Halloween party ideas 2015
Showing posts with label TEOLOGI. Show all posts

TIGA MISI YESUS MENURUT MATIUS
 
FOTO: pixabayfree
Tercatat 3 misi Yesus dalam Injil Matius Bab 4 dan Bab 9. Ketiganya bisa ditemukan dalam kutipan 4:23 dan 9:35. Ini berarti mesti dibaca secara keseluruhan dari bab 4 ke bab 9.

Untuk memahami misi Yesus memang tidak gampang. Tidak cukup membaca satu perikop. Mesti dilihat perikop sebelum dan sesudahnya. Dalam 3 misi ini pun, pembaca hendaknya melihat bab 4,5,6,7,8, dan 9. Misi ini pada akhirnya akan ditemukan dalam kegiatan membaca ini. Maka, membaca adalah misi.

Dalam 2 kutipan di atas terdapat rumusan yang sama. Bisa dirangkum demikian: Yesus berkeliling di Galilea dan semua kota dan desa, mengajar di rumah ibadat, memberitakan Injil Kerajaan Allah, dan melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.

Inilah ketiga misi Yesus. Misi ini diwartakan kepada setiap orang. Itulah sebabnya, inisiatif awal datang dari Yesus yang berkeliling. Berkeliling bukan tanpa tujuan tetapi dengan misi yang jelas.

BA, 10/10/2017
Gordi SX




GAMBARAN MANUSIA MENURUT INJIL
 
FOTO: pixabayfree
Seperti apakah gambaran manusia menurut Injil? Pertanyaan ini mesti digali dan ditemukan jawabannya dalam Injil, pedoman hidup orang Kristiani.

Tema manusia menurut Injil ini menjadi pergelutan selama retret persiapan tahbisan saya. Pastor Daniel SX membantu saya menemukan jawabannya dalam Injil Matius Bab 8-10.

Pastor Daniel mencintai Injil Matius dan menghabiskan banyak waktunya untuk membaca komentar tentang Injil ini. Dari sini, ia beranjak ke injil lainnya.

“Saya mulai dengan Injil Matius,” komentarnya tentang kebiasaan membaca pesan Injil.
“Memahami Matius membantu saya untuk berbuat serupa dengan Injil lainnya,” tegasnya.

Soal Injil memang bukan hal baru bagi Pastor yang lama berkarya di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat ini.

“Saya harus terbiasa untuk membaca komentar Kitab Suci. Sebab, saat berada jauh di hutan Mentawai, saya tidak mungkin membawa buku-buku komentar,” jelasnya dengan penuh percaya diri.

Kebiasaan inilah yang ia bawa juga saat bertugas di Jakarta. Di sana, ia memberikan beberapa kursus Injil Sinoptik bersama umat Paroki St Matius Bintaro. Saat di Pranovisiat dan Novisiat (2006-2008), saya juga ikut kursus ini. Saat itu, Injil Markus sedang ramai dibahas. Hanya beberapa bab saja sesuai kemampuan umat.

Titik pusatnya saat itu memang bukan soal menginterpretasikan Injil tetapi mencari pesan Injil secara bersama-sama. Dalam kebersamaan, ada tindakan berbagi. Jadi, berbagi dalam semangat Injil.

Menurut Pastor Daniel, ketiga Bab dari Matius ini akan dibaca dengan trik tertentu. Bagian ini berisi kumpulan mukjizat dan wejangan. Di antara beberapa mujizat, ada wejangan atau penjelasan atau selipan tentang kemuridan.

Selipan ini bisa dimengerti jika perikop sebelum dan sesudahnya dibaca dengan saksama. Maka, dari sini lahir skema atau trik membaca. Dalam bab 8 misalnya, ada 3 mukjizat. Setelahnya, ada selipan penjelasan tentang kemuridan Yesus. Kemudian, lanjut dengan 4 mukjizat berikutnya yang diikuti dengan penjelasan soal kemuridan lagi. Skema ini berkembang terus menerus seperti ini.

Dari sini, gambaran manusia menurut Injil akan terlihat. Gambaran ini kiranya akan berguna di tanah misi. Boleh dibilang, gambaran ini akan menentukan cara pendekatan terhadap berbagai realitas manusia yang ada.

Dalam bagian akhir pengantar ini, ada kata-kata menarik dari Pastor Daniel. Katanya, “Hidup seorang Kristiani bukanlah datar-datar saja tetapi mesti bercukacita.”

