Halloween party ideas 2015

DIARIO 3
Salerno, Foto, Gordi

Scrivere quello che fa. A volte è difficile ma anche facile. Oggi (Sabato, 12 luglio) dopo aver visitato la spiaggia a Conca dei Marinai, la parrocchia di san Patrizio, la casa accoglienza di Bruno a Cava, abbiamo riflettuto su tutte queste cose. Alla fine abbiamo scritto una preghiera come ringraziare Dio per questi momenti che abbiamo trascorsi.    

Salerno, 12 luglio 2014
Gordi

foto oleh inikabarku
Kalau ada pertanyaan, siapa yang lebih besar di antara Anas dan Ruhut? Jawabannya pasti Anas.

Mengapa demikian? Lihat saja di lapangan. Anas mengusir Ruhut. Ruhut seperti tak berdaya. Keduanya sama-sama anggota partai demokrat. Punya posisi masing-masing. Anas sang ketua dan Ruhut kepala departemen komunikasi.

Tetapi kalau di media, Ruhut lebih besar. Ruhut sering tampil di media massa untuk mengomunikasikan perhal partainya. Dia memang bertugas untuk itu.

Anas juga tampil di media massa. Hanya saja bukan untuk membicarakan partai. Paling tidak Anas sering diincar wartawan untuk bertanya tentang partainya.

Ternyata di partai, Anas lebih besar dari Ruhut. karena besar, Anas bisa mengusir Ruhut. usir mengusir jadinya. Meski Ruhut datang atas restu Pak SBY, dia tetap diusir. Memang Ruhut kecil dibandingkan Anas.

Di partai politik orang besarlah yang berkuasa. Dia yang berhak mengatur posisi anggotanya. Ruhut berkaliber dalam bidangnya, komunikasi, tetapi toh dia diusir oleh orang besar. Orang besar memang punya kekuasaan. Kekuasaan utama adalah mengamankan partainya termasuk dirinya.

Pertanyaannya, kalau Ruhut diusir apakah posisi Anas aman? Ataukah Anas juga akan berjanji untuk gantung di Monas jika dia salah mengusir Ruhut? kita tunggu kejutan berikutnya.

PA, 15/12/2012
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 15/12/2012

foto oleh Prapen Wesi Aji.
Ibarat tamu, datang dan pergi, demikian situasi yang ada di partai demokrat. Ada anggota lama yang pergi meninggalkan partai, ada juga yang nantinya akan datang dan merapat. Ini biasa untuk dunia politik. Demikian mata kita menyaksikan panggung politik negeri ini.

Konon ada istilah kutu loncat partai. Sang politikus keluar masuk, dari partai ke partai. Ibarat tikus mencari makanan di mana saja dia temukan. Demikian politikus mencari rumah aman untuk karier politiknya.

Hari ini saya juga membuat account baru di kompasiana ini. Bukan karena saya mau memiliki lebih dari satu akun. Akun yang lama gagal dibuka setelah dicoba beberapa kali. Daripada menunggu lama lagi, saya membuat yang baru. Ini untuk mengembangkan kemampuan saya dalam hal menulis dan berbagi. Meski bukan penulis profesional, saya tetap mencintai kegiatan menulis.

Inilah demokrasi dalam blog keroyokan ini. Juga bagi saya demokrasi dalam menulis. Mau tulis berapa hari ini terserah saya. Mau tidak menulis juga bisa. Tetapi saya ingin tetap ada yang ditulis setiap hari. Biar otak tidak berat menampung ide.

Saya akan berusaha tidak meloncat sana sini membuat akun baru. Saya ingin tetap tinggal dalam akun ini sehingga tetap ada tulisan yang dibuat. Ini janji saya di awal akun ini. Semoga ini tetap ada dan menjadi wadah untuk berbagi dan bertemu teman-teman semuanya di blog kompasiana ini.

Salam kompasiana

Yogyakarta, 15/12/2012
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 15/12/2012

foto da Federico Patti
DIARIO 2 

La famiglia è la prima casa educativa dei bambini. I bambini crescono in una famigli. Ma non tutti. Alcuni di essi vengono adottati in una famiglia, vivono nella casa famiglia (coloro che non hanno i genitori, lontano dai loro genitori, crescono con la mamma o con il papà). Oggi (Venerdì, 11 luglio) abbiamo parlato di questo tema con i ragazzi adolescente nel campo estivo dei Missionari Saveriani di Salerno. Diamo loro una nuova visione sulle nuove famiglie. Abbiamo visto anche il film e le foto su questo tema.

