya mengharapkan bahwa denominasi itu hendaknya menjadi seperti satu jenis bunga yang menyumbangkan keindahan bagi taman bunga orang Kristen itu sendiri. Dengan demikian orang Kristen tetap bersatu dalam nama Tuhan Yesus.

CPR, 29/1/2012
Gordi Afri
Powered by Blogger.