Maka, kalau datar-datar saja, boleh jadi tidak ada sukacita di sana. Saya cenderung datar atau ada sukacitanya juga?

BA, 10/10/2017
Gordi SX



Puasa Katolik: Ampun Seribu Ampun
 
FOTO: cantualeantonianum.com
Hanya debulah aku
Di alas kaki-Mu Tuhan
Hauskan titik embun
Sabda penuh ampun

Ampun seribu ampun
Hapuskan dosaku
Segunung sesal ini
Kuhunjuk pada-Mu

Syair ini adalah penggalan lagu berjudul “Hanya debulah aku”. Lagu ini bernada lambat penuh sesal dan bergaya Sunda. Inilah salah satu lagu yang paling tenar—di Gereja Katolik Indonesia—selama masa puasa. Masa puasa ini akan berlangsung selama 40 hari sampai pada Pesta Paskah nanti. Tahun ini, masa Puasa atau juga disebut Prapaskah ini dimulai pada tanggal 1 Maret kemarin.

Lagu di atas menggambarkan sejarah awal manusia. Manusia berasal dari debu. Tampak seperti tidak ada apa-apanya. Nilainya hanya sebatas nilai debu. Memang, manusia tidak bernilai apa-apa terutama di bandingkan dengan Tuhan. Nilainya hanya sebatas debu. Di mata manusia, debu hanyalah sebuah wujud ringan yang mudah terbang ke sana ke mari oleh angin. Debu yang tak bernilai ini rupanya menjadi sesuatu yang bernilai di mata Tuhan. Ya, manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.

Tuhan kiranya tidak salah memilih debu menjadi sarana untuk membentuk manusia. Debu bersifat ringan sehingga mudah terbang. Manusia kadang lupa akan sifat asalinya ini. Manusia kadang menjadi berat sekali. Berat untuk membantu sesama, untuk mengambil inisiatif, untuk mengakui kesalahan sendiri, untuk berdiam sejenak sebelum berkomentar, dan berat-berat lainnya. Manusia yang berat—dengan demikian—adalah manusia yang lupa akan dirinya.

Manusia hanyalah sebuah butiran debu sehingga mestinya ringan. Kalau menjadi berat, boleh jadi manusia itu menampung debu lain yang tak berguna. Debu yang kotor biasanya lengket dan akan menjadi tebal. Ketebalan ini membuat debu menjadi makin berat.

FOTO: globalplus.thearda.com

Dalam Gereja Katolik, masa puasa sering diidentikkan dengan masa untuk berubah. Dalam bahasa rohaninya disebut masa untuk bertobat. Perubahan inilah yang diperjuangkan oleh umat Katolik selama 40 hari. Berubah terutama dari yang buruk menjadi yang baik. Maka, perubahan yang utama adalah yang berasal dari diri sendiri. Masa puasa dengan demikian bukan masa untuk menunjuk pada orang lain tetapi terutama dan pertama-tama menunjuk pada diri sendiri.

Inilah perubahan yang asli dan murni. Karena asli dan murni, umat Katolik pun tidak boleh melarang orang lain untuk tidak menjual makanan yang enak dan menggoda selama masa puasa. Puasanya akan makin baik jika Anda melihat makanan itu dan tidak tergoda untuk memakanannya dengan penuh nafsu. Tetapi, jika Anda melarang orang lain untuk berjualan, ini bukan puasa lagi. Ini namanya membatasi kebebasan orang lain. Dan, ini tentu saja bertolak belakang dengan nilai masa puasa yakni berjalan menuju pembebasan.

Di Italia—negara bermayoritas Katolik—tidak ada larangan menjual makanan selama masa puasa. Mereka tahu, kalau ada larangan, roda perekonomian berhenti berputar. Gereja Katolik sendiri memang tidak melarang hal ini. Malahan, Gereja memberi kebebasan pada umatnya untuk menikmati semuanya ini dalam semangat berpuasa. Maksudnya, Anda tetap berpuasa dalam situasi seperti ini. Sebab, bukan mereka yang berpuasa tetapi Anda, sehingga Anda mesti menyesuaikan diri dengan mereka, dan bukan sebaliknya. Menarik sekali.