Salerno, 11 luglio 2014
Gordi


foto, Gordi
DIARIO 1

Oggi (10 luglio) è il giorno per viaggiare; da Parma a Salerno. Da Parma a Bologna siamo partiti con il treno Intercity 583. Da Bologna a Salerno con la Freccia rosa 9563. Siamo passati per Firenze e Napoli. Da viale san Martino alla stazione di Parma siamo andati con la macchina panda. Dalla stazione di Salerno alla casa dei missionari Saveriani con la punta Fiat. Siamo partiti la mattina alle 7.30 e arrivati a Salerno alle 13.43. Alla sera siamo andati alla pizzeria e al posto più alto di Salerno per vedere la panorama. Salerno by night.

Salerno, 10 luglio 2014
Gordi

I will give you rest

the photo from 4lfie
Today, I went to St Christina parish. I met Father Luciano, the parish priest. We are welcoming. I also met two of my friends, Mara e Erica, they come from the South Italia. Mara is studying in Parma and Erica is working in Fidenza, it is not far from Parma. I also met my other friends. I also met the friends from some countries of the Africa and my friends from the Philipines.

I am happy to come here. Last Sunday, I cannot come here because I followed the mass at our Sanctuary of San Guido Conforti. Yes, of course the situation is different. Today is different with the others Sunday. The people making the holiday. There are going to the mountain, the beach, the countryside. And, few went out of the country, Asia, Africa, America, Australia, and so on. One of the Italians habit's is make the holiday in another country. For someone this is a cultural so that every holiday went to the other country. So, there are little people in the church. Or, there are more people that not come to the church. Nevertheless, I am happy because the people come to the Church with their family. I see three children and more than 6 boy and girl. 

I think, maybe some people feel as tired at this time because he more doing. I know that many people want to go to the holiday and little people stay in the city. So, they stay at home or in the city doing more. But, Jesus said, "Come to me, all you who labor and are burdened, And I will give you rest." With this phrase Jesus invited us to meet him in the Church. Jesus come to us in the Eucharist. Sure, Jesus is everywhere and forever. But, I thinks there is not wrong if we come into the Church and met the others. We are in unity with the others and with Jesus. Jesus always loves us. 

Happy Sunday


Gordi

foto demo 1 Mei 2011 di New York, foto oleh peoplesworld
Dunia hari ini memperingati atau merayakan hari buruh internasional. Di mana-mana warga dunia merayakan hari ini. Asia, Afrika, Amerika, Eropa, Australia. Itulah sebabnya dinamakan hari buruh internasional. Masing-masing negara tentu merayakannya dengan caranya sendiri. Bahkan mungkin dalam negara juga tidak ada perayaan secara nasional. Boleh jadi hanya perayaan tingkat daerah. Atau juga mungkin tidak ada sama sekali. 

Merayakan hari buruh atau membuat demo? Tak penting mendebatkannya. Toh ada yang bisa saja berargumen berdemo juga menjadi bagian dari perayaan atau peringatan. Pertanyaan yang kiranya pas adalah mengapa ada demo?

Tentu ada sebabnya.  Kalau boleh menebak salah satu alasannya adalah kurang puas. Kurang upah, kurang tunjangan, dan kurang-kurang lainnya. Boleh ditambah alasan lainnya. Intinya demo ini ada sebabnya. Di beberapa belahan dunia, hari ini menjadi hari untuk berdemo. Hari buruh menjadi kesempatan untuk berdemo.

Sampai kapan pun kiranya tidak pernah ada kepuasan. Buruh kiranya tidak akan menikmati kepuasan yang mereka harapkan. Meski setiap tahun mereka berdemo, pada akhirnya kepuasan akan hal yang mereka cari tidak akan tercapai.

Kepuasan memang mesti dicari. Pencarian seumur hidup. Katakanlah demikian. Sebab, tahun lalu buruh berdemo. Tahun ini juga buruh berdemo. Tahun depan juga buruh akan berdemo. Dua tahun lagi boleh jadi buruh akan berdemo.

Demo terus menerus bisa saja menghilangkan nama peringatan hari ini. Hari buruh menjadi hari demo. Tentu demo dalam arti tertentu yakni demo tanggal 1 mei. Bukan demo lainnya. Hari buruh terkait erat dengan hari demo.

