Halloween party ideas 2015
Showing posts with label FILSAFAT. Show all posts


Berdebat, berdebat, dan berdebat
Setiap hari ada perdebatan
Akarnya satu
Tak mau kalah

Maunya menang
Orang lain yang salah
Bukan aku
Pokoknya kamu

Bangsa yang maju
Adalah bangsa yang mau mengalah
Mengalah untuk menang
Mengalah untuk maju

Dia kalah
Tetapi dia belajar
Ada hikmah penting
Dari kekalahan

Lain dengan bangsa kita
Maunya berdebat terus
Tak mau kalah
Tak mau belajar dari kekalahan

Di koran
Di televisi
Di radio
Di web

Selalu ada debat
Kapan kerjanya
Tak ada untung
Kalau hanya berdebat

Berdiam sejenak
Kembali ke rutinitas kerja
Yakinlah
Tak ada yang berdebat

Waktu hanya untuk bekerja
Fokus pada bagian itu
Ada saatnya istirahat
Tapi bukan untuk berdebat

Berdebatlah demi kemajuan
Berdebat hanya sebentar saja
Ujungnya mesti rela
Untuk mengalah demi kebaikan bersama

PA, 21/2/13

Gordi


Pernah mendengar suara katak? Saya yang lahir dan hidup di kampung sudah biasa mendengar suara katak. Musim hujan menjadi musim suara katak. Telinga saya juga tidak asing dengan bunyi katak.

Beberapa tahun terkahir saya tidak emndengar suara katak lagi. Saya pindah ke kota dan tinggal jauh dari kampung halaman. Tidak ada katak meski hujan. Suara itu pun jadi asing di telinga.

Saya tinggal di kota Yogyakarta selama beberapa bulan belakangan. Kebetulan rumah kami agak luas. Ada selokan yang cukup panjang dan bersih. Nah, di sinilah saya menemukan katak. Suaranya keluar dari sini.

Sejak saya tiba di kota ini, beberapa kali saya mendengar suara katak. Bunyi itu khas dan musiman. Muncul saat musim hujan. Ketika hujan reda, suara katak mulai terdengar. Yang paling ramainya keluar dari sekitar selokan.

Saya tidak hanya mendengar tetapi melihat. Beberapa kali, sambil menutup pintu gerbang rumah, saya mengintip sumber suara. Saya melihat ada katak menempel di pinggir selokan. Dari situlah muncul suara itu. Ternyata bunyinya merdu. Tidak ada yang merebut bersuara. Jangan heran jika bunyinya saling bersahutan. Saya mendengar sahutan ini meski kadang-kadang memekakkan telinga.

Andai manusia bisa belajar dari suara katak, betapa indah hidup ini. Katak tidak merebut. Dia punya kuasa untuk bersuara. Dia juga punya hak untuk menunjukkan suaranya. Namun, mereka bersuara dengan teratur. Tidak saling rebut. Malah, saling bersahutan.

Saya membayangkan bunyi katak ini seperti irama tarian anak-anak Sekolah Dasar yang rapi dan indah dipandang. Bisakah manusia zaman modern ini seperti itu? Belajar dari sang katak, hidup untuk saling mendengar dan mengikuti dan tidak saling mendahului, saling merebut.

PA, 19/3/13

Gordi

Siang tadi, saya bincang-bincang dengan seorang sahabat. Dia sedang menanam rumput. Dia menamam di tanah yang sudah digembur. Tanah itu pun lembut dan mudah dicangkul.

Tanah itu sebelumnya penuh dengan rumput liar. Rumput yang mengganggu rumputnya. Rumput pengganggu inilah yang dibasmi sebelumnya. Kelak, rumput yang ditanam ini tampak hijau dan tidak diganggu oleh rumput lain.

Katanya, kalau ada rumput pengganggu, rumput yang ditanam itu akan mati. Selain karena rumput pengganggu, ada juga ulat tanah berwarna putih. Makhluk inilah yang memakan akar rumput.

Pekerjaan ini menuntut kesabaran. Kesabaran ternyata tidak mudah. Butuh usaha yang tekun. Tak henti, sahabat saya ini membasmi rumput liar dan ulat putih.

Demi kehidupan rumput, sahabat saya ini giat berjuang dengan sabar. Hidup memang butuh perjuangan. Tak jarang dalam perjuangan itu, timbul rasa putus asa dan kurang sabar. Tidak betah antri di jalan, di warung, di tempat belanja, dan sebagainya. Kesabaran ternyata butuh perjuangan. Dalam hidup mutlak ada kesabaran. Kalau tidak, hidup tidak bertahan lama, bak rumput yang akarnya dimakan ulat putih.

Salam sabar di sore ini.

PA, 1/5/13
Gordi


Hidup ini tidak mudah. Karena itu, perlu perjuangan. Dalam berjuang, kita berusaha sekuat tenaga. Segala jenis pekerjaan dicoba jika ada kesempatan. Ada yang pas. Ada pula yang tidak pas. Lantas, kita berhenti dan berjuang lagi. Perjuangan tanpa henti.

Kita perlu belajar dari tokek. Hewan yang berjalan merayap ini berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan magsanya. Dia berlari dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menangkap nyamuk dan laron. Kadang-kadang ia terjatuh dari dinding tembok saat menangkap nyamuk.

Kita tahu, nyamuk suka berdengung di tempat gelap. Saat lampu dimatikan, nyamuk mulai beraksi. Nyanyiannya mengganggu istirahat kita. Dalam gelap pula, tokek berusaha menangkap keberadaan nyamuk. Dia menggunakan indra pendengarannya untuk melacak posisi nyamuk. Bukan usaha sia-sia jika tokek menangkap nyamuk di tempat gelap.

Beruntung jika tokek menagkap laron di tempat yang terang. Laron agak unik. Dia mendatangi sumber cahaya. Dia pun menghampiri balon lampu neon. Di situ dia menikmati cahaya dan pada waktunya akan jatuh. Sayapnya putus dari badannya. Saat itulah tokek melahapnya.

Perjuangan tokek ini menjadi pelajaran bagi manusia. Agar dapat makanan, mesti berjuang terlebih dahulu. Menggunakan segala daya yang ada. Tangan, kaki, otak, pikiran, bahkan termasuk indra pendengar.

