Halloween party ideas 2015
Showing posts with label CERMIN. Show all posts

FOTO, zujava.com
Buku itu adalah guruku. Dari buku itu kukenal pendidikan. Mungkin agak mustahil. Bagaimana mungkin? Tetapi bagiku itu mungkin dan tidak mustahil. Buku itu mengajarku tentang arti pendidikan.

Tak sengaja kutemukan suatu sore. Kala itu, ibuku bekerja di dapur. Aku sibuk sendiri. Ibuku memberikan begitu saja buku itu padaku. Mungkin, pikirnya, biar aku juga sibuk sendiri. Dia juga mungkin berpikir, dia tak mau sibuk denganku. Dia bekerja sehingga tidak boleh diganggu.

Kubuka buku itu. Belum tahu membacanya. Maklum, belum sekolah. Belum tahu menerjemahkan gambar. Tetapi, aku senang melihat gambar-gambar. Mungkin indra melihatku waktu itu mulai berfungsi dengan baik. Dengan indra itulah aku bisa merasa tertarik dengan gambar itu.

Gambar seorang anak kecil—sepertiku waktu itu—menyusuri jalan setapak ke sekolahnya. Di tangannya ada beberapa buku. Dia sendirian. Entah kakak dan adiknya di mana. Atau mungkin dia seorang diri. Tidak ada yang menemaninya. Ibu tidak. Bapak juga tidak. Kakek juga tidak. Nenek juga tidak. Tidak ada sopir atau tukang ojek yang mengantarnya. Ceritanya lain kalau dia diantar sama bapak atau ibunya atau sopir pribadinya. Tidak. Dia sendiri.

Dia sendiri ke sekolah membawa bukunya. Entaha apa isi buku itu. Tidak dijelaskan. Aku hanya berhenti dan terharu dengan buku yang dibawanya itu. Hanya dia dan buku itu. Bagi dia, dia dan buku sudah cukup menjadi media untuk memperoleh pendidikan. Mungkin perlu juga didikan guru dan orang tua. Itu perkara kemudian. Di gambar itu, hanya dia dan buku itu.

Aku pun menebak, gambar itu adalah seorang siswa. Lengkap dengan bukunya. Sebab, tidak ada anak yang sedang memancing dan membawa buku. Anak yang sedang membawa buku tentu anak sekolah.

Buku itu diberikan begitu saja sama ibuku. Tidak berpikir kalau buku itu menjadi guruku. Guru yang mengajarku melihat sesuatu dengan kacamata pendidikan. Guru yang mengajarku tidak saja dengan membaca dan menulis tetapi juga dengan melihat. Melihat gambar. Gambar anak sekolah. Buku itu guruku. Buku yang aku kenang selalu.

PRM, 28/5/15

Gordi

FOTO, shutterstock
Di sudut gedung berlantai lima itu, kami bertemu. Dia menyelinap pelan di depan mataku. Aku baru saja masuk gedung ini. Melewati dua pintu utama. Satu berdinding kaca tembus pandang dan satu lagi pintu berkomando jarak jauh. Tepat di depan pintu itu kami bertemu. 

“Ke mana kok bawa buku segala,” kataku padanya.
“Biar tampak seorang akademikus, (sambil lalu dia tertawa).”

Ya, dari buku itu. Katanya biar kelihatan akademikus. Maksudnya, mereka yang berkecimpung dalam bidang akademik-pendidikan. Jadi, entah dia baca atau tidak buku itu, itu tidak diperdebatkan. Dia hanya menunjukkan bahwa dia membawa buku. Dengan membawa saja, dia beranggapan, dia akan dianggap seorang akademikus. Orang yang melihatnya akan segera tahu tentang ini. Orang juga tidak bertanya-tanya siapakah seorang akademikus. Mereka paham jika seorang akademikus adalah seorang berintelek. Dan, orang berintelek biasanya membaca banyak buku.

