Halloween party ideas 2015
Showing posts with label PEKANBARU. Show all posts

FLAMBOYAN YANG INGKAR JANJI


Salah satu ciri khas bunga Flamboyan adalah bunganya mencolok. Ciri ini pas dengan namanya ‘Flamboyan’. Kata Flamboyan berasal dari Bahasa Prancis, ‘Flamboyant’ yang artinya menyala atau mencolok.

Flamboyan menjadi nama salah satu stasi di Paroki St Paulus, Pekanbaru. Nama pelindungnya adalah Santo Fransiskus Xaverius. Stasi ini tak jauh dari ingar bingar Pasar Flamboyan. Pasar di jalan lintasan Sumatra. Karena di lintasan, pasar ini selalu ramai.

Saat datang, kami melewati pasar ini. Di belakang pasar inilah ada kompleks gereja stasi. Letaknya jauh dari keramaian pasar. Agak masuk, di kawasan perkebunan. Cocok untuk tempat doa. Meski di dalam, letaknya cukup mencolok. Dari bahu jalan amat jelas. Bagian depan gereja agak tinggi. Ada motif khas yang amat menarik. Entah motif dari mana.


Sore ini (Selasa 26 September), Pasar Flamboyan juga ramai. Keramaian ini juga lah yang kami bayangkan saat berencana datang untuk animasi di stasi ini. Dan, memang benar-benar ramai. Hanya saja, keramaian itu hanya terbatas di Pasar. Keramaian itu tidak muncul di gereja.

Wajah mencolok gereja Flamboyan rupanya tidak seindah isinya. Ada Ketua Stasi dan para pengurus lainnya tetapi umat lain amat kurang. Yang ikut animasi pun amat sedikit. Hanya ada sekelompok anak-anak TK sampai kelas 3 SD. Suara mereka merdu saat bernyanyi. Tetapi redup ketika kami bertanya. Berarti, mereka sama sekali kurang paham dengan bahan yang kami siapkan.

Umur mereka terlalu kecil. Pemahaman juga masih terbatas. Mereka juga tampaknya agak sulit keluar dari keterbatasan itu. Mereka seolah-olah dikungkung oleh guru bina iman yang menemani mereka. Guru itu membawa ranting pohon kering, entah untuk apa. Sore ini, ranting itu juga melekat di tangannya.

Kami yakin, ranting itu hanya sebagai ancaman saja. Ancaman ini tak disangka justru membuat anak-anak merasa takut. Lebih takut lagi karena anak-anak akhirnya tidak mendengar kami yang sedang bicara. Guru bina iman itu justru mendominasi perhatian. Dia—dengan modal ranting pohon di tangan—mencoba menarik perhatian anak-anak. Alih-alih mengarahkan anak untuk mendengarkan kami, Ibu itu justru membuat penjelasan menurut versinya.

Pemandangan ini memang sedikit mengganggu apalagi ada orang tua yang mempunyai banyak pertanyaan. Beruntunglah, tim animasi dengan sabar dan bijaksana mengatasi situasi ini. Kami tetap menjawab pertanyaan orang tua dan mengabaikan anak-anak yang asyik sendiri dengan seorang guru pembina mereka.

Tampak seperti sebuah rumah berwajah ganda. Sebelah kiri ada orang tua yang serius menyimak pemaparan dan sebelah kanan ada anak-anak yang asyik dengan kegiatan mereka. Flamboyan dengan pemandangan ini tidak lagi mencolok. Kalau mau mencolok, hanya satu yang muncul. Kalau dua, sisi mencoloknya terpecah jadi dua. Persis seperti Flamboyan sore ini.

Flamboyan versi pasar ramai dengan kebiasaannya. Flamboyan versi gereja bukan saja ramai dengan anak-anaknya tetapi juga dengan kelompoknya sendiri. Keramaian yang dirindukan sebelumnya adalah keramaian yang mencolok seperti Flamboyan yang bunganya mencolok. Andai keramaian itu menjadi Flamboyan yang benar-benar mencolok, Flamboyan itu tidak akan menginkar janji.

Semoga Flamboyan tetap mekar dan menampilkan bunga merahnya di Stasi ini. Kelak, umat di sini menjadi Flamboyan yang menarik perhatian dari sesama. Flamboyan itu memang belum tampak hari ini. Flamboyan yang dominan justru di pasar sebab hari ini adalah hari pasar. Demikian bisikan seorang pengurus stasi. Berarti, ada kesalahan dalam memilih tanggal dan jam-nya. Boleh jadi akan mencolok jika memilih hari lainnya.

Selalu ada harapan untuk Flamboyan.

BA, 9/10/2017
Gordi 





BERSEMBUNYI DI BALIK BERINGIN


Namanya unik: Stasi Santa Agnes, Muara Beringin. Padahal, terletak di tengah perkebunan Sawit. Entah mengapa, Muara Beringin begitu melekat dengan nama daerah ini.

Pohon Beringin sama sekali tidak menjadi ciri khas Stasi ini. Daripada Beringin, Pohon Sawitlah yang justru mendominasi. Memang, daerah Riau identik dengan daerah Sawit. Bersama Sawit, daerah ini juga menjadi ladang Karet. Dua komoditas ini menjadi andalan Provinsi Riau.

Nama Muara Beringin boleh jadi diambil dari nama perkampungan atau pedesaan ini. Entah di mana Pohon Beringinnya. Yang jelas, gedung Gereja atau Kapela Stasi ini berada di tengah Sawit.