Tentu yang berdemo hari ini tidak semua buruh. Hanya sebagian yang berdemo. Boleh jadi mereka yang berdemo hanya kelompok yang tidak puas. Dan kelompok yang tinggal-diam di rumah menikmati kepuasan pekerjaan mereka. Atau juga kelompok yang mengisi hari ini dengan kegiatan lain yang bukan dengan demo. Atau juga kelompok yang tidak mau peduli dengan kepuasan akan hak mereka. Mereka tahu mereka kurang dihargai sehingga mereka merasa kurang puas. Tetapi, mereka enggan membuat protes karena mereka tahu, suasana ini tidak gampang berubah. Demo tidak menjamin masalah akan selesai. Tetapi demo bisa juga menjadi semacam rambu. Rambu yang menuntut adanya perubahan.

Hanya saja perubahan di mana-mana membutuhkan waktu lama. Demo pun kadang-kadang kurang greget untuk membuat perubahan. Jadi, perlukah berdemo atau tidak pada hari buruh? Paskah hari buruh kita peringati dengan berdemo?

Prm, 1/5/2014
Gordi


*Pernah dimuat di blog kompasiana 1 Mei 2014

foto ilustrasi oleh CubaGallery
Aku mau bahagia
Ingin sekali merasakan bahagia
Malam ini aku ingin bahagia
Malam yang pas untuk berbahagia

Kata temanku di halaman fb-nya
Bahagia itu bukan pada benda yang kita miliki
Tapi pada diri kita
Bahagia pada diri

Jika aku ingin bahagia
Maka bahagia itu aku rasakan
Bukan aku miliki Bukan aku beli
Demikian jika mengikuti kata-kata itu

Aku ingin berbahagia di malam Minggu
Memang ini perasaanku
Perasaan dari dalam diri saya
Bukan dari luar diri saya

Aku ingin bahagia
Sekali pun aku tak bersamamu
Sekali pun aku tak memilikimu
Sekali pun aku jauh darimu

Benar kata temanku
Bahagia bukan pada benda
Tapi pada diri
Diri setiap orang

Maka bukan saja aku yang bisa berbahagia
Tapi juga kamu dalam dirimu sendiri
Maka bahagia bisa ada dalam diriku
Juga dalam dirimu

Alangkah baik jika
Bahagia itu jadikan perasaan bersama
Antara aku dan kamu
Meski kamu di sana dan aku di sini

Salam bahagia

Prm, 2/5/14
Gordi


*Pernah dimuat di blog kompasiana

foto ilustrasi oleh CubaGallery
Kau tinggalkan kami
Kau pergi tanpa kami tahu
Kau pergi tanpa kamu pamit
Kau pergi selamanya

Kami merasa sedih
Kami merasa kehilangan
Kami merasakan duka yang mendalam
Kami merasakan ada yang kurang

Kehadiranmu di tengah kami
Kerap membuat kami gembira ria
Betapa engkau pembawa kegembiraan
Dengan lelucon yang kamu buat

Kami senang meski dalam suasana duka
Kami terhibur meski sebenarnya kami amat kehilangan
Kami selalu gembira meski kami banyak masalah
Kami tak merasa ada beban meski ada tugas berat

Itulah yang kau hadirkan untuk kami
Ceritamu berulang-ulang namun kami tak bosan mendengarnya
Mimik mukamu akan kami ingat selalu
Gaya bicaramu akan kami kenang

Dan rupanya inilah yang selalu akan kami kenang darimu
Kami tak bisa lagi mendengar ceritamu
Namun kami bisa menghadirkan kembali ceritamu
Kami akan ingat semuanya

Kau dan kami kini berjauhan
Tak bisa lagi bercerita bersama
Kami tak tahu dan kamu pun tak tahu
Namun kamu pasti tahu kita tak bersama lagi kini

Kami berdoa untuk perjalananmu
Kami berharap kau mendoakan kami
Semoga engkau duduk bersama Dia
Melihat dan mendoakan kami di sini

*Puisi untuk Pastor Pasquale Ferraro, SX

Prm, 5/5/14
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana

foto ilustrasi oleh  Paromita Deb Areng
Judul ini mungkin bombastis, keterlaluan. Tetapi baik jika disimak. Masa depan bangsa tak lain adalah anak-anak bangsa sendiri. Hari-hari ini di media muncul berita terkait anak-anak bangsa. Kekerasan seksual dengan berbagai bentuk dan waktu terjadinya. Mencuat satu kasus lalu muncul ekor yang lainnya. 

Masa depan bangsa memang terkait dengan anak-anak bangsa. Anak-anak bangsa adalah aset bangsa. Apa jadinya jika aset ini dirusak? Tentu masa depan bangsa terancam. Sebagaimana para pengusaha memelihara asset usahanya demikianlah bangsa harus memelihara asetnya sendiri.