Dengan menunjukkan buku, dia merasa dirinya sudah jadi orang berintelek. Lalu, bagaimana dengan intelek muda? Maksudnya anak muda yang kemana-mana juga membawa buku. Yang di dalam kereta atau bis membaca buku. Apakah mereka juga berintelek dan bertitel kaum akademikus? Dari definisi ini memang bisa dimasukkan ke situ. Mereka toh membawa buku. Mereka mau menunjukkan bahwa mereka juga masuk kaum akademikus.

Demikian suatu pagi, kubertemu seorang gadis remaja. Dia duduk dekatku di kereta. Dia membawa buku. Kebetulan kulit buku itu menarik. Gambar pemandangan indah. Aku pikir mungkin buku tentang perjalanan. Aku penasaran ingin bertanya. Dan memang aku bertanya pada gadis itu. Rupanya tebakanku salah. Buku itu adalah novel. Menceritakan kisah cinta dua remaja di taman idaman. Ah rupanya cerita menarik yang terjadi di tempat menarik juga.

Dan dari novel menarik itu, kami bisa ngobrol asyik dalam waktu 45 menit dalam kereta itu. Rupanya dia suka baca novel. Seminggu bisa satu novel. Tergantung jumlah halaman dan kesempatan yang ia miliki. Waktu libur biasanya dia habiskan untuk membaca. Tentu pertama dia mengerjakan tugas sekolahnya. Baginya, membaca novel mesti dilakukan setelah mengerjakan tugas kuliah. Novel seperti dinomorduakan begitu. Meski dinomorduakan, novel itu membuatnya bisa berkenalan denganku. Hemmm sebenarnya akulah yang ingin berkenalan dengannya.

Dua orang ini membawaku ke alam buku. Aku memang suka baca buku. Juga sedikit memamerkan bahwa aku suka baca buku. Sesekali membawa buku di jalan, di kereta, di bis sekolah. Di pesawat tidak. Aku mau menikmati pemandagan saja kalau di pesawat. Atau sesekali membaca majalah. Dengan membawa buku—meski belum membacanya—aku dianggap berakademis. Padahal, belum tentu aku membaca buku itu. Tetapi paling tidak, aku telah menunjukkan bahwa aku juga suka buku. Sama-sama suka jadinya saling berkenalan. Ah gara-gara buku.

PRM, 31/5/15
Gordi

SEBELUMNYA: BUKU ITU GURUKU






FOTO, ninebullets.net
Benar kata bapak dulu. Kalau mau maju, jangan cari popularitas. Aku ingat persis kalimat itu. Aku tak paham sama sekali dalam praktiknya. Maju tanpa mencari popularitas adalah hal yang sulit. Bagaimana mau maju jika tidak dikenal. Bagaimana dikenal jika tidak membuat popularitas? Popularitas mestinya dibuat agar bisa maju.

Tapi aku tak berhenti di sini. Bapak kok bilang seperti itu. Kata orang tua dulu, dengar kata-kata orang tua dan para tetuamu. Mereka banyak makan garam. Mereka merasakan bukan saja pahitnya hidup tetapi juga manisnya. Oleh sebab itu, mereka bisa berkata-kata dengan bijak. Kata-kata mereka lahir bukan dari berpikir tetapi dari berefleksi. Refleksi yang berujung pada kebijaksanaan. Kata-kata mereka itu pada akhirnya menjadi sebuah kebijaksanaan. Tapi, kalau bapak menyampaikan kata-kata itu pada saya, apakah itu juga muncul dari kebijaksanaannya?

Sungguh kata-kata bapak itu memang tidak kupahami betul. Justru kata-kata itu yang membuat saya terus menerus berpikir. Ada apa di baliknya? Aku tak berhenti pada bertanya. Aku terus menerus mencari jawaban. Aku berpikir tetapi tak menemukan jawabannya. Aku membaca tetapi tak menemukan jawabannya. Mungkin aku mesti kembali kepada ujung kata-kata bapak itu. Kata-kata itu lahir dari kebijaksaan. Kebijaksanaan yang bermula dari refleksi panjang. Refleksi sepanjang hidup. Maka, kata-kata itu pada dasarnya adalah kata-kata kehidupan. Kata-kata yang lahir dari pergulatan hidup.