Untuk menjangkauinya pun agak sulit. Sulit bukan karena jauh dan jalannya rusak tetapi letaknya yang tersembunyi. Kami—tim animasi—pun mesti mengajak seorang OMK dari Palas untuk menunjukkan jalan. Jadi, kami berangkat ke Palas dulu sebelum menuju Muara Beringin.


Kami pun meletakkan harapan kami padanya. Rupanya, ini tidak cukup. Dia sejak awal memang sudah mewanti-wanti bahwa, dia hanya tahu jalan masuk. Sedangkan, ke dalamnya, masih harus bertanya-tanya. Dan meski bertanya, kami belum menemukan titik terang. Bertanya-tanya yang kesekian baru membawa harapan.

Harapan memang bukan sebuah usaha instan. Harapan membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Jika dua hal ini dilalui, harapan dengan sendirinya akan muncul. Dengan kata lain, harapan membutuhkan waktu dan proses panjang.

Setelah harapan pertama tercapai, kami pun menyusuri jalan yang ditunjukkan. Jalannya tampak jarang dilalui mobil. Jalan itu pun hanya membawa kami menuju gereja Muara Beringin dan beberapa rumah di belakang gereja. Jangan heran jika jalannya masih berupa rerumputan. Ada bekas jalan tapi tidak jelas pembatasnya. Sopir mesti meraba-raba dan mengira-ngira batas luar yang bisa dilalui. Jika tidak, boleh jadi ban mobil akan tertanam di rawa-rawa atau keluar dari jalur jalan.



Dengan kelincahan dan kebiasaan, sopir bisa melaksanakan tugasnya sampai tujuan (Kamis, 28 September). Lega rasanya bisa tiba di tempat ini. Dengan lega, tim animasi turun dari mobil dan berjumpa dengan Ketua Stasi yang sedang menunggu di depan gereja.

Gerejanya kecil, tetapi semangat umat luar biasa besar. Saat tiba, tampak hanya ketua stasi dan beberapa umat lain. Dia juga memberitahukan bahwa umat lain akan berdatangan. Jika ada kesabaran untuk menunggu, hasilnya akan memuaskan. Dan, benar yang ia katakan. Kami sabar menunggu dan bahkan memperlambat 1 jam jadwal pertemuan. Dari pukul 16.00 ke 17.00.

Hasilnya menjadi berlipat ganda karena kami juga disuguhi makan malam bersama. Sebelum sampai pada acara ini, kami beranimasi. Ada banyak pertanyaan menarik setelah kami mempresentasikan kegiatan kami. Durasi tanya jawab pun diperpanjang karena awalnya agak sulit memunculkan pertanyaan. Setelah muncul yang pertama, yang berikutnya berurutan dan banyak sekali. Motivasi lain juga adalah agar selesainya pas pada jadwal makan malam.

Makan malam ini rupanya bukan hadiah terakhir. Masih ada buah-buahan sebagai oleh-oleh. Stasi ini rupanya menjadi satu dari beberapa stasi yang selalu menyumbangkan buah-buahan setiap kali kunjungan pastoral. Buah-buahan itu kami terima dengan senang hati. Kami memang senang karena disuguhi makan malam seperti ini.


Satu dari tim animasi berbisik bahwa, sehari sebelumnya ketua stasi sudah meminta untuk berhenti setelah kegiatan animasi. Ini berarti, makan malam ini direncanakan dengan matang. Padahal, kami sebenarnya datang untuk beranimasi saja. Penerimaan ini tentu menjadi penambah semangat baru bagi kami tim animasi dalam kegiatan mendatang.

Terima kasih untuk Ketua Stasi yang menjadi penggerak umat di Muara Beringin. Tawa dan canda kalian saya bawa dalam perjalanan selanjutnya. Salam jaya untuk Rumah Tuhan Muara Beringin.


BA, 9/10/2017
Gordi 





INGIN SELALU BERSAMAMU




Meski tak diinginkan, perpisahan itu mesti terjadi. Dalam hal ini, perasaan dan fakta berjalan berlainan. Masing-masing sesuai jalurnya. Boleh jadi tak akan bertemu pada titik mana pun.

Perpisahan itulah yang mewarnai animasi terakhir ini. Stasi Fransiskus Asisi, Indah Kiat menjadi pelabuhan terakhir dari rangkaian panjang dalam 2 bulan ini. Bagi kami, tim animasi, kegiatan sore ini juga menjadi perpisahan. Berikutnya, tidak ada lagi kebersamaan untuk beranimasi.

Perpisahan yang sama juga menjadi warna tersendiri bagi Stasi Indah Kiat. Sebentar lagi, stasi ini akan berpisah dengan Paroki St Paulus Pekanbaru dan bergabung dengan Stasi yang baru di Kota Batak. Indah Kiat—dalam hal ini—menjadi pelabuhan terakhir.

Meski terakhir, kegiatan sore ini (Jumat, 29 September) tetap diwarnai semangat yang menggelora. Mulai dari generator yang menjadi kekhawatiran awal sampai pada makan malam di Susteran FCJM, Indah Kiat. Tanpa listrik, kegiatan animasi ini menjadi ‘dingin’. Kami membutuhkan listrik untuk komputer dan proyektor.


Salah satu Pengurus Stasi

Syukurlah, kekhawatiran kami berubah menjadi kegembiraan. Dalam sekejab mata, seorang umat merakit sambungan listrik. Dari sini, aliran listrik bisa menjadi penyedia tenaga bagi komputer kami. Ini sungguh luar biasa. Gereja ini masih baru dan sambungan listrik belum tersusun rapi.