Perubahan erat kaitannya dengan pengharapan. Hanya mereka yang punya harapan-lah yang biasa berubah. Atau sebaliknya, orang yang mau berubah adalah orang yang memiliki pengharapan. Maka, seberat apa pun kesalahan itu, selalu ada kemungkinan untuk dimaafkan. Inilah pengharapan. Lagu di atas tadi—khususnya bait ke-2—menggambarkan pengharapan ini. Manusia memohon ampun atas kesalahannya dan pada akhirnya dia akan kembali pada jalan yang Tuhan tunjukkan.

Pengharapan ini menjadi salah satu tema penting dalam puasa umat Katolik. Paus Fransiskus dalam audiensi Rabu-an kemarin menyinggung soal ini. Paus bilang bahwa masa puasa adalah sebuah jalan pengharapan. Jalan ini kadang berat. Bayangkan selama 40 hari, umat Katolik mesti berpuasa. Puasa ini konkretnya dalam 3 bentuk yakni berpantang, berdoa, dan memberi sedekah. Berpantang di sini tidak terkait dengan larangan minum dan makan ini atau itu. Pantang yang dianjurkan oleh Gereja Katolik adalah pantang makan daging terutama sekali pada Rabu Abu (awal masa puasa) dan Jumat Agung (jelang akhir).
 
Billy Ray Harris, seorang pengemis di Kansas City, FOTO: scuolazoo.com

Namun, pantang dalam bentuk lainnya bisa dipilih sendiri. Asal niatnya jelas untuk berubah. Maka, umat Katolik pun misalnya bisa pilih pantang rokok selama masa puasa, pantang makanan tertentu yang paling ia sukai, pantang judi—jika ia penjudi. Pantang di sini bertujuan agar dia menyadari keadaannya dan berubah ke jalan yang baik. Maka, inti dari pantang adalah kembali menjadi diri sendiri yang berubah. Pantang—dengan demikian—bukan sekadar tidak berbuat ini dan itu tetapi lebih pada motif mengapa saya mesti menanggalkan kebiasaan ini dan itu.

Hal yang sama berlaku untuk berdoa dan bersedekah. Berdoa mestinya ditingkatkan selama masa puasa. Jika selama ini mungkin hanya berdoa untuk diri sendiri, di masa puasa diusahakan berdoa juga untuk orang lain, untuk negara, dunia, gereja, warga yang terkena bencana, yang kelaparan, yang susah mendapat layanan pendidikan, yang terkena gizi buruk, yang hidup dalam peperangan, dan sebagainya. Berdoa model ini tidak berpusat pada diri sendiri tetapi pada orang lain. Oleh karena itu, doa ini mesti lahir dari lubuk hati yang paling dalam.

Bersedekah juga menjadi satu dari tiga hal yang dianjurkan selama masa puasa. Bersedekah di sini lebih berarti memerhatikan keadaan orang lain. Jika dalam berdoa, perhatian ini terutama dijiwai dengan doa, dalam bersedekah perhatian ini menjadi nyata. Maka, memberi—sebesar atau sekecil apa pun—menjadi amat penting. Bersedekah—dengan demikian—bukan terutama pada jumlah bantuan tetapi pada kerelaan hati untuk memberi.

Rasa-rasanya puasa seperti ini sulit sekali. Umat Katolik pun tentunya merasakan sulitnya. Maka, jika Anda tidak ingin merasakan keadaan yang sulit, jangan memilih menjadi orang Katolik. Kesulitan ini rasa-rasanya seperti berjalan dalam gelap. Paus Fransiskus pun menggambarkan kesulitan ini seperti berjalan dalam kegelapan. Tetapi—menurut Paus—di ujung jalan ini ada terang. Itulah sebabnya, Paus menamai masa puasa sebagai masa pengharapan.

Pengaharapan ini—lanjut Paus Fransiskus—nyata dalam perjalanan dari gelap menuju terang. Dalam sejarahnya, masa puasa 40 hari ini mau menggambarkan perjalanan umat Israel menuju Tanah Terjanji. Umat Israel—sebagaimana diceritakan dalam Perjanjian Lama—bahkan berjalan lebih dari 40 hari. Perjalanan mereka disimbolkan dengan angka 40 tahun. Ini berarti makin lama lagi. Ini memang hanya angka simbolis saja. Maka, Gereja Katolik memilih untuk menyimbolkannya juga dengan 40 hari dalam setiap tahunnya.

Perjalanan ini selain melelahkan tentu melewati lorong-lorong gelap. Dalam gelap, biasanya akan kelihatan jati diri manusia. Menurut Paus Fransiskus, jati diri manusia adalah rapuh dan penuh dosa. Dosa-dosa dan kerapuhan ini disimbolkan dalam perjalanan selama 40 tahun ini. Dosa—tegas Paus—pada umumnya mengikat manusia. Maka, begitu jatuh dalam dosa, sulit sekali untuk bangkit.
 