Panca indra ini digunakan untuk menangkap peluang tempat kerja. Seperti tokek menangkap nyamuk di tempat gelap, manusia juga bisa bekerja sekalipun pekerjaan itu gelap baginya. Kirranya tak perlu menunggu lowongan yang sesuai dengan keahlian dan pendidikan yang diterima.

Salam tokek.

PA, 2/5/13

Gordi

Kasus korupsi belakangan ini makin ramai dibicarakan. Keramaian ini menguak beberapa pos korupsi. Pendidikan, olahraga, partai politik, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Pos-pos ini memang rawan penyelewengan. Karena rawan makin ramai saja kasusnya.

Ada yang keramaiannya hanya sebatas isu. Ada pula yang terbukti. Sampai di pengadilan. Pelakunya disidangkan. Pelaku juga menguak beberapa jaringan kerjanya. Dari sini muncul rantai panjang korupsi.

Keramaian ini seolah-olah menjadi panggilan. Panggilan untuk beramai-ramai mengorusi. Terbukti orang semakin berani menyelewengkan dana. Ada kekhawatiran berita korupsi makin ramai diperbincangkan, makin ramai pula muncul pelakunya.

Korupsi adalah tindakan rakus. Rakus uang, rakus harta, rakus kekayaan, rakus jabatan. Dari rakus ini muncul tindakan korupsi. Rakus ini juga menyeret sesama manusia. Asal saya mau, kamu bisa saya beli. Rakus nafsu.

Kerakusan memang menjadi salah satu sifat asali manusia. Kerakusan ada pada tiap manusia. Tidak ada manusia yang tidak pernah rakus. Kerakusan ini makin ganas jika pemiliknya memelihara. Sebaliknya jika cepat diatasi manusia bisa mengendalikan kerakusannya.

Mengendalikan sifat rakus memang tidak mudah. Butuh kesabaran, kerja keras, dan kemauan yang kuat. Tetapi dipastikan bahwa kerakusan itu bisa dikendalikan. Boleh jadi, pelaku korupsi tidak mau dan merasa diri tidak mampu mengendalikan kerakusannya.

Kerakusan bisa diatasi dari diri sendiri. Setiap orang punya potensi untuk memendam kerakusannya. Tinggal saja apakah orangnya mau atau tidak. Jika tidak kerakusan ini makin menjadi dan meraja lela. Di sinilah akan muncul tindakan korupsi.

Kita berharap manusia zaman ini tidak ada yang memelihara sifat rakusnya. Sifat ini menggerogoti segala sendi kehidupan. Bahkan sendi hidup bersama juga ikut tergerogoti. Makin tua makin rakus. Padahal idealnya makin tua makin hkuat mengendalikan kerakusannya.

Salam rakus

PA, 3/5/13
Gordi



Kita sering membuat janji. Kita juga sering mengingkar janji. Antara janji dan menepati janji ada perbedaan tipis. Karena tipisnya janji dan tidak tepat janji menjadi hal yang sulit dibedakan.

Saya membuat janji. Dan berjanji untuk menepatinya. Tetapi tiba-tiba ada halangan. Dan janji itu pun tidak ditepati.

Rekasi yang muncul biasanya marah. Seorang cewek marah karena cowoknya tidak jadi malam mingguan. Seorang cowok marah karena ceweknya tidak mengangkat teleponnya.

Reaksi yang muncul bukan saja marah. Setelah marah muncul prasangka. Ada apa dengan cewek dan cowokku ini? Mungkinkah dia dengan yang lain? Mungkinkah dia mau mendua hati? Prasangka yang muncul bermacam-macam.

Tak pernah tebersit dalam pikiran bahwa kalau janji tidak ditepati berarti ada sebabnya. Penyebabnya ini yang mestinya dicari sebelum memberi reaksi. Tetapi justru mencari penyebab inilah yang jarang dilakukan. Boro-boro mencari penyebab, nada emosional sudah muncul.

Kalau dipikir-pikir energi psikologis yang disalurkan dalam bentuk marah itu sebenarnya bisa dialirkan sebelumnya dalam aktivitas mencari alasan. Tentu ini butuh perjuangan. Sebab, emosional mudah tersulut. Rangsangannya bisa macam-macam. Sementara mencari adalah sebuah proses yang menuntut kesabaran.

Antara emosional dan kesabaran memang terbentang jurang yang dalam. Saking dalamnya, kedua sifat manusia ini sulit disatukan. Sulit digabungkan. Keduanya tetap menjadi hal yang bertolak belakang. Antara keduanya tetap ada jurang.

Meski jurangnya dalam, manusia toh bisa mengatasi jurang ini. Ibarat anak SD bermain outbound, berjalan di atas tali yang dibentangkan di atas jurang. Manusia bisa meredam prasangka dan mengalihkannya untuk mencari penyebab.

Kalau anak kecil bisa menjaga keseimbangan saat berjalan di atas tali, maka manusia sebenarnya bisa meredam emosional. Ini butuh kesediaan seluruh indera manusia. Paling tidak, otak dan perasaan harus dikendalikan. Dua indra ini berperan penting.

Jika tidak, prasangka akan meledak menjadi bom kehidupan bersama. Keluarga retak, salah satu di antara sekian penyebabnya, justru karena prasangka. Pasangan suami-istri gagal mengolah emosional menjadi tindak-sabar. Padahal ini semsetinya bisa dilakukan.

Tetapi, kalau mau lebih bagus lagi, janji-janji itu mesti ditepati, mesti dipenuhi. Jangan berjanji jika tak mampu menepatinya. Berjanjilah untuk menepati janji. Dan, jangan memberi harapan yang besar terhadap sebuah janji, jika itu belum dipastikan bisa dipenuhi.

PA, 26/5/13

Gordi

Manusia sering menuntut. Jika tidak terpenuhi tuntutannya semakin besar. Kasus tuntut menuntut sering dijumpai dalam hidup harian. Di pengadilan, dalam masyarakat, di sekolah, di rumah, di kantor, dan institusi lainnya. Menuntut dalam hal ini adalah wajar. Ya, kalau ada perjanjian maka akan ada tuntutan untuk pemenuhan janji itu.