Dengan semangat awal ini, kami membangkitkan keinginan anak-anak, remaja, dan orang tua yang hadir sore hari ini. Meski sedikit, mereka tetap memberikan banyak pertanyaan setelah mengikuti presentasi tim animasi berupa slide power point dan video singkat. Pertanyaan ini bermunculan setelah penanya pertama mendapat hadiah dari tim animasi. Hadiah seperti ini memang kadang-kadang berguna untuk membangkitkan semangat bertanya.

Meski demikian, hadiah bukanlah hal utama. Yang utama adalah pemahaman akan bahan yang kami sampaikan. Orang tua yang hadir kiranya paham. Meski paham, mereka enggan bertanya. Atau boleh jadi, mereka sengaja memberikan kesempatan kepada anak-anak dan remaja untuk bertanya.

Indah Kiat tak ingin berpisah namun kami harus berpisah. Sebelum berpisah, kami membuat foto bersama. Setelahnya, ada mamiri (makan-minum ringan). Gara-gara mamiri ini, waktu pun terus berputar sampai menjelang kegelapan.

Sebelum gelap, Sr Leoni, FCJM mengajak kami untuk mampir di Susteran FCJM Indah Kiat. Di sinilah, kami berenam (Pastor Lius SX, Sr Leoni FCJM, OMK Clara dan 2 dari Stasi Rumbai, dan Diakon Gordi SX) makan malam bersama ketiga Suster FCJM di Susteran Indah Kiat.

Bumbu makan malam pun tidak main-main. Ada mie rebus yang disiapkan dalam sekejab. Mie ini memang cocok untuk hidangan instan seperti ini. Kami juga singgah mendadak di sini sehingga penerimaannya pun mendadak. Bumbu ini masih ditambah dengan bumbu siaran sepak bola lokal.

Siaran inilah yang membuat kami menjadi 2 kelompok. Kelompok depan TV dan kelompok meja makan. Setelah bersatu dalam doa sebelum makan, kami mengambil makanan dan duduk di dua kelompok berbeda. Yang hobi sepak bola langsung di depan TV. Yang hobi bercerita langsung duduk di tempat makan.



Setelah perut kenyang dengan 2 bumbu ini, kami pulang ke Pekanbaru. Perjalanan makin lancar meski dalam kegelapan yang makin gelap. Beruntunglah sang sopir sudah terbiasa melewati beberapa tikungan tajam di sekitar Indah Kiat sebelum menyusuri jalanan lurus selanjutnya.

Hidup memang berliku, penuh tantangan namun ada kegembiraan, ada kebahagiaan setelah semua rencana terpenuhi. Betapa bahagianya hati kami tim animasi setelah kegiatan di 25 stasi berakhir. Terima kasih untuk tim animasi yang menggerakkan kegiatan animasi ini.

BA, 9/10/2017
Gordi 




 OMK MEMBACA ALKITAB


Banyak yang miris dengan relasi kaum muda Katolik dengan Kitab Suci. Kemirisan ini muncul setelah sepintas melihat gaya anak muda zaman ini. Mereka tidak menghiraukan buku sebagai sumber ilmu. Ini berimbas juga pada Kitab Suci sebagai buku iman.

Penilaian miris ini tidak sepenuhnya benar. Ada juga anak muda yang bahkan lebih rajin dari kelompok dewasa. Mereka dengan caranya membaca dan merenungkan Kitab Suci. Miris memang menjadi momok sesaat yang disematkan begitu saja pada kaum muda oleh kaum dewasa. Padahal, jika saja ada keterbukaan antara dua kaum, rasa miris ini boleh jadi bisa berubah menjadi sebuah energi baru.

Energi itu memang ada dan nyata. Banyak anak muda membaca Kitab Suci dengan model zaman ini. Di hp mereka terpasang beberapa aplikasi doa dan renungan harian. Demikian juga di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan bahkan di status WhatsApp. Ini menandakan bahwa kaum muda juga akrab dengan Kitab Suci.



Cara ini tentu baru. Beda dengan cara tradisional sebelumnya yakni membaca di buku. Buku manual kini mulai tergantikan dengan buku elektronik dan berbagai aplikasi digital lainnya. Jadi, kalau dilihat, sebenarnya bukan soal lebih dekat atau tidak dengan Kitab Suci tetapi cara membaca Kitab Suci. Kalau kaum tua masih tinggal dalam cara tradisionalnya tentu saja tidak bisa diterima begitu saja cara modern a la anak muda. Tetapi kalau kaum tua mau sedikit saja menyelami kehidupan anak muda, boleh jadi mereka akan bergembira karena anak-anak mereka juga dekat dengan Kitab Suci.

Anak-anak muda di Paroki St Paulus Pekanbaru juga demikian. Dengan jelas, hampir semuanya mengatakan, saya mempunyai aplikasi e-katolik di hp. Aplikasi ini berisi kumpulan doa, bacaan harian dan renungan, riwayat santo-santa, dan berbagai ajaran iman Katolik lainnya. 



Pengalaman mereka ini kiranya amat cocok dengan tema Bulan Kitab Suci Nasional 2017: KABAR GEMBIRA DI TENGAH GAYA HIDUP MODERN. Tema ini masih dibagi dalam 4 sub-tema yang akan direnungkan selama 4 minggu dalam bulan khusus ini. Subtema pertama yakni Kemajuan Teknologi demi Kemuliaan Allah. Orang Muda Katolik St Paulus merenungkan subtema ini pada Jumat, 7 September yang lalu. Bagian pertama ini amat dekat dengan kehidupan mereka. 