Jangan maju jika ingin mencari popularitas. Popularitas memang menjadi pintu untuk menjadi orang terkenal. Anda populer, Anda menjadi orang terkenal. Anda, dengan mudah dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin hebat kadang-kadang lahir dari kepopulerannya. Tetapi, ada yang berhenti pada kata populer. Ada yang berusaha maju selangkah di balik kata populer.

Memang populer itu penting, apalagi bagi calon pemimpin. Tetapi, populer itu juga tidak begitu penting. Populer kadang-kadang mengungkung gerak langkah manusia. Anda populer, kami dukung Anda, tetapi Anda harus balas jasa kami. Anda populer tetapi lupa akan kebaikan kami, maka Anda akan dicaci maki banyak orang. Maka, mana yang Anda cari, populer atau kebaikan?

Populer tentu saja baik, tetapi jika tidak digunakan untuk kebaikan bersama, populer itu sebaiknya ditinggalkan.

Maka, aku paham sekarang kata-kata bapak. Kalau mau maju, jangan cari populer. Carilah kebaikan bersama. Anda menemukan kebaikan bersama maka Anda dengan sendirinya akan populer.

*Obrolan sore.

PRM, 13/5/15
Gordi


FOTO, sologiardino.it
Suatu sore, bosku memanggilku ke kantornya. Dia tanya jika saya siap untuk menerima tawaran kerja. Bekerja sebagai tukang kebun. Hatiku melonjak-lonjak kala mendengar penjelasannya. Aku berkhayal, aku dulu ingin jadi tukang kebun. Lebih-lebih ketika mendengar tukang kebun itu membagikan pengalamannya. Dan, rupanya khayalan ini jadi nyata. Aku ditawari bekerja di rumah itu. Rumahku selama tiga bulan. Rumah tempat teman-temanku hidup teratur dan bahagia.

Aku pun pamit sama teman-temanku. Aku pergi ke rumah ini dan bekerja di sana. Dari hari ke hari, aku menikmati pekerjaanku. Awalnya sulit sekali. Banyak perintah untuk buat ini dan itu. Belum lagi mengoperasikan banyak mesin yang sama sekali aku tidak tahu. Tapi, hidup memang mesti dijalani. Dalam perjalanannya aku mesti belajar. Dan, aku belajar mengoperasikan mesin-mesin itu. Ganti mesin ganti cara operasinya. Dan, aku harus belajar semuanya. Dari kerja ini, tiap akhir bulan, aku menerima gaji. Aku tidak melihat uangnya. Uangnya langsung dikirim ke nomor rekeningku. Aku bisa mengeceknya kapan saja. Dan, setelah uangnya cukup, aku ingin sekali kembali ke negeriku. Namun, aku pikiri tidak ada gunanya. Lebih baik aku bekerja di sini saja. Bahagia. Kalau aku kembali, aku membuang pekerjaan ini. Dan, ini merugikan aku sendiri.

Hidup memang adalah perubahan. Aku yang imigran ini kini menjadi pekerja tetap di Eropa ini. Negeri ini cocok bagiku untuk menikmati hidup bahagia. Impianku dulu, kini jadi nyata. Aku mau mengisi hidup ini dengan kebahagiaan. Aku tak mau jadi pembunuh lagi. Aku tak mau tergoda nafsu membunuh lagi. Aku mau bantu sesama sekarang. Banyak temanku yang datang ke Eropa hanya menganggur saja. Sebagiannya tidak bisa bekerja. Mereka tidak seperti aku yang punya pekerjaan ini. Aku kini berusaha untuk mencari tempat bagi mereka. Semoga aku dapat. Semoga seperti aku, mereka kelak bekerja dan bisa menikmati hidup bahagia. (habis)