Manusia bisa dikuasai oleh aksi menuntut. Seolah-olah menuntut lebih besar daripada manusia. Padahal manusialah yang menuntut. Manusialah yang menentukan sebuah kasus bisa dituntut. Jadi, sebenarnya keberadaan manusia lebih besar darisekadar menuntut. Menuntut hanyalah salah satu dari aksi manusia.

Menuntut lebih besar dari keberadaan manusia bisa dilihat dalam kasus pengadilan. Menuntut seorang janda miskin membayar denda sejumlah uang karena mencuri satu jenis buah-buahan. Janda yang miskin itu sama sekali tidak punya uang sebanyak yang dituntut. Tetapi, si penuntut tetap menuntut itu. Jika tidak, hukuman pun mesti dikenakan. Janda itu masuk sel karena tidak sanggup membayar.

Manusia bukan saja bisa dikuasai oleh aksi menuntut, manusia juga suka menuntut. Kasus A harus dituntut. Kasus B harus dituntut. Kasus C harus dituntut. Apa-apa menuntut. Seolah-olah tidak ada jalan keluar selain menuntut. Manusia mendewakan aksi menuntut. Menuntut menjadi seolah-olah dewa yang mesti dan harus dilakukan. Dan dari pendewaan, manusia juga diperbudak oleh aksi menuntut. Manusia lain yang jadi korban aksi menuntut menjadi budak dari si penuntut. Manusia memperbudak sesamanya sebagai manusia.

Inilah yang mendera masyarakat akhir-akhir ini. Dari mahasiswa, pekerja, dan kelompok masyarakat lainnya. Semua menuntut. Dan, tuntutan itu diarahkan pada objek tertentu. Yang lain kepada pemerintah, yang lain kepada atasan, yang lain kepada institusi tertentu. Dari sekian tuntutan ada yang maksudnya jelas, dan wajar, tetapi ada juga yang sekadar menuntut, tidak jelas tujuan tuntutannya apa. Yang seperti ini ibarat kerumunan. Dalam kerumunan, semua tampak seragam. Padahal di dalamnya tidak jelas, mengapa mereka berkerumun. Boleh jadi ikut-ikutan karena ada udangnya. Diiming-iming sejumlah duit, pasti kerumunan terbentuk.

Dari uraian ini bisa disimpulkan bahwa aksi menuntut itu kurang bagus. Benarkah demikian? Tentu tidak selalu. Menuntut—meski sesekali bisa menguasai manusia—tentu di satu sisi perlu. Kalau tidak ada tuntutan, keteraturan hidup bersama tidak terjadi. Semua pengguna jalan raya mesti dituntut untuk mengikuti aturan dan mengikuti arahan petugas lalu lintas. Di sini petugas wajib menuntut pengguna jalan. Dan, pengguna jalan wajib menuntut ketegasan petugas. Jadi, aksi menuntut tidak selamanya mengarah pada hal yang kurang baik.

Menuntut itu perlu tetapi tidak harus sampai berlebihan. Tuntutan wajar dan menjadi relevan jika objek yang dituntut mampu memenuhi tuntutan. Jika tidak, tidak perlu menuntut terlalu berlebihan. Anak kecil tidak mungkin dituntut untuk mengangkat beban 30 kg. Ini tidak sesuai kemampuannya.

Rakyat Indonesia sudah candu menuntut. Objek tuntutannya juga jelas, pemerintah. Ketika penyelanggaan UN tahun ini tidak lancar, masyarakat menuntut menteri pendidikan untuk bertanggung jawab. Ketika harga BBM tidak menentu dan penyalurannya tidak lancar, rakyat menuntut kejelasan pada pemerintah. Masih banyak tuntutan lainnya.

Lepas dari berbagai tuntutan yang rakyat ajukan, satu pertanyaan patut dilontarkan, sanggupkah atau mampukah pemerintah memenuhi tuntutan rakyat itu? Idealnya harus. Ini tugas pemerintah. Rakyat berhak mendapat perhatian pemerintah. Ada yang pesimis dengan kesanggupan pemerintah. Ada pula yang optimistis.

Penilaian seperti ini wajar. Dan yang lebih wajar lagi adalah rakyat sendiri harus menentukan apakah sebuah kasus perlu dituntut seperti ini atau tidak. Dengan ini, rakyat juga tahu, memilah-milah kasus. Dan rakyat juga tahu, ke mana kasus ini dituntut. Rakyat bukan saja menuntut tetapi harus tahu kepada siapa tuntutan ini ditujukan.

Salam selamat siang. Ini iseng-iseng di padi awal pekan ini.


PA, 27/5/13
Gordi

Membuat pilihan kadang amat sulit. Memilih satu di antara sekian pilihan memang bukan perkara mudah. Semakin banyak pilihan semakin sulit memilih. Sebaliknya makin sedikit pilihan makin mudah memilihnya. Ini dari segi jumlah.

Selain jumlah, tingkatan kategori pilihan juga menentukan. Dua pilihan yang tingkatan kategorinya hampir sama justru menyusahkan membuat pilihan. Pilihan antara yang asyik dan yang baik misalnya. Keduanya menjadi bahan pertimbangan sebelum memilih. Yang asyik atau yang baik. Kalau dilihat, keduanya punya nilai positif. Yang asyik membantu manusia. Yang baik juga membantu manusia. Tetapi keduanya tentu punya risiko.

Risiko inilah yang akan menjadi pertimbangan akhir saat membuat pilihan. Pilih yang asyik risikonya demikian. Pilih yang baik risikonya demikian. Yang asyik tentu saja membuat manusia senang, gembira, menikmati. Yang asyik membuat manusia menikmati dunia yang mengasyikkan ini. Bahkan kadang-kadang terlalu asyiknya sampai lupa bahwa yang asyik itu tidak selamanya mengasyikkan. Yang asyik bisa menjerumuskan manusia pada yang tidak asyik. Manusia menderita karena terlalu asyik menikmati obat terlarang.

