Halloween party ideas 2015



ilustrasi dari cbeckdkeeeebkddk.blogspot.com
Iman sebesar atau tepatnya sekecil biji sesawi bisa memindahkan gunung. Biji itu, menurut cerita orang yang pernah melihatnya secara langsung, amat kecil. Biji sesawi mungkin menjadi biji yang paling kecil dari segala jenis biji buah dan sayur. Dan, justru iman yang digambarkan seukuran biji itu mempunyai daya kekuatan yang besar. Dayanya bisa memindahkan gunung. Demikian dikatakan Yesus kepada muridnya.

Berarti iman, betapa pun digambarkan kecil, mempunyai daya yang besar. Iman yang bahasa lainnya adalah keyakinan. Yakin akan apa yang diimani. Yakin total dengan apa yang dipercayai. Maka, modal iman adalah kepercayaan. Saya beriman jika saya percaya. Saya beriman jika saya yakin total akan apa yang saya imani.

Tetapi benarkan iman itu ada dalam kenyatannya? Maksudnya, bagaimana jika iman itu diwujudnyatakan dalam kondisi real? Benarkah jika saya punya iman seukuran biji sesawi bisa memindahkan gunung? Benarkah saya bisa? Benarkah kenyatannya demikian?

Tentu ini menjadi perkara rumit. Sebab, sulit membuat alat buktinya. Saya percaya total pun tetap tak bisa dibuktikan. Saya juga tidak yakin, apakah kepercayaan saya itu total atau hanya setengah-setengah. Sebab, kepercayaan juga bisa menjadi situasional. Jika itu menguntungkan saya percaya. Jika tidak saya abaikan.

Tetapi Sabda itu perlu diwartakan agar saya percaya pada kekuatan di luar diri saya. Saya percaya atau menaruh harapan pada Dia yang punya kuasa. Sabda serupa bisa ditemukan dalam rumusan lain dalam buku Kitab Suci. Sabda ini termasuk Sabda Paradoksal. Sabda yang melampaui pemikiran. Seperti mengubah batu menjadi roti. Ini termasuk kenyataan yang luar biasa. Kalau menjadi nyata. Jika tidak, sabda ini hanya obrolan saja.

Maka, Sabda ini bukanlah bicara kenyataan. Tetapi bicara soal iman. Iman yang berarti percaya. Percaya pada apa yang diimani. Saya mengimani Yesus maka saya percaya pada Yesus. Menaruh harapan pada-Nya. (Tulisan Sebelumnya)

Jakarta, 8/7/13
Gordi

Jakarta menjadi kota kenangan sekaligus kerinduan. Dalam tulisan sebelumnya saya menulis tentang Yogyakarta. Saya memang baru saja selesai masa tinggal di Yogyakarta selama hampir setahun terakhir. Itu adalah periode kedua bagi saya tinggal di kota pelajar ini. Meski periode kedua, saya selalu melihat Yogyakarta sebagai kota yang baru berkembang. Itu terjadi karena Yogyakarta terus berbenah sekaligus makin maju. Bersama kemajuan itu ada padatnya lalu lintas, ramainya penghuni kosan dan perumahan baru. Itu adalah bagian dari perubahan yang membuat Yogyakarta sebagai kota yang terus membarui diri.

Saya kembali Jakarta. Kota ini menjadi kota yang akan selalu saya singgah. Memang saya sudah menjadi warga DKI Jakarta. Paling tidak di KTP sudah tercantum sebagai penduduk provinsi ini. Tapi bukan ini saja yang membuat saya selalu singgah di sini. Banyak urusan lainnya baik terkait dengan kampus, kewargaan, birokrasi negara, dan urusan lainnya yang selalu diurus di kota ini. Itulah sebabnya saya akan selalu singgah di kota ini.

Saya sedang mengurus beberapa surat di kota ini sebelum berlibur ke kampung halaman. Untuk selanjutnya kembali ke Jakarta dan akan melanjutkan ke kota dan negara lain. Tetapi suarau saat, beberapa tahun kemudian, saya akan kembali dan akan singgah di kota ini. Kota ini menjadi kota persinggahan. Semoga saya selalu sehat dan bahagia singgah di kota ini. Itulah sebabnya meski hanya singgah saja, saya menyempatkan diri untuk bermain futsal, olahraga paling mudah, di kota metropolitan ini. Jakarta akan sselalu kukenang dan kurindukan. (Tulisan sebelumnya) 

Jakarta, 6/7/13
Gordi Afri



foto dari marcusgoesglobal.com
Yogyakarta, kota impian. Impian untuk kembali ke kota ini. Tahun 2005, saya menginjakkan kaki di kota ini. Tinggal di sini selama 10 bulan lalu pindah ke Jakarta. Meski singkat, kesan untuk kota Yogyakarta cukup kuat.

Yogyakarta, kota yang ramah, sopan, dan teratur, serta berbudaya. Selama tinggal di Jakarta, saya mengimpikan hal-hal ini. Dan hal inilah yang ada di Yogyakarta. Itulah sebabnya saya mengimpikan untuk kembali ke Yogyakarta. Dan, kebetulan saja, impian saya itu menjadi nyata. Saya ditugaskan di Yogyakarta selama setahun 2012-13.

Tanggal 10 Juli 2012, saya berangkat dari Jakarta. Naik bis Safari Dhramaraya dari Jakarta dan tiba pada 11 Juli pagi hari di Yogyakarta. Kini, saya tidak mengimpikan tinggal dan kembali ke Yogyakarta lagi. Saya tinggal dan kembali ke Yogyakarta lagi. Yogyakarta di depan mata dan bukan kota impian lagi. Yogyakarta kini berubah menjadi kota harapan.

Dalam setahun ini, saya berharap saya bisa kerasan dan nyaman tinggal di kota ini. Tidak main-main, saya ditugaskan untuk memberi pengajaran tentang harapan pada anak didik. Saya kini menjadi pendidik. Sebagai pendidik saya bicara tentang masa depan. Maka, di sinilah ada harapan. Harapan tidak menjadi nyata jika tidak mulai dari masa sekarang. Maka, saya sekarang berada di Yogyakarta untuk emngajarkan harapan tentang masa depan.

Tak terasa, setahun di Yogyakarta sudah usai. Saya akan kembali ke Jakarta. Dan, tanggal 2 Juli 2013, saya akan kembali ke Jakarta. Waktu ini saya kenangkan dengan baik. Terlalu singkat rasanya tinggal di Yogyakarta. Tetapi, saya merasa di dalamnya saya mengalami pahit-manis, jatuh-bangunnya berjuang menjadi pendidik. Dalam semuanya ini, saya terbius dengan suasana kota Yogyakarta yang nyaman, teratur, berbudaya, dan punya impian tentang masa depan.

Selanjutnya, saya bermimpi tinggal di benua Eropa. Dan memang saya akan berangkat ke sana. Semoga saya bisa kerasan dan betah di sana. selamat tinggal Yogyakarta. Semoga kelak saya bisa menemukanmu seperti saat ini, nyaman, berbudaya, dan ramah. Yogyaku terima kasih untuk keramahanmu. (Tulisan Lain)

PA, 1/7/13
Gordi Afri
Powered by Blogger.