Abu di dahi, FOTO: duepuntotre.it
Manusia—betapa pun dia jatuh—mestinya bisa bangun lagi. Proses bangun kembali ini adalah masa untuk mencari kebebasan. Jika dosa bersifat memikat, perjalanan dalam gelap ini bersifat membebaskan. Puasa dengan demikian adalah perjalanan menuju pembebasan. Jika umat Israel ingin bebas dari perbudakan, umat Katolik berjalan dan ingin bebas dari budak dosa.

Perjalanan menuju pembebasan ini butuh waktu panjang. Tidak bisa bebas dalam waktu singkat. Itulah sebabnya, Paus Fransiskus mengatakan masa puasa hendaknya dibuat setiap hari. Perjalanan menuju pembebasan mesti dibarui setiap hari. Hanya dengan ini, perjalanan panjang ini tidak akan terasa berat.

Selamat berpuasa untuk umat Katolik. Inilah ramadhan bagi mereka. Semoga menjadi masa yang betul-betul memperbarui diri sendiri. Ingat, jalannya berat, gelap, tetapi mestinya tetap ingat akan pengharapan. Sebab, di ujung sana ada terang. Seperti Yesus yang mengalami sengsara, pada akhirnya nanti akan bangkit pada Minggu Paskah. Sengsara Yesus diingatkan terus dan bahkan dihidupi lagi setiap hari Jumat selama masa Prapaskah dengan ibadat Jalan Salib. Salib bagi orang Yahudi adalah simbol kegagalan dan kejahatan, namun bagi orang Katolik, Salib adalah simbol kemenangan. Menang dari dosa. Sebab, Salib bukan akhir tetapi jalan menuju kebangkitan alias hidup kembali.

Selamat ber-ramadhan ria bagi umat Katolik.

BACA JUGA: ABU DI DAHI TANDA PERTOBATAN

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 2/3/2017
Gordi

*Dari postingan saya di sini

KAMI MAU MENUTUP MATA
 
gambar dari internet
Terima kasih Tuhan untuk pengalaman hari ini...
Kini kami anak-anakmu hendak merunduk..menutup mata, berdiam diri sejenak sampai besok pagi....
Kami sadar Engkaulah yang mengendalikan kehidupan kami saat kami tidur...
Maka kami ingin berpamit denganmu...
Semoga kami bangun esok pagi dengan semangat baru....
selamat malam..
dan selamat bobo....
God Bless Us..

Status facebook 6 Agustus 2012


PA, Gordi

ilustrasi, americamagazine

Hari ini akan berakhir
Waktu telah diberikan
Dari pagi hingga malam

Kita akan beristirahat
Kesempatan menampung tenaga
Kelak, esok bangun lagi

Dari pagi hingga malam
Banyak pekerjaan
Malam rasanya capek

Dari pagi
Belum bertemu anak-anak
Malam bercengkarama

Hanya syukur yang terucap
Atas segala yang diberikan
Sepanjang hari ini

Terima kasih
Pada Dia yang memberi
Kita sudah menerima banyak

Malam pengganti siang
Siang menjadi waktu tuk bekerja
Meski ada yang kerja malam

Mayoritas bekerja siang
Malam hari untuk bersyukur
Syukur atas pekerjaan

Kutulis ini sebagai akhir hari
Muncul dari renungan
Atas pekerjaan sepanjang hari

PA, 26/2/13

Gordi

foto oleh gpidsacramento
Lampu-lampu kerlap-kerlip menyala di mana-mana, khususnya di gereja-gereja dan rumah-rumah umat Kristiani. Berbagai warna memancarkan kekhasannya, merah, kuning, putih, biru, hijau, dan sebagainya. Inilah keragaman manusia. Hiasan-hiasan indah terpasang di pintu gereja, di sekitar kandang natal di dalam gereja, di sekitar altar gereja. Semuanya ini memperindah dan menciptakan suasana khusus. Memang, umat Kristiani sedang merayakan pesta Natal, pesta kelahiran Yesus Kristus.