Yang baik belum tentu mendatangkan kebaikan. Yang baik sering dikategorikan positif. Dan memang yang baik itulah yang diidealkan, yang dicita-citakan, yang diperjuangkan. Perjuangan mencapai yang baik bukan perkara mudah. Mencapai yang baik kadang-kadang melalaui jalan terjal bahkan jalan yang tidak mudah. Atau juga jalan yang tidak baik.
Menjadi orang jujur misalnya. Jujur masuk kategori yang baik dari segi moral. Tetapi, untuk menjadi orang jujur, jalannya tidak mudah. Pejuang kejujuran dihadang pejuang tidak jujur. Anak SD yang mau jujur mengerjakan soal UN dihadang oknum yang tidak jujur entah itu gurunya, temannya, dan sebagainya.

Jadi, pilih mana, yang asyik atau yang baik? Keduanya punya risiko. Risikonya berat. Pilihan yang tidak mudah. Itulah sebabnya saya menulis status di fb pagi ini, #lebih baik berbuat baik daripada berbuat jahat
lebih asyik berbuat jahat daripada berbuat baik
kalau berdasarkan kategori asyiknya lebih asyik berbuat jahat
tetapi kalau berdasarkan baik-buruknya lebih baik bebruat baik#. Kembai ke pertanyaan, pilih mana?

Jawabannya tergantung kebutuhan Anda. Mana yang Anda butuhkan saat ini. Memilih yang asyik atau yang baik. Jika Anda mau bersenang-senang sebentar, pilihlah yang asyik. Jika Anda mau berbagi dengan sepenuh hati, pilihlah yang baik. Dengan itu kebaikan Anda itu akan menjadi teladan yang baik bagi sesama. Tetapi perlu diingat ketika Anda sedang menikmati yang asyik, Anda juga sedang diuji untuk terus menenerus menikmati yang asyik atau Anda bisa memabatasi diri menikmati yang asyik itu. Yang asyik tentu enak dinikmati tetapi yang asyik itu menjadi lebih enak dinikmati jika Anda tahu batasnya. Di sebelah yang asyik itu ada ketidaknikmatan. Setelah menikmati Anda akan mengalami yang tidak nikmat.

Selamat pagi
Selamat memilih
Selamat menikmati

PA, 31/5/13

Gordi

Menerima penghargaan merupakan hal yang membanggakan. Penghargaan dari siapa dan untuk jasa apa saja. Penghargaan menjadi nilai tambah. Nilai imbalan dari sebuah perjuangan. Jangan heran jika penghargaan menjadi sebuah kebanggaan. Tetapi di balik kebanggaan, penghargaan juga menjadi godaan.

Godaan untuk merasa bangga. Hal yang sebenarnya tidak perlu dibanggakan malah dibalik menjadi sebuah kebanggaan. Penghargaan memang bukan datang begitu saja. Penghargaan hadir melalui proses. Semua tahu proses merupakan kesempatan yang lama dan panjang. Jadi, kalau akhirnya penghargaan memutarbalikkan yang tidak bangga menjadi bangga, penghargaan itu tidak melalui proses yang akurat.

Saya sering menerima penghargaan. Tetapi bukan seperti penghargaan besar seperti yang diterima SBY dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) di AS. Bagi saya, penghargaan sederhana juga menjadi sebuah kebanggaan. Ketika saya menerima sertifikat karena lancar mengordinasi sebuah kegiatan kampus dari rektor kampus, saya merasa bangga. Saya merasa pekerjaan saya dihargai. Teman-teman bahkan para dosen melihat, meneliti, menyelidiki pekerjaan kecil saya dan memberi penghargaan.

Saya juga pernah mendapat penghargaan sederhana ketika menjadi pencetak gol pertama dalam pertandingan sepak bola di kampus. Penghargaan ini menjadi sebuah kebanggan. Kebanggaan yang muncul dari sebuah kebetulan. Kebetulan tim saya bertanding pada partai pertama dan kebetulan saya mencetak gol pertama. Meski sebuah kebetulan, saya merasa bangga. Justru di sini saya merasa bahwa penghargaan itu memang layak saya terima sesuai kategori panitia. Dan, banyak teman mengucapkan selamat pada saya. sama sekali tidak ada yang protes. Semua paham cara kerja panitia dan melihat fakta, penghargaan itu cocok diberikan pada saya.

Penghargaan kiranya menjadi modal perjuangan. Dengan penghargaan, penerima penghargaan akan berjuang keras mencapai impiannya. Penghargaan dengan demikian menjadi titik awal. Awal dari sebuah proses perjuangan. Ini tentu saja sah-saha saja. Tetapi penghargaan tidak selamanya dipahami demikian. Penghargaan justru bisa dijadikan puncak dari sebuah perjuangan. Saya bekerja lalu mendapat penghargaan. Di sini penghargaan menjadi hadiah dari sebuah pekerjaan.

Penghargaan layaknya memang menjadi penambah semangat daya juang. Penghargaan diterima agar penerima melanjutkan perjuangannya. Penghargaan dengan demikian menjadi semacam rambu di tengah jalan. Rambu menjadi penunjuk dan penanda jalan bagi pengguna jalan agar perjalanannya lancar. Rambu tetap tinggal di tempat sedangkan pengguna jalan terus mencapai tujuan akhirnya.

Kalau demikian masih bisakah berbangga dengan sebuah penghargaan? Bagi saya tentu saja ya. Saya bangga dengan penghargaan yang saya peroleh. Sebab, saya memperolehnya setelah saya bekerja. Penghargaan itu menjadi tanda bahwa orang lain melihat pekerjaan saya. lebih bangga lagi karena saya bekerja bukan untuk menerima penghargaan. Tidak ada impian untuk bekerja supaya dapat penghargaan. Penghargaan dapat dari pihak luar. Saya pun tidak memintanya. Saya hanya diberitahu akan dapat hadiah.

Penghargaan yang diterima SBY menjadi obyek yang diperdebatkan di negeri ini. Masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda. Tentu perbedaan menjadi hal yang harus diterima dalam sebuah masyarakat majemuk. Hanya saja jika perbedaan itu muncul karena penghargaan yang diterima pemimpin, baru menjadi persoalan.