Aset yang rusak menunjukkan bangsa ini rapuh dalam menjaga asetnya. Anak-anak telanjur dirusak. Apa jadinya masa depan bangsa ini?

Kasus kekerasan seperti diberitakan media hanyalah salah satu model perusakkan aset bangsa. Banyak model lain yang dialami anak bangsa sendiri. Dan ini hanya aset berupa anak-anak bangsa. Jika dihitung lagi dengan aset lainnya tambah banyak.

Menjaga aset inilah tugas bangsa ini. Namun tugas ini kadang tidak dikerjakan dengan baik. Kasus di atas menunjukkan buktinya. Bangsa ini kurang serius menjaga asetnya. Ini pertanda ada kemunduran dalam menjaga masa depan bangsa.

Namanya masa depan tetapi persiapannya sejak masa sekarang. Maka, jangan mengulur waktu jika mau menyelamatkan masa depan bangsa. Mulai sekarang. Jangan menunggu dan menunda. Sebutan masa depan mungkin juga membuat kita selalu berpikir itu kan masih jauh ke depan. Tidak! Masa depan itu adalah hasil dari masa sekarang. Dan bukan masa yang kita tunggu dengan berpangku tangan.

Maka, marilah pemangku dan masyarakat bangsa bersama-sama menyelamatkan aset bangsa ini. Jika tidak, keselamatan kita sebagai bangsa juga akan terancam.

Iseng-iseng setelah menengok perkembangan situasi negeri tercinta, Indonesia

Prm, 9/5/14
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana

foto ilustrasi oleh  hornedkid
Dunia politik selalu menarik untuk diperbincangkan. Memang politik itu menarik. Bukan saja bagi pengamat politik, para politikus, pengajar politik, tapi juga bagi masyarakat biasa, tukang parkir, kaum awam politik, pemasak, dan profesi lainnya. Politik terus dibicarakan dan selalu hangat untuk diperbincangkan. Kala duduk menunggu bus kota, kadang-kadang sulit membuka perbincangan dengan sesama calon penumpang. Coba saja sesekali menyinggung soal politik bukan tidak mungkin perbincangan akan terjadi. 

Bicara soal politik berarti bicara soal banyak hal. Tidak seperti bicara tentang topik tertentu, cakupan politik amat luas. Itulah sebabnya siapa pun bisa bicara soal politik. Waktu masih kecil saya sering mendengar perbincangan tetua masyarakat tentang politik. Mereka juga rupanya bicara soal politik. Saya heran kok bisa yah mereka bicara tentang politik?

Politik bukanlah bidang asing bagi masyarakat. Media sosial seperti TV dan koran selalu menjual isu politik sebagai menu hariannya. Juga perbincangan di ruang tunggu rumah sakit, terminal bus, stasiun kereta, ruang tunggu bandara, lobi hotel, dan tempat umum lainnya.

Di negara maju atau di kota yang nyaman politik diperbincangkan juga di taman kota atau meja bar. Mereka menikmati minuman dan makanan ringan sambil bicara soal politik. Mereka sengaja bertemu di sini hanya untuk menelusuri dunia politik.

Dunia politik adalah dunia yang luas. Itulah sebabnya juga menelusuri dunia politik bukanlah hal yang mudah. Pengamat politik mengaitkan dunia politik dengan teori politik. Politikus mengaitkan politik dengan kinerja praktis. Demikian juga dengan komentar politik lainnya. Setiap orang menafsirkan dunia politik sesuai minatnya. Maka, politik bukan lagi bidang yang khusus tetapi bidang yang luas.

Saking luasnya politik menjadi bidang yang sulit ditelusuri. Bahkan kalau pun ditelusuri hanya sebagiannya saja. Politik juga selalu berubah. Hari ini begini besok menjadi begitu. Dunia politik menjadi dunia yang labil. Itulah sebabnya dunia politik kadang dengan mudahnya membongkar sistem ekonomi, sosial, dan keamanan suatu negara. Dari bidang ini bisa juga menghambat ke bidang lainnya seperti pendidikan dan olahraga.

Kala dunia pendidikan dijiwai atau dirasuki dunia politik, saat itulah dunia pendidikan menjadi hancur. Mungkin dunia pendidikan Indonesia juga dirasuki dunia politik sehingga tidak maju-maju. Pengamat luar negeri kadang melihat dunia pendidikan Indonesia sebagai dunia yang maju-mundur dan tidak pernah akan maju. Dunia pendidikan Indonesia selalu labil, mudah diubah-ubah. Oleh karena itu dunia pendidikan Indonesia tidak maju-maju. Boleh saja siswanya pintar tetapi pada akhirnya kalau mau terus maju lanjutkan ke luar negeri dan bahkan kerja di luar negeri.