Mereka termasuk generasi Z atau iGen atau juga Post-Millennials dalam kategori Penulis dan Sejarawan dari Chicago, Amerika William Strauss (1947-2007) dan koleganya, Sejarawan dan Konsultan Amerika Neil Howe (1965). Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang lahir antara 1995-2010. Generasi ini mempunyai satu ciri khas yakni dekat dengan dunia internet. Maka, generasi ini pun mempunyai nama lain yakni generasi internet.


Generasi inilah yang menjadi mayoritas di OMK St Paulus saat ini. Dalam sharing Jumat malam itu, ada yang dengan jelas mengatakan, saya lahir di masa internet sehingga otomatis dunia internet menjadi dunia harian saya. Dunia internet hadir melalui perangkat hp, komputer, TV, dan perangkat lainnya.

Berangkat dari pengalaman ini, OMK pun berkomitmen untuk menggunakan media modern ini sebagai sarana memuliakan Allah. Ini kiranya menjadi perhatian bukan saja dari OMK tetapi juga dari keluarga dan lingkungan hidup mereka. Keluarga sendiri akan lebih baik jika berpegang pada nilai Kristiani. Nilai itu bisa didapat termasuk dengan menggali kekayaan spiritual dari Kitab Suci.

Malam ini, kisah itu diperdengarkan juga kepada OMK yakni Kisah Menara Babel (Kejadian 11:1-9). Dalam kisah ini, amat jelas tersirat pesan berharga. Manusia tidak akan sampai pada Allah jika ia berangkat dengan kesombongannya. Raja-raja dan warga Babilonia pada kisah itu ingin mencapai Allah dengan mendirikan Menara Babel. Namun, Allah rupanya memorak-porandakan rencana mereka dengan mengacaubalaukan bahasa mereka. Bahasa yang menjadi alat komunikasi terpenting rupanya menjatuhkan mereka dari ambisi nafsu sesaat itu.



Kisah ini ingin mengingatkan kita juga, kaum Kristiani, untuk bijak menggunakan sarana komunikasi. Yang terpenting adalah selalu tahu membedakan sarana dan tujuan. Semua alat komunikasi itu menjadi sarana, dan bukan tujuan. Tujuan sebenarnya adalah memuliakan Allah dan memanusiakan manusia. Tujuan ini kiranya bisa tercapai dengan merenungkan dan mempertanyakan selalu kehidupan harian kita. 

Ajakan seorang Pastor Antonio Spadario, Jesuit Italia ini kiranya bisa direnungkan. Pastor Spadario yang menulis banyak buku tentang media komunikasi ini mengatakan, yang menjadi masalah saat ini adalah Bukan bagaimana saya menggunakan media komunikasi, TETAPI bagaimana saya hidup dengan media komunikasi. (Spadario, Quando la fede si fa sociale, EMI 2015) Hal pertama kiranya penting tetapi tidak cukup. Bisa saja saya menggunakan dengan baik tetapi kadang berlawanan dengan kehidupan nyata. Hal kedua kiranya konkret karena menyentuh kehidupan di dunia nyata, dan bukan di dunia media komunikasi saja.

Saatnya kita semua hidup dalam dunia media komunikasi. Bukan medianya yang berubah tetapi cara hidup kita-lah yang berubah. 
Sampai jumpa di pertemuan kedua.

BM, 11/09/2017
Gordi SX

DUA PERTANYAAN DARI MUARA FAJAR



Kata orang, lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Maksudnya, meski sedikit, asalkan ada sesuatu, itu jadi lumayan.

Yang sedikit itulah yang kami temukan di Muara Fajar hari ini. Dari sekian banyak umat yang hadir di gereja, hanya ada 2 yang berani bertanya. Meski sedikit, pertanyaan mereka berbobot. Itulah sebabnya, boleh disimpulkan, lebih baik ada dan sedikit daripada tidak sama sekali.

Durasi waktu animasi memang sedikit. Kami gunakan beberapa menit sebelum misa. Sekitar 30 menit, dari awal presentasi sampai pada tanya jawab. Tidak perlu lebih dari sini, biar ada semangat dan bisa memahami presentasi dan pengalaman kami.


Dari presentasi kami, muncul pertanyaan tadi: apa beda Diakon dan Pastor, bisakah menjadi calon pastor tanpa melalui sekolah seminari. Dua pertanyaan menarik yang patut diberi jawaban yang pas.

Pertanyaan ini menggambarkan keingintahuan umat Muara Fajar pada kegiatan animasi ini. Pertanyaan serupa memang sudah kami jumpai sebelumnya di beberapa stasi. Muncul kembali seperti ini bisa menjadi gambaran bahwa umat memang ingin tahu tentang perbedaan ini. Boleh jadi pemahaman mereka amat sedikit tentang bidang pengetahuan ini.

Pastor Pancani SX memberi jawaban teologis yang amat bagus. Untuk lebih bisa dimengerti, saya menambahkan dengan jawaban yang bersifat teknis: Diakon adalah satu tahap sebelum menjadi Pastor. Dengan kata lain—sambung saya—semua Pastor pernah menjadi Diakon. Sedangkan, tidak semua Diakon bisa menjadi Pastor. Ada Diakon yang hanya menjadi diakon saja, tanpa melanjutkan ke jenjang tahbisan Imam. Tetapi, di Indonesia pada umumnya semua Diakon akan menjadi Pastor.