Masyarakat terbelah karena penghargaan ini. Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. Ada yang mengatakan, mestinya rakyat bangga, pemimpinnya dapat penghargaan. Apa toh susahnya merasa bangga? Ada pula yang mengatakan SBY tidak layak menerima penghargaan itu. Masyarakat justru merasa tidak aman dan tidak tenang karena mereka menjadi korban tindakan kelompok tertentu. Rakyat merasa tidak dilindungi oleh pemimpinnya. Wajarkan, rakyat menolak penghargaan?

Bagi saya pro dan kontra juga wajar. Masyarakat kita majemuk. Saya merasa penghargaan itu memang dilihat dari sudut pandang yang berbeda sehingga muncul pemahaman yang berbeda. Saya tidak mengatakan kelompok A benar, kelompok B salah atau keliru. Saya berpikir bahwa penghargaan itu pada dasarnya diberikan pada mereka yang memang layak menerimanya. Dengan status layak ini penghargaan ini tidak mendapat protes dari mana-mana dan dari pihak siapa-siapa. Berarti SBY tidak layak menerima penghargaan itu?

Saya tidak berwenang untuk mengatakan layak dan tidak-nya menerima penghargaan itu. Sebagai rakyat kecil, saya hanya berpandangan demikian. Jadi, jika penghargaan itu membuat rakyat tidak bangga tetapi malah beradu argumen, maka penghargaan itu sudah mengingkar dari pemberian penghargaan pada umumnya. Penghargaan umumnya menjadi sumber kebanggaan bagi penerima dan juga bagi orang-orang di sekitar penerima.

Jika pemimpin mendapat penghargaan maka bawahannya merasa bangga. Tetapi jika pemimpin mendapat penghargaan dan bawahannya tidak bangga, ada yang tidak terungkap dalam pemberian penghargaan itu. Ada perasaan yang berbeda antara pemimpin dan bawahan. Padahal pemimpin dan bawahan seharusnya satu perasaan saja. Kalau tidak, pemimpin dan bawahan pun boleh jadi tidak seiya sekata dalam menjalankan tugasnya. Pemimpin berkata A bawahan berkata B.

Iseng-iseng siang ini.


PA, 3/6/13
Gordi



Manusia Beda dengan Binatang tetapi Manusia juga sama dengan Binatang

Manusia kadang-kadang sombong. Menganggap dirinya lebih baik dari binatang. Manusia sering berdalih, dirinya punya akal budi. Dan binanatang tidak punya akal budi. Memang ini yang membedakan manusia dan binatang. Tetapi perbedaan ini kiranya bukan untuk merendahkan binatang. Binatang sama derajatnya dengan manusia dalam hal sebagai sesama makhluk yang diciptakan.

Manusia kadang-kadang tidak mau tahu. Manusia merendahkan binatang. Padahal sesungguhnya manusia juga tidak bisa menghina binatang di depan mukanya. Komunikasilah yang menghambat manusia menghina binatang. Binatang pun sebenarnya tidak tahu kalau manusia menghinanya. Hanya saja binatang bisa mengerti bagaimana ia dihina oleh manusia. Binatang yang sudah terlatih tidak akan jatuh dalam jurang meski manusia mengarahkannya ke jurang.
Manusia mudah sekali mengadili sesama manusia dengan menyebut binatang. Sering terdengar ucapan anjing loe, babi loe. Ucapan yang mesti dihilangkan. Binatang bukan untuk direndahkan. Binatang kiranya seperti nama manusia bukan untuk disebut-sebut tetapi untuk disebut.
Saya terpaku melihat aksi beruang di kebun binatang tadi. Beruang itu bisa memutar bola basket. Bisa memasukkannya ke ranjang. Beruang juga bisa bergoyang seperti manusia. Beruang ini bisa menyapa manusia. Bisa bertepuk tangan.

Beruang bisa seperti ini karena dilatih. Jadi, sebetulnya binatang, sebagaimana beruang ini, bisa cerdas seperti manusia. Asal dilatih terus menerus. Tentu tidak secerdas manusia tetapi minimal bisa membuat manusia terhibur.

Jadi, kalau manusia merendahkan binatang, dengan menyebut binatang pada sesama manusia, manusia sudah sombong. Manusia memang sombong. Tetapi baik kalau jangan menyombongkan diri dengan merendahkan binatang. Binatang juga perlu dilindungi, perlu dijaga keberadaannya di bumi. Binatang dan manusia sama dalam hal ciptaan. Sama-sama diciptakan untuk hidup di bumi ini.

Betapa sombongnya manusia jika menghina binatang. Lebih sombong lagi jika menyebut sesamnya sebagai binatang. Manusia dan binatang memang beda. Dan tidak perlu disamakan. Kalau manusia menyamakan dirinya dengan binatang, itu bukan hal yang wajar lagi. Manusia dan binatang tetap beda. Perbedaan ini sudah menjadi ciri khasnya. Tetapi perbedaan ini tidak membuat manusia lebih tinggi sebagai ciptaan. Dalam cerita kuno memang disebut manusia adalah makhluk termulia di antara ciptaan. Tetapi ini tidak berarti manusia boleh sombong di depan binatang. Apalagi boleh menghina sesamanya sebagai binatang.

Obrolan sore setelah melihat kebun binatang. Salam selamat menghargai binatang.

PA, 6/6/13
Gordi

Punya harta banyak itu dambaan. Memang itulah dambaanku. Usaha keras dibuat. Segala tenaga dikerahkan. Harta itu bisa didapat. Modalnya hanya kerja keras. Dengan itu, harta banyak jadi milikku. Aku kaya harta.

Aku dulu berpikir, dengan harta banyak, aku akan bahagia. Betapa aku dulu ingin kaya karena ingin bahagia. Aku hanya ingat satu dari sekian nasihat tetua adat, raihlah kekayaan. Dengan kekayaan itu, kamu akan bahagia. Betapa nasihat yang entah benar atau tidak dari mereka ini, aku serap dan masuk dalam seluk-beluk otakku. Hampir pasti aku tak pernah bermimpi yang lain selain punya harta banyak.

Aku sebenarnya punya mimpi yang lain. Aku ingin membangun desaku menjadi desa yang masyarakatnya bahagia. Hidup harmonis dan ekonominya makmur. Tetapi aku ingat impian asliku. Aku buang impian lain ini. Aku melupakan semua mimpi yang bukan mimpi tentang kaya harta. Gara-gara mimpi kaya harta ini, otakku tidak berpeluang mengimpikan impian lain. Tak ada tempat dalam otakku untuk memikirkan yang lain.