Politik juga bisa membelah masyarakat-membuat dua kekuatan yang berbalikan. Dunia olahraga seperti sepak bola misalnya selalu berada di antara maju dan mundur. Bahkan dalam sejarahnya ada dua kompetisi yang berbeda.

Meski bisa membelah, politik sebenarnya bisa menyatukan. Di negara tertentu politik menjadi senjata untuk menyatukan. Dalam politik bisa saja ada perbedaan pandangan dan opini. Ini lumrah dan perlu. Namun dalam pandangan ke luar (negeri) mereka selalu menyuarakan suara bulat. Suara mereka hanya satu. Politik luar negeri mereka jelas. Tidak mendua.

Pada akhirnya, politik selalu menjadi bidang yang sulit ditelusuri sekaligus menjadi dunia yang mudah diperbincangkan.

Prm, 10/5/14
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana

foto ilustrasi dari internet
Pepatah memberi makna tersendiri dalam dunia bahasa. Bahasa yang kaya pepatah adalah bahasa yang kaya makna. Pepatah bahkan bukan saja permainan kata tetapi menyentuh dunia nyata. Bahasa memang mesti menyentuh dunia nyata.

Baru saja teringat pepatah, jauh di mata dekat di hati. Bisa ditebak ini adalah pepatah tentang cinta. Cinta antara dua insan yang berjauhan. Memang benar. Saya baru saja menyampaikan pepatah ini pada teman saya yang sedang berjauhan dengan kekasihnya. Berjauhan tempat tinggal dan bukan berjauhan lalu memutus hubungan. 

Jauh di mata dan dekat di hati bukan saja pepatah tentang cinta. Pepatah ini bisa bermakna harapan. Inilah yang juga disampaikan seorang teman saya. Dia sedang berjauhan dengan sahabatnya dan ingin sekali bertemu meski hanya sebentar. Katanya, sudah lama mereka berpisah. Saat di SD saja mereka dekat. Setelahnya masing-masing mengambil jalan sendiri. Baru bertemu lagi dunia maya.

“Semoga liburan tahun ini mempertemukan kami,” gumamnya saat ditanya apa maunya. Kata-kata ini adalah kata-kata harapan. Mereka belum bertemu tapi sudah menaruh harapan. Bisa saja mereka bertemu namun bisa juga tidak. Tapi, satu hal sudah mereka buat, rencana untuk bermtemu. Rencana di atas harapan.

Harapan memang mesti dikumandangkan lebih dulu. Bagi penyuka real madrid, harapan untuk menang boleh dan bahkan harus dilayangkan meski saat tulisan ini dibuat atletico madrid masih unggul. Demikian juga bagi penyuka klub atletico madrid, harapan untuk memang boleh dan harus diungkapkan sekarang saat posisi mereka unggul atas real madrid.

Saat ini boleh-boleh saja mengagungkan jagoan. Sah-sah bukan? Tanpa merugikan jagoan lain. Kita mengangungkan jago bukan untuk menjatuhkan jagoan lainnya tapi sekadar menomor-satukan jagoan kita. Sekali lagi, bukan meremehkan jagoan lain.

Sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pemilihan presiden. Kita sejak sekarang boleh mengagungkan jagoan kita. Bahkan harus memberi harapan pada pasangan yang kita anggap pas untuk presiden. Tapi, itu dilakukan tanpa menjelekkan pasangan lain yang bukan jagoan kita. Kita tetap menghormati baik pasangan Jokowi-Jusuf maupun Prabowo-Hatta.

Siapa pun yang memang, itulah presiden kita. Kita hanya memberi harapan saat proses menuju pemilihan. Harapan itu juga yang kita yakini saat menonton Real Madrid melawan Atletico Madrid. Sebentar lagi, kita akan tahu, siapa pemenangnya. Jadikan mereka yang menang sebagai bagian dari harapan kita. Jauh di mata dekat di hati.

Prm, 25/5/14
Gordi

*Dimuat di blog kompasiana pada 25 Mei 2014

foto ilustrasi oleh annamatic3000
Malam ini atau pagi ini di belahan sebelah duni, orang Brasil bergembira ria. Mereka menginginkan tim mereka menang. Dan memang, Brasil menang melawan Cile dengan skor 3-2. Kemenangan ini menjadi impian warga Brasil dan warga dunia pendukung Brasil. Sudah lama mereka mengimpikan ini.