Pertanyaan ini berkaitan dengan proses pendidikan calon Pastor. Dan, persis muncul dalam pertanyaan kedua juga. Memang, untuk menjadi pastor biasanya mesti melalui sekolah khusus calon pastor yakni Seminari. Ada yang kecil (SMP), menengah (SMA), tinggi (Universitas). Tetapi, tanpa melalui tahap pendidikan ini pun, seorang masih bisa jadi calon Pastor. 

Ada yang setelah tamat SMA atau bahkan setelah lulus kuliah atau juga dari dunia kerja, baru masuk seminari. Intinya, dari mana pun asal sekolahnya, asalkan mau dibentuk seperti siswa seminari, dia akan bisa menempuh pendidikan calon Pastor.

Maka, asal ada yang mau dan berminat, tanpa masuk seminari pun, umat Muara Fajar bisa mengajak anak-anaknya untuk menanggapi panggilan khusus ini. Seminari sebagai tempat bisa dihadirkan dalam keluarga Kristiani. Gereja Katolik selalu menekankan bahwa, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama dalam membina kehidupan anak-anak. Saat keluarga Kristiani menerapkan pola dan maksud Gereja ini, saat itulah keluarga itu akan menjadi seminari bagi anggota keluarganya.


Muara Fajar akan mekar seperti mentari pagi. Di Muara ini, presentasi kami mesti berakhir. Dengan harapan, Fajar panggilan itu akan segera terbit. Baik Muara maupun Fajar muncul hari ini atas kerja sama yang baik dari Pastor Pancani SX beserta tim animasi: Fika, Clara, Ira, Delfi, dan Rini, Bang Idin (nahkoda perjalanan) dan keluarga yang baik dari Stasi Muara Fajar.

Jayalah selalu Muara Fajar. Dari dua kiranya menjadi banyak. Banyak bertanya, banyak tahu. Banyak tahu, banyak mengerti. Banyak mengerti banyak memahami. Setelah paham, ajaklah anak-anak kalian menanggapi panggilan khusus ini. Amin

BM, 10/09/2017
Gordi SX

IMAN YANG HAUS



Iman rupanya bisa membuat seseorang menjadi haus. Haus akan pengetahuan. Ibarat rusa di padang rumput, seseorang akan mencari dan terus mencari sumber kepuasan dahaganya. Iman dengan demikian amat dekat dengan pengetahuan. Boleh jadi, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama.

Memang, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama. Penegasan ini dicetuskan juga oleh Agustinus (354-430), Filsuf dan Teolog kondang dari Tagaste, Afrika. Agustinus mengibaratkan iman dengan ‘percaya’ dan pengetahuan dengan ‘pengertian’. Maka, kata Agustinus: Saya mengerti untuk percaya, dan saya percaya untuk mengerti. Dalam Bahasa Latin, ekspresi ini berbunyi Credo ut intelligam, intelligo ut credam. Dengan demikian—tutur Agustinus—iman dan pengetahuan akan saling melengkapi.


Karena saling lengkap, iman pun mesti diseimbangkan dengan pengetahuan. Jika tidak seimbang, keduanya akan sangat berbahaya. Bisa jadi orang akan menjadi konservatif. Atau juga, orang menjadi ekslusif, percaya buta, percaya tanpa dasar, dan sebagainya. Agustinus pun dengan tegas mengatakan hanya mereka yang mempunyai iman, bisa percaya sepenuhnya. Sebaliknya, siapa yang hanya mempunyai iman saja (tanpa pengetahuan-red), tidak akan bisa percaya sepenuhnya. Dengan kata lain, iman perlu dilengkapai dengan pengetahuan. Iman tanpa pengetahuan belum lengkap. Demikian juga, pengetahuan tanpa iman.

Iman dan pengetahuan inilah yang kami temukan dalam animasi ke-13 di Stasi Petapahan. Di sini, di dalam gedung Gereja Katolik St Thomas, iman dan pengetahuan itu dilengkapi. Diskusi dan tanya jawab adalah sarana yang digunakan untuk melengkapi kedua hal ini.


Sebelum sampai pada bagian ini, tim animasi dari Paroki St Paulus Pekanbaru, memaparkan sedikit latar belakang kegiatan animasi. Penjelasan ini akan dilengkapi cerita pengalaman panggilan saya pada babak kedua. Kedua seri ini pun dilengkapi dengan bagian ketiga berupa tanya jawab dan diskusi.

Dari berbagai pertanyaan yang muncul, bisa disimpulkan bahwa umat di Stasi ini amat haus pengetahuan. Boleh jadi terlalu sulit untuk menilai kadar iman mereka, tetapi pengetahuan iman mereka bisa diukur.  

Boleh jadi Santo Agustinus akan merasa senang dengan diskusi kami sore ini. Kami memang sedang melengkapi iman kami dengan pengetahuan. Maka, segala pertanyaan yang berkaitan dengan iman pun diajukan. Dari hal-hal sederhana sampai pada hal yang sulit.

Mulai dengan pertanyaan seputar panggilan hidup: apa perbedaan antara Imam Projo dan Imam Religius dari Kongregasi/Ordo/Serikat, apa perbedaan antara Diakon dan Imam/Pastor. Ada juga pertanyaan seputar proses menjadi Imam: apakah butuh biaya, berapa lama pendidikannya.


Dari pertanyaan intern ini, ada juga yang berkaitan dengan gereja: Apa perbedaan antara Gereja Katolik Roma dan Gereka Katolik Ortodoks, Mengapa Pastor itu mesti menjadi Misionaris sementara di Indonesia ada kekurangan pastor.