Seorang teman bercerita, semasa kecil, perayaan Natal merupakan perayaan besar, ramai, dan khusyuk di kampungnya. Satu keluarga bersama masyarakat ikut bergembira menyemarakkan pesta ini. Saat itu, tak ada hal lain kecuali semua orang bersatu dan bergembira bersama. Tiap orang berjabatan tangan dengan tetangganya sambil mengucapkan “Selamat Pesta Natal”.

Kita lihat di media beberapa hari belakangan, keluarga-keluarga Kristiani menyiapkan kue dan jenis makanan lainnya. Mulai dari yang tradisional sampai kue dan makanan khusus yang dipesan di rumah makan elit. Kantong dikuras untuk membeli semua itu. Entahlah umat memilih sesuai selera dan kebutuhannya. Semoga saja semua itu membantu mereka menemukan kegembiraan.

Semestinya kegembiraan Natal ini tidak berhenti di sini tetapi berlanjut terus untuk kehidupan selanjutnya. Keluarga menciptakan kegembiraan bagi anggotanya. Pemimpin menggembirakan bawahannya. Bos menggembirakan karyawan/wati dan anak buahnya. Mengutip St Kartono (Kompas, 22/12/2011), para guru menggembirakan para muridnya. Namun, kegembiraan itu semestinya tidak melulu terpaku pada hal material-fisik belaka. Ini sebuah tantangan.

Mol-mol dan pusat belanja berlomba menawarkan barang-barang dengan diskon besar menjelang Natal. Umat mungkin tergoda dengan semua itu. Hendaknya, kita ingat bahwa Yesus datang ke dunia untuk semua manusia. Oleh karena itu, kita semestinya mengingat mereka yang belum beruntung alias miskin. Romo Aloys Budi Purnomo, Pr mengatakan perayaan Natal mesti berpihak pada yang miskin (Kompas, 21/12/2011). Sebagian besar dari masyarakat Indonesia masih miskin secara ekonomi. Maka, agak kurang greget jika kita membeli barang mewah semntara saudari/a kita yang lain belum mendapatkan rezeki secukupnya.

Kemiskinan menjadi masalah besar di negeri ini. Kemiskinan ini kiranya masuk dalam kategori daerah “Lorong Gelap dan Panjang” (Romo BS Mardiadmaja, SJ dalam Kompas, 24/12/2011). Mengutip Mardi, lorong itu gelap dan panjang. Penghuninya berusaha sekuat tenaga untuk keluar namun belum berhasil juga. Pesan Natal bersama PGI-KWI tahun ini menyerukan sebuah semangat baru untuk keluar dari lorong gelap itu. Akankah terjadi bahwa “Bangsa yang Berjalan dalam Kegelapan Telah Melihat Terang yang Besar?” Hemat saya, seruan ini merupakan seruan kenabian untuk menyemangati bagsa ini keluar dari silang sengkarut kegelapan itu. Usaha ini bukanlah usaha mudah. Namun, kalau dikerjakan bersama, mulai dari diri sendiri dan mulai dari hal kecil, kiranya harapan itu tercapai.

Melihat persiapan Natal di berbagai gereja yang penuh kreasi dan juga tampaknya memakan biaya tinggi, kita mesti waspada. Paus Benediktus XVI dalam pesannya mengatakan, hendaknya kita tidak berhenti dan terpaku pada pohon Natal, tetapi menembus batas cakrawala untuk sampai pada Allah. Ada bahaya jika kegembiraan seperti diserukan pada awal tadi terletak pada persiapan material-fisik belaka. Pohon Natal dengan kemewahannya jauh dari kesan karut-marut situasi masyarakat. Semoga umat Kristiani menyiapkan hati untuk menyambut kelahiran Yesus.

Saat ini, perayaan Natal sedang dan akan berlangsung. Kita semua mengharapkan agar perayaan ini berlangsung aman hingga besok tanggal 25. Kehadiran aparat keamanan di sejumlah gereja hendaknya memperlancar acara ini. Ada yang berkomentar, kehadiran aparat keamanan justru membuat perayaan tidak nyaman. Kita menghargai upaya aparat keamanan dengan kebijakannya. Namun, semestinya mereka juga tahu umat tidak biasa mengikuti perayaan di gereja dengan kehadiran pihak keamanan. Maka, berhati-hatilah agar tidak terjadi kesalahpahaman antara aparat keamanan dan umat. Semua berjalan sesuai perannya. Selamat Natal untuk umat Kristiani yang merayakannya.