Seorang teman saya dari Brasil sejak tadi sore menginginkan kemenangan ini. Dia yakin Brasil akan menang. Tadi sore pun dia sudah mengajak saya merayakan kemenangan ini dengan makan es krim. Apakah tidak salah jika makan es lebih dulu ketimbang melihat pertandingannya? Dia rupanya sudah memutuskan bahwa Brasil akan menang. Sayang, saya tidak bisa pergi. Dan, dia pun akhirnya tidak jadi pergi.

Malam hari, kami sama-sama menonton pertandingan. Babak pertama masih imbang. Lalu, kami makan. Teman saya ini rela tidak makan bersama dan menonton pertandingan. Saya juga menonton setelah selesai makan malam. Kami menyaksikan bersama menit-menit terakhir saat adu pinalti. Brasil menang.

Teman saya ini mengajak saya dan dua teman lainnya pergi makan es krim sebagai perayaan kemenangan. Wahhhh uenak. Bukan saja enak, tapi, kami juga ikut bersamanya bergembira atas kemenangan ini. Orang Brasil di luar Brasil saja bergembira seperti ini. Apalagi, mereka yang menyaksikan secara langsung pertandingan ini di Brasil. Bravo Brasil, salam sukses.

Prm, 28/06/14

Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 29 Juni 2014

foto illustrasi dari internet
Akhir-akhir ini agama sering menjadi alasan—bagi orang tertentu—untuk membenarkan tindakannya. Kalau tindakan itu baik dan tidak merugikan yang lain, tidak masalah. Namun, jika tindakan itu justru mengkhianati yang lain bahkan sampai menghilangkan nyawa, itu menjadi masalah. Lantas, timbul kesan dan persepsi orang tentang sebuah agama dari tindakan seorang yang membenarkan tindakan brutalnya. 

Di kampus kami, ada satu mata kuliah yang membahas tentang toleransi agama. Tepatnya, membahas masalah yang berkaitan dengan relasi antar-agama. Lepas dari agama yang diakui pemerintah atau tidak. Pokoknya, relasi antar-agama. Dalam salah satu sesi kuliah, kami ditugaskan untuk mewawancarai penganut agama lain. Dari situ, kami diharapkan mampu memahami agama lain dari penganutnya. Bukan dari buku yang kami pelajari atau dari cerita, persepsi, dan tanggapan orang tentang sebuah agama. 

Saya tertarik dengan sesi ini. Ketika hendak mewawancarai, hati ini berdebar. Ada pertanyaan bergejolak, benar nggak ya, kalau saya memintanya mengajarkan agamanya kepada saya. Jangan-jangan salah. Saya buang jauh-jauh, pikiran itu dan melangkah menghadap orang yang akan saya wawancarai. Memang ada penolakan dari orang yang akan saya wawancarai. Dia menolak karena dia bukan ahli agama(nya). Latar belakangnya bukan pendidikan agama. Namun, dia mau diwawancarai ketika saya mengatakan, kami mau memahami agama bapak dari penjelasan bapak. Dan, bukan dari buku yang bias kami baca. Bapak itu lalu bersedia diwawancarai.

Penjelasan bapak tentang agamanya sungguh mengesankan. Dia menjelaskan sesuai dengan praktik hidup keagamaannya selama ini. Dia pun mengakui kalau itu kadang-kadang belum lengkap sebab dia tidak menguasai semuanya. “Mohon maaf ya dik, penjelasan saya ini boleh dibilang hanya sebagian saja dari ajaran agama saya,” katanya. Saya kira ini pengakuan jujur seorang bapak terhadap orang lain. Kata-katanya menggambarkan sikap kerendahatiannya. Selain itu, saya menjadi tahu bahwa, pandangan orang tentang agama tertentu kadang-kadang tidak sesuai kenyataan. Kalau orang ngotot pada pandagan itu, bisa jadi itu akan menjadi prasangka.

Sebagian dari kita masih ingat kasus pembakaran buku pada zaman orde baru. Seorang wartawan mewawancarai seorang bapak yang ikut dalam aksi mendukung pembakaran buku. Dia ternganga ketika wartawan menanyakan alasan membakar buku itu. Ternyata dia belum membaca buku itu. Tetapi aneh bin ajaib, dia mendukung acara pembakaran buku. Boleh jadi dia hanya ikut-ikutan saja dan mungkin hanya bermodalkan prasangka kalau buku itu tidak baik isinya sehingga perlu dibakar.