PRM, 12/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

Dari postingan di kompasiana, AKU PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA (2)

FOTO, smilecityitalia.net
Musim dingin datang. Aku diberi kesempatan untuk pindah rumah. Hidupku pun berubah. Di sana, aturannya lebih ketat lagi. Tidak bisa sebebas seperti di rumah lama. Aku rasa sulit sekali beradaptasi. Namun, pelan-pelan dengan bantuan pemilik rumah, aku bisa. Tidak lama di sini, hanya tiga bulan. Selama musim dingin. Ini perjanjian awalnya.

Di sana aku lihat orang-orang hidup teratur. Mereka rata-rata bersekolah. Pagi sampai sore di luar rumah. Entah pergi kuliah atau mengajar. Malam berkumpul di rumah. Makan bersama, nonton bersama, lalu tidur. Pagi hari, mereka mengawali kegiatan dengan doa. Entah bagaimana doanya. Aku tak tak tahu. Aku hanya mendengar mereka bernyanyi dan membaca. Mereka berkumpul di satu ruangan. Aku sekali melihat ruangan itu dengan seorang dari mereka waktu kali pertama masuk rumah ini. Ada salib di dalamnya. Dan, ada banyak gambar lainnya. Penuh dengan seni lukis dan foto-foto lama. Aku tentu saja tidak bisa masuk seenaknya saja di ruangan ini. Aku tidak seagama dengan mereka. Dan, ini adalah ruang doa mereka.

Aku senang tinggal di sini. Bercakap-cakap dengan mereka itu menyenangkan. Dan, rupanya di sini juga aku hidup gratis. Makan siang dan malam serta pagi selalu ada. Pakaian juga dicucikan. Satu siang, aku melihat tukang kebun mereka. Orangnya baik. Mungkin karena tua, dia ingin pensiun. Dia sudah lama bekerja di sini. Banyak pengalaman yang dia bagikan denganku. Aku dengan senang hati mendengarnya. Dalam hati, aku pikir, mungkin tempatku nanti di sini. Aku senang sekali jika pengalamannya menjadi pengalamanku.

Tiga bulan berlalu. Aku pun diberi kesempatan untuk kembali ke rumah lamaku. Di sana, aku jumpa dengan bosku dan teman-teman lamaku. Mereka semuanya baik-baik. Tidak banyak berubah. Hidup monoton dan peraturan tidak diganti. Lama-lama hidup gratis ini menjadi tidak enak lagi. Tidak bisa menikmati hidup gratis di Eropa ini. (bersambung)

PRM, 12/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

Dari postingan di kompasiana, AKU PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA (2)

FOTO, spiegel.de
Keinginanku untuk hidup bahagia hampir tak terbendung. Entah kapan realisasinya. Saat ini, aku sedang mencarinya. Hidup bahagia memang tidak saja bahagia di dalam hati tapi juga bahagia dalam hidup di luar. Hidup harian yang bahagia akan menambah kebahagiaan dalam hati. Mesti, tanpa bahagia luar itu pun, bahagia dalam hati tetap ada. Tetapi, lebih baik keduanya sama-sama bahagia, saling melengkapi.

Pagi itu, aku dibawanya ke rumah besar. Tampak seperti penampungan lagi. Memang, ini rumah penampungan. Namun, tidak seperti rumah penampungan sebelumnya. Yang ini agak teratur. Ada jadwal yang harus diikuti. Keluar rumah saja diatur. Jam terakhir masuk rumah saja teratur. Untuk merokok saja, tidak di semua tempat. Ini betul-betul Eropa. Dan, orang Eropa rupanya seperti ini. Beginikah caranya supaya bahagia?