CPR, 24/12/2011
Gordi Afri


foto oleh Kait Seidel
Mengawali tahun baru 2012, saya dan ketiga teman berangkat ke daerah Puncak. Pukul 6 pagi, kami mulai menyusuri tol yang cukup lenggang. Mobil yang melaju dengan arah yang sama bisa dihitung dengan jari. Arah sebaliknya lebih banyak. Empat puluh lima menit berlalu, kami tiba di ujung tol. Selanjutnya menuju daerah Megamendung. Laju kendaraan berkurang sedikit karena ada angkot yang sering berhenti. Arah Ciawi-Puncak baru saja dibuka pukul 6 pagi. Arah sebaliknya justru semakin padat. Entah mengapa, semua meninggalkan puncak ketika tahun baru mulai. Mungkin takut macet pada siang dan sore harinya.

Pukul 7.30, kami tiba di Megamendung. Penduduk di sana masih istirahat. Menurut seorang kenalan, semalam suasana di Megamendung agak ramai. Penduduk melewatkan tahun 2011 dengan senang. Banyak yang tidur larut malam. Jangan heran jika pagi ini, mereka seperti ‘bangsawan’ alias bangun kesiangan.  Kami bercanda dan menikmati segarnya udara pagi di sekitar Gereja Katolik Santo Yakobus, Megamendung. Gereja ini letaknya agak ke dalam dari jalan raya. Suasananya hening dan damai ketika kami tiba di situ.

Meski penduduk di sekitar masih terlelap, sebagian penduduk Jakarta yang menghabiskan malam tahun baru di daerah Megamendung rela datang ke gereja mengikuti ibadat pagi ini. Pukul 8, umat mulai berdatangan. Halaman gereja mulai dipadati warga. Saya terkesan dengan pemandangan ini. Lebih terkesan lagi dengan khotbah pastor dengan tiga kata mujarab-nya. Misa yang dimulai pukul 9 ini mampu membangkitkan semangat umat. Saya merangkum khotbah itu dengan kata-kata mujarab itu, Impian, Harapan, dan Usaha.

Inilah awal tahun baru. Kalau Anda tidak mempunyai impian, Anda akan melewatkan tahun ini tanpa makna. Begitu kira-kira kata-kata pastor itu. Selanjutnya dia menjelaskan demikian. Namun, impian saja tidak cukup. Saya kira belum ada orang yang hidup hanya dengan bermimpi. Anda mesti menaruh harapan akan impian itu. Mimpi itu mesti menjadi kenyataan. Di sinilah butuh harapan. Mimpi dan harapan menjadi lengkap ketika Anda berusaha. Usaha dengan diawali impian dan harapan akan mengantar Anda pada pemaknaan hidup di tahun baru ini.

Beginilah kami mengawali tahun baru ini. Saya dan beberapa teman mengamini khotbah pastor itu. Tiga kata itu kiranya menjadi pesan universal. Pesan yang sebaiknya digenggam oleh semua orang. Andai rakyat Indonesia meyakini hal ini maka kekecewaan di tahun 2011 akan menjadi titik pijak untuk belajar membarui diri. Bersama gerimis yang turun tak henti, kami melangkah ke tempat berikutnya. Kami mengunjungi  kenalan kami di perumahan Megamendung Indah. Daerah yang cukup dingin, bersih, dan segar. Pagi hingga siang ini, suhunya cukup dingin. Kami yang datang dari Jakarta merasakan suhu itu cukup dingin ketimbang warga yang biasa dengan suhu itu.

Lewat tengah hari, kami turun. Sempat macet beberapa saat di sekitar Megamendung sebelum datang mobil polisi membawa kabar gembira. Sistem satu arah mulai berlaku. Mobil yang mau naik berhenti di ujung tol. Dari atas melaju lancar. Kami singgah sebentar di Puri Avia Cipayung. Bersalaman dengan beberapa kenalan. Ada cerita dan kisah baru yang tebersit dari pertemuan ini. Ada pula kisah lama yang didengarkan kembali. Ya..semua orang ingin mengenangkan masa lalunya.

Pukul 14.00, kami turun dan melaju dengan cukup lancar. Arah Puncak-Ciawi dipadati kendaraan. Namun, perjalanan tetap mengasyikkan karena tidak ada hambatan. Beruntung tidak ada kecelakaan di jalan tol. Kami tiba kembali di Jakarta pukul 15.30. Meski di Jakarta kami menikmati udara kotor, kami puas dengan tiga kata mujarab yang didengar pagi ini. Inilah awal tahun baru 2012. Tahun kiamat menurut ramalan. Bagi saya, tahun ini tahun penuh semangat. Semangat yang dibangun di atas tiga kata mujarab. Selamat tahun baru 2012.