Aku ingin impianku terwujud. Usaha keras baik fisik maupun pikiran kukerahkan. Perpaduan antara keduanya membuhkan hasil yang maksimal. Kerja fisik dan kerja otak yang luar biasa besarnya dibayar dengan kekayaan harta yang luar biasa berlimpahnya. Hartaku kini banyak. Sebanyak yang aku impikan. Aku pun akan mencapai kebahagiaan itu.

Aku tak susah lagi dengan kehidupanku. Ekonomi pun tidak perlu dicemaskan lagi. Segalanya bisa kubuat. Aku bepergian dengan keluarga dan sahabatku ke kota terkenal. Dari Sabang sampai Merauke. Aku jelajah semuanya. Demikian juga dengan kota terkenal di luar negeri, Paris, Roma, Kairo, Madrid, dan sebagainya. Aku sudah berkunjung ke sana.

Mataku melihat banyak hal di sana. Ternyata di sana hampir sama dengan di negeri ini. Ada orang yang super kaya tetapi ada juga yang super miskin. Kaya miskin hidup bersama. Yang kaya makin miskin pedulinya. Yang miskin makin ganas perjuangannya. Yang miskin, kaya harapan. Yang kaya, miskin harapan. Orang miskin berharap mendapatkan seuatu dari pengunjung. Tak jarang dia berdiri berjam-jam atau duduk berjam-jam di daerah yang padat pengunjungnya. Yang kaya tidak mau memedulikan yang miskin. Mereka tidak mengharapkan kehadiran orang miskin di tempat yang mereka kunjungi.

Aku sempat kaget melihat semua ini. Kalau aku mengimpikan kaya harta mengapa banyak yang miskin harta? Aku sudah berusaha dan meraih kekayaan. Pengorbananku bukan main dan aku memperoleh semua yang aku inginkan. Pengorbanan dan usahaku tidak sia-sia. Aku tahu sekarang, usaha keras itu dapat membuahkan hasil yang masksimal. Rahasia kesuksesan adalah usaha keras.

Aku mengimpikan suatu saat mereka yang miskin mampu dan mau berusaha keras. kelak, mereka akn berbahagia karena mendapat banyak harta. Tetapi aku berpikir, rasa-rasanya itu tidak mungkin. Semua kekayaan diambil oleh kaum kaya. Termasuk aku. Aku sebenarnya mengambil jatah mereka yang miskin. Tidak ada lagi untuk mereka. Jadi, sebenarnya usaha keras mereka akan sia-sia. Mereka tetap tidak akan memperoleh yang mereka usaha dan impikan. Jadi bagaimana?

Gara-gara memikirkan ini aku tidak tenang. Aku kaya harta, tak kurang makanan, tetapi aku tidak tenang. Batinku menjerit kecemasan. Mengapa mereka tetap miskin? Demikian hatiku meronta dan menjerit. Suara ini selalu terngiang. Dulu suara batinku adalah kejarlah kekayaan dan raihlah itu jadi milikkmu. Kini berubah, berilah mereka makanan, bagilah hartamu, tunjukkan kepedulianmu pada mereka yang miskin.

Aku tampak kaya tetapi sesungguhnya aku miskin. Aku miskin perhatian. Miskin kepedulian. Suara yang menggema di atas sungguh membuatku tidak bisa hidup tenang. Suara itu menggantikan suara dulu yang terngiang dalam mimpiku. Zaman berubah dan mimpi pun berubah. Sungguh, aku tidak bahagia dengan kekayaanku ini. Aku kaya harta tetapi harta tak lagi berguna bagiku. Harta ini lebih berguna bagi mereka yang miskin di sekitarku. Aku sudah mengunjungi tempat impianku dan aku sudah mewujudkan impianku. Mereka yang miskin itu pasti punya mimpi. Dan, aku tangkap mimpi itu adalah dapat hidup bahagia, punya bekal untuk makan malam, tidak cemas lagi.

Aku ingin mewujudkan impian mereka. Aku ingin mimpi mereka itu menjadi impianku juga. Kelak, aku dan mereka tidak berbeda. Aku akan membagikan hartaku pelan-pelan untuk membantu mereka. Sungguhm hati ini akan tenang, dan betapa aku akan bahagia sekali, melihat mereka bisa hidup tenang dan bahagia. Aku bahagia dapat harta tetapi lebih bahagia jika aku emmbagikan hartaku ini pada mereka yang membutuhkannya. Ah ini saja mimpiku. Lupakan harta dan ingat orang miskin.

Salam

PA, 7/6/13
Gordi


Setiap orang pasti butuh makanan. MAkanan adalah menu wajib bagi manusia untuk melanjutkan kehidupannya. Tidak ada yang menolak untuk makan. Apa pun jenis makanannya, setiap orang pasti membutuhkannya. Makanannya satu, jenisnya beda, tergantung budaya tempat makanan itu dibuat.

Aku hanya tukang masak yang membuatkan makanan untuk majikanku. Setiap pagi, aku bergaul dengan bumbu makanan. Menu yang diminta majikan juga bervariasi. Kadang-kadang aku dilatihnya untuk meracik bumbu itu. Kadang juga aku dibawanya ke warung makan untuk belajar meracik makanan. Aku senang dapat ilmu baru. Jadi, sambil meracik makanan aku belajar ilmu meracik makanan dengan jenis lainnya.

Aku juga menjadi ‘dokter’ kesehatan sang majikan. Betapa aku harus memerhatikan menu yang ada. Juga kadar zat kimia untuk setiap jenis makanan. Zat yang manis tidak bleh melebihi kuota tertentu. Demikian juga zat asam dan sebagainya. Semua ada batas maksimal dan minimal. Aku hafal semua batas-batas ini. Dan, majikanku sudah mengajarkan semua ini. Jika terjadi kesalahanpasti terjadi sesuatu pada majikanku. Beginilah susah-senangnya jadi tukang masak untuk majikanku. Aku mengingat semua perintahnya sampai-sampai aku lupa mengurus kesehatanku.

