Halloween party ideas 2015

Hari ini di Bolivia, Besok di Indonesia

Penduduk asli Pacahuara, Bolivia, FOTO: angriwhitekid.blogs.com

Kematian sebuah bahasa mirip dengan kematian manusia. Kadang-kadang, tidak ada yang bisa diprediksi. Seperti kematian manusia, kematian sebuah bahasa kadang-kadang menjadi misteri.

Meski menjadi misteri, kematian bahasa sebenarnya masih bisa diantisipasi. Bahasa—tidak seperti manusia—yang punya dokter khusus. Tidak juga seperti hewan yang punya tenaga medis untuk mengecek keadaannya. Bahasa ada karena manusia ada. Maka, bahasa mesti ada dan hidup sebagaimana penuturnya (manusia) hidup. Dengan cara pandang ini, kematian sebuah bahasa—meski tidak punya dokter untuk mengontrolnya—tetap bisa diantisipasi. Bahasa tidak mesti mati begitu saja.

Di Bolivia, ada sebuah bahasa yang hampir mati. Penuturnya sisa 4 orang. Yang terakhir meninggal akhir tahun lalu. Saat ini, hanya mereka berempat yang menjadi penutur bahasa langka ini. Bahasa ini disebut Bahasa Pacahuara karena lahir dan hidup di sebuah suku asli di Pacahuara, di wilayah Amazzonia, Bolivia. Keempat penutur ini sekarang tinggal di daerah Tujure, sebuah daerah adat di wilayah Pacahuara.

Dua dari penutur ini sekarang sudah tua. Keduanya (Maro e Buca)—bersama cucu mereka Bose dan shacu—hadir dalam perayaan misa requiem dari saudara mereka Baji setelah tahun baru yang lalu. Kematian Baji sekaligus menjadi alarm bagi kehidupan Bahasa Pacahuara. Saat itu, keempat penutur ini memang hadir. Mereka menjadi sebuah komunitas pengguna bahasa Pacahuara.
 
Beberapa warga Pacahuara dalam liputan BBC tahun 2013 yang lalu, FOTO: bbc.com
Daerah Tujure sendiri makin hari makin sepi. Banyak penghuni meninggalkan daerah ini. Keluarga Maro dan Buca adalah keluarga terakhir yang masih setia tinggal dan menggunakan Bahasa Pacahuara. Boleh dibilang, harta warisan kultural ini tetap ada dan hidup saat ini karena jasa mereka. Entah sampai kapan bahasa ini dipertahankan. Kehidupan bahasa ini berada dalam tangan mereka. Jika mereka semuanya tidak ada, bahasa ini juga akan lenyap. Tetapi, semoga ada anak-cucu mereka yang melanjutkan bahasa ini.

Sekitar 11 tahun lalu, dosen Bahasa Indonesia kami di kota Yogyakarta pernah menyinggung soal ini. Kata dia waktu itu, di Indonesia juga ada gejala seperti ini. Beberapa bahasa di daerah Papua—lanjutnya—akan punah seiring dengan pengurangan penuturnya. Papua sampai saat ini kaya akan bahasa daerah. Sayang, beberap dari yang banyak ini memiliki penghuni kurang dari 500 orang. Saat itu—menurut dosen kami—ada kriteria dari Unesco-PBB bahwa bahasa yang penuturnya hanya 500 orang ke bawah akan dikategorikan sebagai bahasa mati. Dengan kriteria ini—kata pak dosen—beberapa dari bahasa di Papua akan punah.

Jika kriteria ini diterapkan pada Bahasa Pacahuara, otomatis bahasa ini sudah mati. Bolehlah dibilang demikian. Dan, nyatanya kematian bahasa ini sudah diambang pintu. Memang masih menjadi misteri. Seperti misteri dari sebuah kematian dari seorang manusia.

Kematian bahasa ini ada di tangan keluarga Ibu Baji. Ibu Baji sudah meninggal, keempat keluarganya sebagai penutur utama menjadi penentu utama kehidupan bahasa ini. Keluarga almarhumah Baji termasuk kuat. Mereka adalah keluarga terakhir—boleh dibilang demikian—yang hidup di daerah Tujure.

Daerah Tujure abad ke-8 yang lalu masih dihuni oleh sekitar 50.000 orang. Saat itu, pekerjaan mereka adalah berburu di hutan, pelaut, dan petani buah. Ini adalah beberapa pekerjaan utama dari kelompok suku tua di daerah ini.
 
Salah satu model gerbang masuk di kawasan Pacahuara, FOTO: connectas.org
Pekerjaan ini mereka tinggalkan dan pengaruhnya mulai luntur saat tiba kebiasaan baru yakni menjadi petani karet. Daerah ini menjadi penghasil karet yang besar. Malangnya, para penduduk Tujure pun menjadi tamu di atas tanah mereka. Perusahaan multinasional dari Inggris dan Jerman datang menyerbu tanah mereka. Dalam waktu yang singkat, penduduk Tujure pun meninggalkan daerah mereka.