Dari sini, tampak bahwa animasi sore ini selain bisa memperkenalkan siapakah saya, juga untuk memuaskan dahaga iman kami. Terima kasih untuk umat Stasi Petapahan yang meski jumlahnya sedikit tetapi banyak mengajukan pertanyaan.

Kiranya rentetan pertanyaan ini menjadi pembuka jalan bagi diskusi selanjutnya. Dahaga iman pun dilengkapi dengan dahaga raga kami melalui santap malam. Santapan ini menjadi berahmat Karena bertepatan dengan malam takbiran bagi umat Muslim yang esok akan merayakan Idul Adha, perayaan kurban. Kami ikut berbahagia pada Perayaan Kurban ini.

BM, 1/09/2017
Gordi  





WAJAH YANG POLOS


Mungkin perlu wajah yang polos untuk menikmati keindahan seorang wanita. Itu berarti, wajah itu tanpa kosmetik. Dengan itu, kecantikan yang ada muncul dari kedalaman dan bukan dari penampakan polesan kosmetik. Di tengah kepolesan berbagai hal mulai dari kosmetik, makanan, sampai pada pengalaman iman, kita butuh kepolosan dalam berelasi dengan Tuhan.

Kepolosan seperti itu muncul dari suara seorang adik SD sore ini (18 Agustus). Suara itu terdengar indah dan menggugah.

“Kak, boleh kita foto bersama?” tanya seorang anak di Stasi Majuah-juah, Paroki St Paulus. Saya yang sedang mencek pesan masuk di hp sontak kaget dan membalas dengan senyum sambil menatap wajah adik itu.

“Ayo, tentu saja kita bisa berfoto bersama,” jawab saya sambil memeluknya.

Kami pun siap berfoto. Teman-teman lain dikumpulkan dalam barisan. Ada dua baris. Saya berada di barisan kedua bersama beberapa adik SD itu. Yang lainnya di depan. Ada beberapa hp yang mengabadikan barisan kami saat itu. Beberapa dari adik-adik ini bergiliran memberikan hp pada sang fotografer bergilir. Seolah-olah mereka tidak mau kehilangan momen ini. Boleh jadi, mereka merasa bangga sekali bisa berfoto bersama sore itu.

Saya senang dan bangga bisa berkumpul bersama mereka pada saat itu. Kalau boleh bilang, mereka adalah sahabat-sahabat yang langsung akrab pada saat itu. Kesempatan ini memang datang setelah Perayaan Ekaristi yang kami rayakan. Pada saat itu, saya membagikan pengalaman panggilan saya. Boleh jadi, mereka sudah mendengar cerita saya. Atau paling tidak, mereka sudah melihat saya. Jadi, tentu saja, kami bukan orang asing satu sama lainnya. Kami sudah saling kenal. Hanya saja masih disekat oleh rasa malu dan enggan sehingga permintaan itu pun seakan-akan begitu berjarak. Tetapi, justru permintaan itu adalah gambaran kepolosan seorang anak.

Permintaan adik tadi mengingatkan saya akan wajah-wajah polos di tempat lainnya yang saya temukan dalam kegiatan animasi panggilan ini. Wajah mereka menampakkan pemandangan yang bukan saja indah untuk dilihat, tetapi juga menarik untuk didekatkan. Itulah sebabnya, permintaan itu bukan saja sekadar ingin berfoto. Saya malah melihatnya sebagai sebuah ajakan untuk saling menguatkan dan berbagi. Hanya dalam kepolosanlah, kita bisa saling menguatkan dan berbagi.


Beberapa teman dari Italy berkomentar tentang foto itu. Ada yang bilang, Gordi, kamu sudah di jalan yang benar, anak-anak ditempatkan di barisan pertama, (Giorgio R). Boleh jadi ini sebuah keajaiban. Tidak ada pikiran untuk menempatkan mereka seperti itu sebenarnya. Tetapi, bagus juga ketika ada sahabat yang menilainya seperti itu.

Penilaian itu juga menaruhkan harapan yang indah akan masa depan Gereja dan Bangsa kita. Ada yang berkomentar, Gordi, sungguh indah melihat kamu berada di tengah masa depan ini. Merekalah harapan kita, (Nama samaran). Harapan memang selalu menjadi ciri khas anak-anak dan kaum muda. Maka, melihat mereka berarti melihat sebuah harapan. Kaum muda juga hendaknya memiliki harapan. Uskup Parma, Monsinyur Enrico Solmi dalam pesannya kepada kaum muda di Kota dan Keuskupan Parma pada 2016 yang lalu berpesan agar kaum muda memiliki harapan untuk bisa memperbaiki kota dan Gereja di kota Parma. Ia lalu menantang kaum muda dengan kata-kata seorang santo. Katanya, “Anak muda yang tidak memiliki mimpi adalah anak muda yang mati.”

Harapan selalu terkait dengan kehidupan. Itulah sebabnya, tanpa harapan sama dengan tanpa kehidupan. Dan, tanpa kehidupan sama maknanya dengan sebuah kematian. Entah kematian fisik, ide, kehidupan, pikiran, perbuatan, relasi, dan sebaginya.

Akhirnya, terima kasih kepada adik-adik yang polos dari Stasi Menjuah-juah. Wajah kalian akan saya ingat dan akan saya pandang terus menerus.

BM, 21/8/2017
Gordi

GEREJA DI TENGAH SAWIT


Gereja hadir di mana-mana termasuk di tengah Kebun Sawit. Inilah yang kami lihat hari ini. Gereja memang selain berarti gedung fisik juga kumpulan umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Maka, di mana umat hadir, di situlah Gereja hadir.