Pandangan sebagian orang tentang agama kadang-kadang hanya berupa prasangka. Dan bermodalkan prasangka, orang menuduh penganut agama lain begini-begitu. Padahal dia tidak tahu situasi sebenarnya. Alangkah baik kalau prasangka itu disimpan saja dan tidak perlu dikeluarkan sebelum mengetahui situasi sebenarnya. Bisa jadi prasangka itu muncul setelah melihat kulit luar saja dari sebuah komunitas agama. Maka, alangkah baik dan menyenangkan, jika para penganut agama, berkumpul, berdialog, membicarakan hal-hal penting yang terjadi dengan agamanya.

Memahami agama lain tidak cukup dengan membaca buku tentang agama tersebut. Yang lebih berarti adalah belajar langsung dari penganutnya. Dengan itu, pandangan yang tersimpan dalam pikiran kita merupakan hasil interaksi dengan penganut agama tersebut dan bukan dari persepsi orang tentang agama tersebut. Inilah dialog kehidupan beragama. Dialog yang hidup ini menjauhkan prasangka buruk tentang agama tertentu. Mari berdialog, kita ini hidup di bawah selimut Bhineka Tunggal Ika. Majulah bangsaku Indonesia.

Cempaka Putih, 16 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL SEBELUMNYA BACA DI SINI 

ARTIKEL LAIN TENTANG DIALOG ANTARAGAMA BACA DI SINI DI SINI DAN DI SINI

foto ilustrasi oleh uplinkindonesia
Seorang nenek berbaring di tempat tidurnya. Siang itu ia sedang tertidur. Tempat tidurnya berupa sebuah spon bekas yang cukup tebal. Spon itu diletakkan di atas tenda setinggi lutut orang dewasa. Di samping tempat tidur, ada anaknya, sedang berbincang dengan suaminya. Mereka tersenyum menyambut kedatangan saya dan seorang teman. 

Boleh jadi, senyum itu pertanda mereka gembira. Kegembiraan bagi mereka muncul ketika ada yang berkunjungi ke situ. Lebih dari situ, mereka gembira karena kami membawa sekotak nasi untuk sang nenek. Ini kali pertama bagi saya mengantarkan makanan ke situ. Namun, mereka tahu, kami datang dari rumah yang menyumbang sedikit rezeki untuk sang nenek.

Mereka tentu mengalami kesulitan ekonomi. Perbincangan siang itu terjadi di bawah kolong tol, tepatnya di bilangan Jakarta Utara. Mereka tak memiliki rumah. Mereka hanya berlindung di bawah kolong tol. Inilah tempat yang nyaman bagi mereka. Gubuk-gubuk berdiri berderetan. Ada yang berdinding tripleks, ada pula yang sama sekali tak berdinding. Bagi mereka, merupakan sebuah keberuntungan mendapat hunian di bawah tol. Tak perlu repot mendirikan rumah. Tak perlu sulit mencari lahan.

Tampaknya, kehidupan di situ memang nyaman. Mereka bisa berlindung ketika hujan. Inilah salah satu kenyamanan menurut mereka. Kenyamanan yang tentu berbeda dengan bayangan banyak orang kota Jakarta. Meski nyaman, sesekali mereka juga bisa terancam banjir. Permukaan tanah di situ tidak lebih tinggi dari tanah di sekitar. Kalau hujan, boleh jadi air mengalir ke situ.

Pemandangan yang tak kalah kurang nyaman adalah tumpukan sampah di samping gubuk mereka. Kolong tol ini rupanya menjadi tempat serba guna. Tempat ini menjadi hunian manusia dan hunian sampah. Di samping gubuk nenek tadi, ada gundukan sampah. Kalau diangkut sampah itu bisa memenuhi 2-3 mobil. Bahkan, sebelum sampai ke gubuk itu, kami harus melewati jalanan bergelombang. Jalan itu terbentuk di atas tumpahan sampah.

Pemandangan ini berlawanan dengan pemandangan di atas tol. Di atas tol ada manusia yang lalu-lalang dengan mobilnya. Mereka ini menggunakan jalan bebas-hambatan ini untuk memperlancar aktivitas. Mereka membayar sejumlah uang agar mereka bisa menggunakan jaln ini. Singkatnya, jalan ini hanya dilalui oleh orang yang mempunyai sejumlah uang.

Sementara di bawahnya, ada manusia yang tinggal di gubuk sederhana di antara gundukan sampah. Mereka ini tidak mempunyai sejumlah uang untuk mendirikan rumah. Lantas, gubuklah yang mereka dirikan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bertahan di tempat itu. Mereka rela menikmati pemandangan dan suasana yang ada dengan segala konsekuensinya.