Perusahaan ini bukan saja ‘mengusir’ penduduk Tujure. Mereka juga menggali tanah dan membiarkannya menganga tanpa pohon, tampak tandus tak bertumbuhan, membuat petak-petak kecil untuk menghalang penduduk asli bekerja di atas lahan itu. Pemandangan ini sungguh tanpa kehidupan. Tanah yang subur dibiarkan mati. Tidak ada kehidupan di sana. Situasi ini membuat penduduk Tujure pergi meninggalkan tanah leluhur mereka. Dalam sekejap, dari abad ke-8 ke abad ke-9, penghuninya berkurang menjadi satu keluarga saja dengan 9 anggota keluarga.

Keluarga ini adalah keluarga Ibu Baji. Saat ini, dari 9 menjadi 4 orang saja. Keluarga ini sebenarnya menjadi penerus atau ahli waris bukan saja dari Bahasa Pacahuara, tetapi juga budaya dan adat istiadat Pacahuara. Sayang, seperti nasib bahasa mereka, budaya dan adat istiadat pun akan hilang. Kematian bahasa kini sekaligus juga menjadi ancaman bahkan menjadi kematian dari budaya dan adat istiadat itu sendiri.

Bersama bahasa Pacahuara, keberadaan dialek dan bahasa kecil lainnya di daerah Amazzonia pun akan terancam. Dalam 10 tahun terakhir ini, sekitar 100 dialek asli Ammazzonia punah. Dialek ini punah bersamaan dengan terancamnya kehidupan dari suku asli. Mereka ‘terusir’ dari tanah leluhurnya oleh perusahaan multinasional yang mengeruk kekayaan alam mereka. Hutan Amazzonia dengan kekayaan emas, batu alam, kayu, dan sumber alam lainnya menjadi rebutan para perusahaan multinasional. Sayang perebutan ini pun berujung pada ‘pengusiran warga lokal’.

Makin malang bagi penduduk lokal karena kebijaksaan lokal juga ikut punah. Selain Bahasa Pacahuara, bahasa Resignaro juga mengalami nasib sama. Bahasa ini pamit lebih dulu dengan kematian penutur terakhirnya yakni Rosa Andrade dari Peru. Nasib 51 bahasa lokal lainnya juga akan terancam. Boleh jadi akan menjadi seperti bahasa Resignaro. Sungguh sayang, bahasa—budaya—adat istiadat—dan kebijaksaan warisan mereka akan punah. Padahal, ini adalah warisan sejarah yang berharga.
 
Salah satu model budaya Pacahuara dalam gambar, FOTO:soldepando.com
UNESCO sebagai promotor perlindungan warisan budaya dunia tidak tinggal diam melihat kenyataan ini. Lembaga ini membuka mata dan membuat penelitian serius. Hasilnya sungguh mengangetkan. Dalam 10 tahun terakhir, 100 bahasa di dunia punah, 400 lainnya sudah terancam akan punah, 51 lainnya hanya digunakan atau diketahui oleh 1 orang saja.

UNESCO juga membuat prospek ke depan. Katanya, pada abad ini (abad ke-21) boleh jadi akan hilang sekitar 7000 dialek di bumi ini atau sekitar 1 dialek dalam setiap 15 hari. Kenyataan ini menjadi sungguh memilukan bagi kelangsungan hidup bahasa dan budaya di dunia. Bahasa dan budaya dari sebuah masyarakat hilang begitu saja. Ini bisa meresahkan bagi pecinta bahasa di seluruh dunia.

Keresahan ini membuat banyak pecinta bahasa bangun dari tidur nyenyaknya. Mereka berusaha agar kematian bahasa dan budaya ini tidak berlangsung cepat. Satu dari pecinta bahasa ini adalah University of Pennsylvania di Amerika Serikat. Universitas ini melalui lembaga penelitiannya Enduring Voices berusaha untuk menyelamatkan beberapa kata dari bahasa-bahasa yang akan punah. Lebih banyak kata akan lebih bagus. Sampai saat ini, mereka sudah menyelamatkan 32.000 kata beserta maknanya. Jika diteruskan, pekerjaan ini juga akan menjadi sebuah kesuksesan besar.

Jika University of Pennsylvania di AS sudah bangun, bagaimana dengan Indonesia? Andai para pendemo, ramai-ramai ke daerah terpencil dan mengumpulkan kata-kata dari bahasa-bahasa yang akan punah di Indonesia, sampai kini, bahasa-bahasa itu pun terselamatkan. Lumayan untuk memperlambat kematian sebuah bahasa. Tetapi, ini hanya angan-angan sebab para pendemo lebih suka menghabiskan waktunya bukan untuk bekerja demi bangsa tetapi demi keegoisan mereka. Indonesia memang beda.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

SELAMAT TAHUN BARU.

PRM, 10/1/2017
Gordi

*Dari publikasi pertama di blog kompasiana


Post a Comment

Powered by Blogger.