Aku lelah kadang-kadang karena kurang istirahat. Kesehatanku menurun. Dan, anehnya, aku tidak peduli dengan kesehatanku. Aku lupa bahwa jika aku sakit, majikanku akan kewalahan. Betapa aku menjadi satu-satunya tulang punggung kehidupannya. Dia tak bisa masak atau meracik menu makanannya. Kalau pun dia bisa, dia tidak punya waktu untuk itu. Dia punya daftar kesibukan dalam dunia bisnisnya. Aku memang disarankan untuk memerhatikan kesehatanku. Aku memang hanya tukang masak tetapi juga sebagai dokter kesehatan sang majikan serta tulang punggung majikanku.

kesehatan majikanku ada di tanganku. Jika menunya salah, makanan pun terasa tidak enak. Jika zat manisnya berlebihan, kesehatan majikanku pun berpengaruh. Semua yang berkaitan dengan ketentuan zat kimianya mesti diperhatikan. Jika tidak, kesehatannya terganggu. Dan, jika dia sakit, aku juga disalahkan. Ya, sekadar disalahkan tidak apa-apa, aku akan perbaiki. Tetapi, kalau sampai dipukul atau dihukum, misalnya, itu berlebihan.

Aku belum pernah melihat majikanku marah berlebihan. AKu pernah dimarahi dan marahnya wajar. Aku salah lalu dimarahi. Aku sama sekali tidak menolak untuk dimarahi. Aku senang dimarahi karena diikuti nasihat untuk berubah. Aku mau seperti itu. Aku belum pernah dimarahi lalu dipukul atau diseterika seperti saudariku setanah air di tanah rantau luar negeri. Aku beruntung dapat majikan seperti ini.

Aku memang hanya tukang masak tetapi aku juga belajar etika kehidupan dari majikanku. Belajar menu makanan, meracik makanan, jenis-jenis zat makanan, berelasi yang akrab antara atasan-bawahan juga dengan sesama, belajar menasihati sesama. Gajiku mungkin tidak besar tetapi perhatian majikanku besar. Hartaku mungkin tidak bertambah banyak tetapi relasiku dengan majikanku makin baik.

Tukang masak mungkin dipandang sepele. Ah hanya tukang masak saja, yang kerjanya hanya di dapur saja. Ternyata tidak dengan diriku. Aku bekerja di dapur tetapi aku juga belajar di luar dapur. AKu dibawa ke tempat ramai, belajar memasak, mengunjungi beberapa kota sambil melihat proses racikan makanan. relasi baik dengan majikanku membuat semua ini mudah dan bisa aku alami. Bekerja memang bukan sekadar mengisi waktu, belajar sesuatu, tetapi menikmati sesuatu darinya. Dengan bekerja, saya menikmati sisi indahnya kehidupan ini.

Dalam kesalahan pun aku belajar hal baru. Aku belajar untuk berubah dari kesalahan yang ada. Kata, orang kesalahan adalah gerbang menuju perubahan. Dan, aku ingin selalu berubah dari kesalahan yang ada. Dengan itu, aku maju ke bagian berikutnya di mana aku tida jatuh dalam kesalahan yang sama.

Jakarta, 15/6/13
Gordi

Semua orang kenal cermin. Ya, cermin yang bisa mengukur cantik-tidaknya seorang wanita. Padahal cantik itu relatif. Tetapi, ada orang yang memutlakkan bayangan di cermin itu sebagai alat ukur kecantikan. Dengan cermin, bayangan kita bisa diketahui. Dari ujung kaki hingga rambut, semuanya terlihat jelas di cermin. Cermin membantu kita melihat diri kita secara fisik.

Cermin, tanpa mengabaikan sisi positifnya, menyimpan sisi negatif. Pernahkah Anda melihat ayam yang sedang bercermin? Kalau belum, cobalah bawa ayam di depan cermin. Atau ambillah cermin dan taruh di depan ayam. Reaksi ayam membuat kita heran. Dia seolah-olah melihat musuh. Dia pun siap menendang ayam yang ada dalam cermin. Memang itu adalah bayangannya sendiri. Bagi ayam, bayangan juga bisa berarti musuh. Musuh dalam cermin. Cermin memang menyimpan sesuatu yang bisa dianggap negatif.

Dalam cermin, bayangan manusia tidak utuh lagi. Bayangan itu akan dibalikkan. Yang kanan dalam kenyataannya akan menjadi kiri dalam bayangan. Itulah sebabnya menjadi ganjil jika kita memakai jam tangan di tangan kiri dan akan menjadi tangan kanan di dalam cermin. Bayangan itu memanipulasi fakta. Dan, manipulasi ini terjadi dalam cermin yang dianggap sebagai alat ukur kecantikan atau kegantengan.

Hati-hatilah dengan cermin. Bukan saja karena cermin itu mudah pecah, retak, jatuh, dan sebagainya. Tetapi cermin itu memanipulasi kenyataan. Jika cantik atau cakep yang merupakan hasil cerminan maka boleh jadi cantik/cakep itu juga merupakan hasil manipulasi. Memang secantik-cantiknya seorang wanita, kadang-kadang kecantikannya adalah hasil manipulasi. Mata para pria kadang-kadang tertipu. Melihat si A cantik tetapi rupanya tidak. Dia memang cantik setelah didandan dengan polesan bedak yang memikat, gincu bibir yang menawan, wangi parfum yang menyengat hidung, dan model pakaian yang membentuk lekukan pada tubuh.

Cantik alami tidak tercipta dari bayangan cermin. Cantik alami nyata dalam kehidupan seorang wanita. Kepribadiannya adalah tanda-tanda cantik alami. Jika kepribadiannya tidak menunjukkan tanda baik maka dia tidak cantik alami. Kalau mau cantik buatan tinggal saja didandan lalu tunjukkan ke cermin dan akan dapat bayangan cermin yang menunjukkan dia sudah cantik. Bayangan cermin memang menawan tetapi kadang-kadang menipu.