Gereja ini boleh dibilang berwajah Kebun Sawit. Wajahnya ini mengelilingi gedung sederhana itu. Gereja itu—seperti Kebun Sawit—tidak lepas dari kehidupan warganya. Jika sawit adalah salah satu denyut nadi kehidupan warga, Gereja juga hadir menjadi bagian dari kehidupan warga.

Dari jalan tanah tampak nama gereja itu: Gereja Katolik, Stasi St. Dominikus-Tambusai. Tulisan Gereja Katolik itu makin memperjelas identitas bangunan itu. Identitas ini ditambah dengan lambang salib di atas bubungan gereja. Dari jauh, tamu boleh menebak gedung ini.

Saya sendiri langsung menebaknya sebelum memasuki gerbang gereja. Tebakan ini seolah-olah menyapa kami sebagai tamu. Saat masuk di pelataran gedung gereja, umat berdatangan memberi salam. “Selamat pagi, selamat pagi,” sapa mereka. Saya dan teman-teman dari Pekanbaru langsung menjawab sapaan itu sambil membagikan senyum indah di siang bolong itu.



Salam itu tidaki berhenti di sini. Umat lain pun berdatangan satu per satu. Mereka pada umumnya datang dengan sepeda motor. Hanya beberapa yang berjalan kaki. Menurut beberapa umat, yang berjalan kaki biasanya yang rumahnya dekat. Atau juga memilih jalan kaki sekadar untuk bercerita. Ini menarik. Daripada naik motor tanpa obrolan, lebih baik berjalan kaki sambil bergurau.

Yang naik sepeda motor juga ada untungnya. Mereka tiba lebih cepat juga untuk ngobrol sama umat lainnya. Obrolan mereka kiranya memberi penegasan tentang kehidupan mereka. Mereka pada umumnya hidup berdampingan, berdekatan, harmonis, saling kenal, dan aman tenteram.

Di rumah sebelah gereja, kami melihat ada Ibu berjilbab. Identitasnya pun sudah jelas. Dia muslim. Dengan jilbabnya, Ibu ini bukan saja memberi tahu kami bahwa dia muslim, tetapi dia membalas sapaan kami. Saya yang orang baru hanya memberi senyuman dan anggukan sebagai tanda hormat. Dia tetap membalasnya meski kami tidak saling kenal.

Dari sini saja sudah bisa ditebak, mereka hidup berdampingan. Identitas ini makin tampak dalam obrolan di dalam gereja sebelum misa dan saat makan bersama setelah misa. Hidup berdampingan seperti ini kiranya menjadi bahan pelajaran bagi orang kota. Cara hidup tertutup dan cuek di kota membuat orang-orang di sini bisa jadi panutan. Rumah mereka memang tidak berpagar seperti di kota. Dengan ini, mereka dengan mudah berinteraksi satu sama lain.

Selesai misa, kami makan bersama di rumah salah satu umat. Suasana persaudaraan dan kedekatan makin terasa. Kami semua tertampung di dalam rumah besar ini. Saya membayangkan betapa murah hatinya pemilik rumah ini. Dia tentunya mengeluarkan biaya besar untuk menyiapkan makanan dan minuman. Berapa kilo gram berasnya, berapa biaya lauknya, berapa biaya untuk minuman kopinya, waktu dan tenaga untuk menyiapkannya, dan sebagainya. Biaya ini tentu besar jika dihitung semuanya.

Biaya ini—bagi orang kota—tentunya amat besar lagi. Tetapi, biaya ini seolah-olah tidak begitu besar bagi orang sederhana di tengah kebun sawit ini. Jika biayanya terasa besar dan berat, pasti mereka tidak bisa tersenyum satu sama lain. Rupanya mereka semua tersenyum dan berguyon ria. Ekspresi ini kiranya menunjukkan bahwa biaya ini bagi mereka bukan sebuah beban. Biaya ini justru mempererat persatuan mereka.

Terima kasih untuk keluarga Bapak Sirait yang sudah menyuguhkan hidangan istimewa. Air putih, kopi pahit, nasi-sayur-daging ayam, dan guyonan yang menghidupkan. Sampai jumpa di lain kesempatan.

BM, 11/08/2017
Gordi

MEREKA MENCARI TUHAN 


Di Barat saat ini, pencarian akan Tuhan tidak lagi dengan jalan pengalaman. Mereka lebih cenderung mencarinya dengan jalan pengetahuan atau akal budi. Maka, jika akal budi tak menemukannya, Tuhan itu pun langsung disingkirkan dari kehidupan. Kehidupan dengan Tuhan—dengan demikian—berarti kehidupan dengan akal budi yang mampu memahami Tuhan.

Di Timur, pencarian akan Tuhan lebih cenderung dengan jalan pengalaman. Itulah sebabnya Tuhan mereka adalah Tuhan yang dihidupi dan bukan Tuhan yang dipahami. Orang Timur tidak terlalu repot dengan memahami Tuhan. Mereka lebih cenderung repot dengan mengalami Tuhan.

Cara hidup orang Timur ini saya lihat hari ini. Mereka datang dari berbagai wilayah di sekitar Danau Kota Panjang, Riau untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan perahu kecil, mereka datang berkelompok 5-8 orang. Mereka terbiasa mengarungi danau itu sekitar 45 menit sampai 1 jam untuk sampai di Gereja Katolik St Antonius. Perahu itu hanya didorong oleh mesin berkekuatan 1 Kilo. Tampak seperti mesin potong rumput yang digendong. Meski kecil, mesin itu mampu mendorong perahu berisi 5-8 orang.