Saya teringat kata-kata seorang dosen. “Kalau mau melihat Jakarta secara umum, naiklah jalan tol dalam kota. Anda akan mendapat gambaran kota Jakarta dengan pemandangannya. Namun, kalau mau melihat Jakarta dengan situasi sosialnya, naiklah angkutan umum dan kereta api. Anda akan tahu, seperti apa kehidupan warga Jakarta.” Dan, saya menganjurkan, kalau pembaca mau melihat salah satu model penderitaan warga Jakarta, kunjungilah gubuk-gubuk di bawah tol ibu kota. Anda akan melihat kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang dialami warga perumahan mewah di Jakarta.

Cempaka Putih, 27 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL TERKAIT DI SINI

foto ilustrasi oleh Fajrin Rahardjo
Bangsa Indonesia menempatkan 10 November sebagai hari pahlawan. Setiap tahun ada perayaan pada tanggal tersebut. Ada yang berupa perayaan sederhana, ada juga yang meriah. Di balik perayaan itu muncul banyak pembicaraan. Di harian KOMPAS 10/11/2011 dikisahkan tentang rumah tempat lahir Soedirman (ejaan asli). Soedirman adalah pahlawan kemerdekaan. Ia lahir di Purbalingga pada 24/1/1916 dan meninggal diMagelang pada 29/1/1950

Dalam kisah itu, diceritakan bahwa rumah Soedirman yang kini menjadi museum sepi pengunjung. Seorang penjaganya mengatakan, yang rutin datang ke tempat ini adalah para prawira TNI dan sekelompok mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman, Purbalinga. Karena itu, perawatan terhadap museum ini pun minim.

Saya menduga di balik alasan ini, ada pengurangan dana perawatan. Kalau dana itu bergantung pada pemasukan museum maka alasan ini tepat. Namun, jika pemda ataupempusat mengalokasikan dana khusus maka alsan ini tidak tepat. Perawatan museum juga tidak tergantung pada banyak-tidaknya pengunjung. Museum mesti terawat dengan baik.

Mengunjungi rumah pahlawan seperti ini boleh dibilang sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Ini hanya salah satu bentuk. Ada bentuk lain seperti mengunjungi makamnya, mengenangnya dengan menceritakan kepada generasi penerus, atau juga membuat tulisan tentang pahlawan itu.

Selain kisah ini, ada juga gonjang-ganjing lain seputar hari pahlawan. Ada yang pesimis tentang keberadaan pahlawan di masa kini. Ada yang takut menjadi pahlawan. Ada pula yang kurang berminat membicarakan hal seputar pahlawan di zaman sekarang. Ada yang berkomentar pahlawan hanya ada di zaman dulu sebagai pembela bangsa. Sekarang sudah tidak ada lagi. Apalagi sekarang sangat langka sosok seorang pahlawan. Gonjang-ganjing ini muncul dengan berbagai latar belakangnya.

Pahlawan adalah orang yang berjasa bagi bangsa. Kalau definisi ini dipegang, maka semua orang bias menjadi pahlawan. Semua orang bias berjasa bagi bangsa. Lepas dari besar-kecilnya jasa itu. Ada macam-macam jasa untuk bangsa. Menjadi atlet diSea Games, menjadi duta bangsa di luar negeri untuk mempromosikan wisata Indonesia, menjadi wakil Indonesia dalam debat internasional antara mahasiswa se dunia, menjadi wakil Indonesia dalam perlombaan internasional, menjadi TKI di luar negeri, menjadi dokter, guru, pembersih jalanan, pengusaha yang memajukan rakyat, dan sebagainya. Kalau demikian sudah banyak yang menjadi pahlawan. Dengan demikian menjadi pahlawan itu tidak ditentukan oleh zaman. Dulu, sekarang, dan nanti, kita bisa menjadi pahlwan.

Soal diakui menjadi pahlawan atau tidak itu soal lain. Pengakuan itu hanya bentuk apresiasi. Apreasi memang perlu tapi tanpa apreasi pun pekerjaaan tetap berjalan. Lagi pula pengakuan itu hanya sebuah bentuk pengakuan yang diberikan oleh pemerintah. Masih banyak orang yang memberi pengakuan atas tiap pekerjaan.

Apalagi kalau gelar itu diperoleh dengan mengeluarkan biaya tertentu atau megajukan persyratan yang rumit. Kita berkaca pada guru-guru kita di Indonesia yang dikenal dengan sebutan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Kita semua adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, kalau ada yang mau menghormati dan mengenang jasa kita dengan member gelar pahlawan kita ucapkan terima kasih. Selamat hari pahlawan.

Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri

Powered by Blogger.