CPR, 2/1/2012
Gordi Afri


foto oleh Tyovan Ari
Bulan Ramadhan adalah bulan untuk bertobat. Begitu kalimat yang tertulis di baliho besar di depan sebuah pusat belanja di perempatan Condong Catur Yogyakarta. 

Bulan Ramadhan juga merupakan bulan untuk berpuasa. Begitulah yang dialami dan dibuat oleh umat Muslim. Berpuasa sebagai laku tapa dalam hidup keagamaaan. Ternyata selain berpuasa juga bertobat. Bertobat dari apa? Tentunya dari segala yang kurang baik. Maka, berpuasa dan bertobat itu bisa sejalan. Berpuasa ya bertobat. Saat puasa orang tidak lagi mengikuti kemauannya.

Beberapa teman saya yang Muslim rela menunggu buka puasa baru makan. Kami masuk sama-sama di warung makan dan kami yang non-Muslim makan bakso sedangkan mereka yang Muslim membeli bakso lalu membungkusnya. Mereka melihat kami makan dan menunggu sampai selesai. Pada saatnya nanti berbuka puasa mereka membuka bungkusan itu dan menyantap bakso. Uenakkk..Menghargai perbedaan tanpa membeda-bedakan agama.

Lalu di mana tobatnya? Kata teman saya yang lain kalau waktu bulan bukan puasa dia merokok. Saat bulan puasa ini dia tidak merokok pada pagi sampai sore. Malamnya dia merokok setelah buka puasa. Jadi dia mengurangi jatah rokoknya. Ongkosnya juga berkurang.

Inilah model puasa sekaligus tobat. Beruntung bisa baca pesan di baliho ini. Saya tidak tahu berapa orang yang membacanya lalu merenungkan kalimat itu. Kalimat itu menarik dan artinya mendalam. Tentu banyak yang membaca tetapi tidak mendalami kekayaan makna di dalamnya. Di tengah kesibukan orang-orang yang lewat siapa peduli dengan kalimat seperti ini. Malas berpikir untuk hal-hal seperti itu lagi.

Beruntung saya membaca dan merenungkannya. Semoga banyak terinspirasi dengan kalimat di baliho ini. Sayang sekali saya tidak mempunyai kamera sehingga bisa menampilkan gambar baliho ittu dalam tulisan ini. Saya hanya melihatnya di balik kaca mobil. Tetapi tak apa-apa asal tahu pesan dari kalimat itu. Bulan Ramadhan adalah bulan untuk bertobat. Umat Muslim bertobat dan saya yang non-muslim juga bertobat…..

PA, 10/8/2012
Gordi Afri

foto oleh  @Doug88888 
Mencintai musuh. Bisakah? Tentu bisa tetapi agak sulit. Kalau sudah jadi musuh maka ia pasti dibenci. Dibenci oleh siapa pun. Manusia membenci sesamanya. Manusia memusuhi sesamanya. Manusia di mana pun tahu musuh mesti dibenci. Manusia juga sadar dan suka membenci musuh. Meskipun musuh itu tak jarang adalah manusia, sesama makhluknya. Salahkah membenci musuh? Yesus kok malah mengajak mencintai musuh?

Menurut Yesus, musuh harus dikasihi. Mengasihi musuh bukan perkara mudah. Mampukah manusia melakukan itu? Kalau sesama manusia pasti bisa saling mencintai. Maka, kalau musuhnya itu adalah sesama manusia boleh jadi manusia bisa mencintainya. Mencintai orang yang baik kepada kita tentu amat mudah. Yang sulit adalah mencintai orang yang berbuat jahat kepada kita. Dan, justru inilah yang mesti dilakukan oleh manusia. Kalau musuh dibenci boleh jadi dia tetap akan menjadi musuh untuk selamanya. Siapa bertahan hidup dalam suasana bermusuhan sepanjang masa? Siapa pun boleh jadi tidak emnginginkannya. Manusia mendambakan perdamaian.