Boleh jadi orang kota melihatnya luar biasa. Tetapi bagi mereka ini biasa. Mereka biasa datang bertemu Tuhan. Tuhan bagi mereka tetaplah Dia yang diyakini, disembah, dan dijelmakan dalam hidup. “Kami selalu datang ke gereja, kapan pun Pastor datang,” komentar Firman, salah 1 dari 3 nahkoda perahu yang menjemput kami siang ini.

Seperti mereka, kami juga mencari Tuhan. Kami berlima (Ibu Minhui, Pastor Franco, SX., dua teman dari Italia—Luca dan Lucas—serta saya sendiri) berangkat dari pastoran pada pukul 08.00. Perjalanan ini rupanya panjang. Kami melewati beberapa kabupaten sebelum sampai di dekat Danau Kota Panjang.

Perjalanan darat ini memakan waktu 3 jam. Melewati jalanan berkelok, lebar dan sempit, sedikit bergelombang, dan variasi lainnya. Saat kami tiba di dekat danau, 3 nahkoda mungil menyambut kami. Mereka rupanya sudah menyiapkan perahu. Kami lalu menurunkan perlengkapan perjalanan dari mobil dan langsung menuruni tangga menuju pelabuhan ala kadarnya.


Perjalanan selanjutnya selama 45 menit adalah menyusuri danau ini. Kami dibagi dalam 2 perahu. Kami bertiga plus semua perlengkapan perjalanan. Di perahu lainnya bertiga plus 2 nahkoda Aris dan Firman. 

Perjalanan ini menjadi menarik sekali karena bumbu perjalanan yang kami nikmati. Berbagi pengalaman dengan sang nahkoda baik selama perjalanan pergi maupun pulang. Sambutan hangat dari umat. Sambutan mereka sungguh menampakkan kekayaan kehidupan mereka yang sederhana. Mereka tidak bekerja pada hari-hari kerja seperti ini tetapi rupanya mereka bekerja hanya pada pagi hari.

Saya merasa senang berada di tengah mereka. “Kalian memberi saya cinta dan kasih sayang sehingga saya merasa seperti di rumah sendiri,” kata saya pada mereka. Mereka tersenyum haru. Senyum ini mereka tampakkan selama Misa dan setelah Misa. Ibu Minhui kiranya puas melihat senyum mereka saat ia menjelaskan maksud kedatangan kami.

Senyum ini terus mereka munculkan pada saat kami makan siang bersama di rumah Ketua Stasi. Sungguh senyum yang luar biasa. Dengan senyum itu pun, kami bisa berkomunikasi. Saya membantu menerjemahkan beberapa kalimat dari bahasa Italia kepada mereka semua baik anak muda maupun orang tua. Juga untuk menjelaskan kepada teman-teman Italia tentang kalimat yang mereka sampaikan.

Tetapi terjemahan yang paling pas adalah dengan bahasa senyum dan bahasa tubuh. Kedua bahasa ini mempunyai kekuatan yang dahsyat. Akhirnya, dengan senyum ini juga, kami dan mereka mencari Tuhan hari ini. Terima Kasih Yesus atas bimbingan-Mu sepanjang perjalanan kami, dari pagi sampai sore hari ini.

BM, 10/08/2017
Gordi

FISIK TUA, SEMANGAT MUDA



Fisik tua, semangat muda. Ini kiranya bisa menggambarkan keadaan anggota kor di Pekanbaru. Sebagian dari mereka berfisik tua, tetapi sebagian besar lagi berfisik muda. Yang tua boleh jadi berjiwa muda, tetapi yang muda juga lebih bersemangat muda.

Jiwa muda ini menjiwai latihan kor malam ini. Sang dirigen di depan memimpin dengan ketagasan nan lembut. Dia tersenyum saat suara mereka bagus dan tetap tersenyum saat suara mereka kurang bagus. Namun, setelah itu, dia akan memberikan penilaian yang tegas.


Dia akan meminta untuk mengulangi beberapa bait yang salah. Permintaannya dengan senyum manis dan suara yang tegas. Tegas dan senyum kiranya sikap yang pas untuk menumbuhkan jiwa dan semangat muda. Sang dirigen kiranya tahu betul, dua sikap ini mampu mengambil hati anggota kor. Lebih dari hati, dia pun mengajak mereka untuk memberikan suara yang merdu.

Inilah pemandangan malam ini dalam latihan kor. Mereka menyanyi untuk saya yang akan menerima anugerah Agung pada 21 Oktober nanti. Mereka tidak kaget saat saya hadir ditengah mereka. Mereka biasa-biasa saja. Rupanya mereka belum tahu siapa saya. Sebagian yang sudah tahu tersenyum-senyum saja. Begitu tahu, mereka langsung kaget dan memandang ke arah saya.

Pandangan itu antara cinta dan kasih sayang. Cinta karena mereka memang mencintai saya. Kasih sayang karena mereka sudah memberikan kasih sayang itu pada saya. Mereka—meski lelah dari tempat kerja—tetap bersemangat untuk datang latihan. Mereka begitu mencintai saya. Dengan suara, gerakkan tangan, tekanan jari di tuts keyboard, pukulan tangan di tambur, dan sebagainya. Dengan alat musik, cinta dan kasih itu menjadi makin lengkap. Dengan suara merdu, cinta dan kasih itu makin bergema.

Terima kasih untuk kalian semua.

BM, 9/8/17
Gordi

Powered by Blogger.