Hidup kita kadang-kadang seperti cermin. Tampilan luarnya menawan dan baik hati. Tampaknya si B bersolider dengan tetangga. Padahal dalam hatinya dia bermaksud buruk. Sambil bersolider dia merencanakan malapetaka untuk tetangga. Memberi bantuan sambil mempelajari model rumah. Suatu saat dia datang mencuri perabot rumah. Inilah cerminan solidernya. Solidernya itu adalah solider cermin. Memukau, mengundang decak kagum, sekaligus memuakkan, menjijikkan karena akhirnya menciptakan keretakan kehidupan sosial.

Jakarta, 16/6/13
Gordi 

Aku diam. Diam dalam keseharianku. Aku diam bukan karena aku tidak melakukan apa-apa. Aku diam karena aku sedang bekerja. Dalam diam, aku memikirkan diriku. Aneh tetapi nyata. Aku memikirkan diri dan tidak ada yang tahu apa yang aku pikirkan. Aku berpkikir tentang diri. Dan, kalian akan tahu karena aku memberitahu kalian bahwa aku memikirkan diriku.

Tidak kelihatan bahwa aku sedang berpikir tentang diriku. Memang benar. Yang kelihatan hanya aku yang diam. Dan, memang dalam diam aku berpikir. Diam ini mau mengatakan bahwa aku sedang berpikir. Aku tidak sedang dalam keadaan diam total. Fisikku tampak diam tetapi pikiranku sedang bekerja. Pikiran memang bekerja melampaui fisik. Pikiran bekerja termasuk ketika fisik diam. Dalam fisik yang diam pikiran bekerja. Dan dalam fisik yang bekerja juga pikiran tetap akan bekerja. Pikiran berhenti bekerja saat tidur. Tidur menjadi saat yang baik untuk mendiamkan fisik dan mendiamkan pikiran.

Kali ini aku memang diam. Aku ingin memikirkan diriku. Aku bosan membicarakan diri kalian. Selama ini aku terlalu banyak membicarakan, menghakimi, memuji, mengangkat, mencela diri kalian. Diri kalian aku kupas dalam sudut negatif dan positif. Dan, mudah sekali emnghakimi dan emmuji diri kalian. Aku punya senjata untuk menghakimi kalian. Kali ini, aku ingin melihat diriku. Terlalu mudah melihat kalian tetapi terlalu sulit melihat diriku. Aku terlalu fokus melihat kalian dan lupa melihat diriku.

Kali ini, aku ingin mengarahkan senjata perhatianku pada diriku sendiri. Aku ingin tahu seberapa jauh perkembangan diriku saat ini. Sekaligus juga aku ingin mengalihkan perhatian untuk menghakimi dan memuji diriku sendiri. Aku tidak mau lagi menghakimi dan memuji kalian. Aku ingin menghakimi diriku. Dengan menghakimi, aku tahu kelemahanku. Aku ingin memperbaiki kelemahanku. Ada yang sulit kuhilangkan tetapi aku bertekad untuk mengatasi kelemahan ini.

Semua ini aku kerjakan dalam diam. Dalam diam, aku mengerjakan banyak hal. Salam diam sejenak.

Yogyakarta, 22/6/13
Gordi

Egoism, kata asing, yang dalam bahasa Indonesia jadi egoisme. Pandangan yang tidak mau tahu dengan yang lain. Dari sini muncul berbagai prinsip aneh.

Kamu-kamu, kami-kami. Kita-kita, mereka-mereka. Hitam-hitam, putih-putih. Kaya-kaya, miskin-miskin. Dan sebagainya.

Dengan egoism atau egoisme, semua pintu tertutup. Tidak ada untuk kamu. Hanya kami dan kaum kami. Dan tidak ada saling paham, saling mengerti. Dengan ini, tidak ada saling bagi. Berbagi adalah tumbal yang meruntuhkan kenyamanan-egoisme.

Aku, orang kaya tak mau tahu dengan kamu, orang miskin. Aku tetap aku dan kamu tetap kamu. Tidak ada ruang bersama antara kita. Kamu sengsara dan aku nyaman, itu realitas. Siapa suruh jadi orang sengsara dan menderita?

Dunia ini jadi apa tanpa berbagi? Egoism meraja di mana-mana. Masyarakat menggeliat menghadapi krisis dalam masyarakat dan kaum sebelah tetap tak mau tahu. Oh egoism, egoisme. Sampai kapan????

Prm, 5/1/14
Gordi

Pernah dimuat di blog kompasiana

foto, shutterstock

Menunggu tak jarang menjadi kegiatan membosankan. Bosan karena yang ditunggu tidak datang. Namun, menunggu juga membuat dag-dig-dug karena yang ditunggu tidak ada kejelasan, datang atau tidak. Dan, lainnya menunggu mengasyikkan karena yang ditunggu adalah seorang idaman.

Menunggu siapa yang masuk final pialan dunia 2014 tentu mengasyikkan. Tentu saja, sebelumnya, ada dag-dig-dug karena sebagian pendukung kecewa klub dambaannya kalah. Paling tidak semalam, pendukung Brasil kecewa dan mungkin jengkel. Nanti malam, seperti tadi malam, akan ada yang kecewa dan akan ada yang senang, karena kalah dan menang menjadi bagian dari Argentina dan Belanda. Salah satu dari mereka akan menang. Lainnya kalah.

Rakyat Indonesia juga menunggu hasil pemilu. Dag-dig-dug di dada jangan sampai calon presiden dan wakil presidennya kalah. Dag-dig-dug juga jangan-jangan yang dianggap menang malah kalah. Namun, hasil akhir tetaplah pengumuman resmi dari KPU sebagai penyelanggara pemilu.

Dalam dag-dig-dug inilah indahnya menunggu. Dag-dig-dug ini kiranya membuat beberapa orang membuat status di fb, membuat link dari perbalgai situs, tentang siapa capres-cawapres yang menang.

Bagi saya, dag-dig-dug tidak terasa. Sebab, saya sudah memilih minggu lalu. Sudah pilih, selesai. Tentu saja akan dag-dig-dug jika nantinya Indonesia akan dipimpin oleh orang yang tidak mampu membuat rakyat Indonesia sejahtera. Namun, daripada membiarkan dag-dig-dug ini terus berdebar, lebih baik menunggu hasil resmi dari KPU.

Salam pemilu, salam demokrasi

Prm, 19/07/2014
Gordi


Powered by Blogger.