Benci adalah sikap yang mesti dijauhkan. Sulit. Benci itu melekat dalam diri manusia. Untuk menghilangkannya perlu kerja keras. Kalau pun sikap benci sudah hilang, dia bisa muncul lagi ketika ada yang berbuat jahat kepada kita. Api kebencian cepat menyala ketika ada orang yang berbuat jahat. Maka, ajakan untuk berbuat baik kepadanya boleh jadi agak sulit.
Lagi-lagi Yesus kok menyuruh untuk baik-baiklah dengan orang yang membenci kamu. Yang biasa membenci saya biasanya orang-orang di sekitar saya. Kalau mereka saja bisa membenci saya apalagi mereka yang jauh. Bagaimana saya berbuat baik kepada mereka?

Ajakan yang baik tetapi perlu kerja keras. Inilah yang mesti diperjuangkan. Memperjuangkan hal itu seperti berjuang mendapatkan sekotak nasi untuk makan siang. Memperjuangkan itu seperti berjuang mengumpulkan recehan ratusan rupiah yang dijatuhkan dari setiap kaca mobil di lampu merah.

PA, 13/9/2012
Gordi Afri

ilustrasi dari torifharris.blogspot.com
Tuhan aku ingin curhat denganmu
Bukannya aku tidak mau curhat dengan sesama manusia
Aku rasa Tuhanlah yang pantas dengar curhatku
Begini Tuhan

Aku dan teman-teman sudah sibuk hari ini
Kami pun merasa ini pekerjaan besar yang sudah kami kerjakan
Kami pun menjadi lupa dengan kebaikanmu
Padahal tanpa kebaikanmu, kami tidak bisa bekerja hari ini

Kami menyadari kebaikanmu yang tampak melalui matahari, udara, napas kehidupan, teman-teman, dan sahabat kami.
Kami merasa inilah yang paling berharga hari ini
Kami memang sudah lelah hari ini

Tetapi toh kami masih mendapat napas kehidupan darimu
Aku hanya ingin mengucapkan syukur atas semua ini
Tenaga kami tidak hilang tetapi masih ada dalam tubuh kami
Terima kasih Tuhan
———————————–
Obrolan malam

PA, 26/10/2012
Gordi Afri



ilustrasi dari cbeckdkeeeebkddk.blogspot.com
Iman sebesar atau tepatnya sekecil biji sesawi bisa memindahkan gunung. Biji itu, menurut cerita orang yang pernah melihatnya secara langsung, amat kecil. Biji sesawi mungkin menjadi biji yang paling kecil dari segala jenis biji buah dan sayur. Dan, justru iman yang digambarkan seukuran biji itu mempunyai daya kekuatan yang besar. Dayanya bisa memindahkan gunung. Demikian dikatakan Yesus kepada muridnya.

Berarti iman, betapa pun digambarkan kecil, mempunyai daya yang besar. Iman yang bahasa lainnya adalah keyakinan. Yakin akan apa yang diimani. Yakin total dengan apa yang dipercayai. Maka, modal iman adalah kepercayaan. Saya beriman jika saya percaya. Saya beriman jika saya yakin total akan apa yang saya imani.

Tetapi benarkan iman itu ada dalam kenyatannya? Maksudnya, bagaimana jika iman itu diwujudnyatakan dalam kondisi real? Benarkah jika saya punya iman seukuran biji sesawi bisa memindahkan gunung? Benarkah saya bisa? Benarkah kenyatannya demikian?

Tentu ini menjadi perkara rumit. Sebab, sulit membuat alat buktinya. Saya percaya total pun tetap tak bisa dibuktikan. Saya juga tidak yakin, apakah kepercayaan saya itu total atau hanya setengah-setengah. Sebab, kepercayaan juga bisa menjadi situasional. Jika itu menguntungkan saya percaya. Jika tidak saya abaikan.

Tetapi Sabda itu perlu diwartakan agar saya percaya pada kekuatan di luar diri saya. Saya percaya atau menaruh harapan pada Dia yang punya kuasa. Sabda serupa bisa ditemukan dalam rumusan lain dalam buku Kitab Suci. Sabda ini termasuk Sabda Paradoksal. Sabda yang melampaui pemikiran. Seperti mengubah batu menjadi roti. Ini termasuk kenyataan yang luar biasa. Kalau menjadi nyata. Jika tidak, sabda ini hanya obrolan saja.

Maka, Sabda ini bukanlah bicara kenyataan. Tetapi bicara soal iman. Iman yang berarti percaya. Percaya pada apa yang diimani. Saya mengimani Yesus maka saya percaya pada Yesus. Menaruh harapan pada-Nya. (Tulisan Sebelumnya)

Jakarta, 8/7/13
Gordi
Powered by Blogger.