Wah…semuanya serba diatur. Aku tidak bisa lagi bebas merokok seperti di negeriku. Aku tentu saja bebas merokok di luar rumah. Tapi, tidak boleh di dalam rumah. Apalagi dalam kamar. Ada bagusnya juga, aku tidak bisa lagi merokok terus terusan. Apalagi, di sini aku hanya pendatang, pencari hidup bahagia. Aku tak punya uang tapi aku bisa makan gratis. Kalau gratis terus, apa jadinya nanti? Aku tak ingin gratis semua. Paling tidak, aku harus merasakan pahit manisnya mendapatkan uang. Ada usaha, puas, dan bahagia. Tidak mau terus menerus menunggu gratis. Aku tak mau meminta meski banyak yang ingin memberi barang satu dua euro.

Aku ingin kerja sekarang. Namun, tidak ada tawaran untuk bekerja. Memang tidak mudah. Apalagi, aku belum bisa berbahasa dengan baik. Untuk bercakap-cakap saja bisa. Mungkin aku harus mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan peran intelektual. Terlalu sulit bagiku yang belum bisa berbahasa dengan baik ini. (bersambung)

PRM, 12/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa. 

Dari postingan di kompasiana, AKU PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA (2)

FOTO, dw.de
Dari ruang penampung ini, kami dipisahkan. Aku tak tahu lagi, ke mana perginya teman seperahuku. Kami memang banyak di ruang ini. Aku juga tak tahu, dari mana datangnya yang lain. Aku hanya tahu, sebagian besar dari kami, berkulit hitam dan berambut keriting. Aku juga bertanya, mengapa mereka ke sini. Mungkin mereka juga datang untuk mencai kehidupan yang penuh damai. Mungkin mereka juga datang dari negeri yang berkonflik dan perang tak berujung. Entah. Bisa YA bisa TIDAK. 

Aku ikut perintah seorang berkulit putih, tinggi, tegap, dan bermata biru. Aku perhatikan betul-betul bentuk tubuhnya. Dia mirip seperti mereka yang tertawa, yang aku lihat di TV beberapa tahun lalu. Aku berangan-angan bisa bahagia dan damai seperti mereka itu. Namun, aku juga pikir-pikir. Jangan-jangan kebahagiaan itu hanya ada dalam TV itu. Jangan-jangan itu hanya angan-angan juga. Jangan-jangan itu hanya seperti iklan saja. Jangan-jangan aku jatuh lagi dalam dunia perang yang bernafsu itu.

Ah…aku tidak mau ingat masa laluku. Masa gelap itu merusak harapan akan masa depanku. Aku ingin berubah. Berubah berarti melupakan masa lalu. Kalau sulit dilupakan, ingat sajalah yang penting-penting saja. Ambil saja hikmahnya dari situ. Lalu, tataplah masa depan.

Itulah sebabnya aku turuti saja perintah sang tuan ini. Entah nanti dibawa ke mana. Aku yakin sekali. Aku akan menikmati hidup yang damai. Hidup yang tidak seperti kehidupan di negeriku yang bergejolak perang berkepanjangan. Di sana nanti, aku akan bertemu keluargaku. Keluarga yang seperti aku bayangkan dulu. Keluarga yang tidak bersekat agama, ras, warna kulit, warna mata, model rambut. Tidak. Aku kini menuju ke kehidupan itu. Ke manakah aku dibawanya saat ini? (bersambung ).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

dari postingan di kompasiana PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA

FOTO, cnnindonesia.com 
Kapal besar yang kami lihat tadi, kini bergerak ke arah kami. Entah apa maksudnya. Mungkin mau menghadang kami. Tampaknya memang demikian. Dia menghalangi jalur kami. Atau, mungkin perahu kami yang sederhana ini tidak diizinkan masuk pelabuhan itu? Boleh jadi demikian. Pelan-pelan, kapal besar itu merapat. Tujuh petugas melompat ke perahu kami. Kami takut. Tetapi, mereka rupanya tidak menakuti kami. Kami tak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi, kami paham perintah mereka. Mereka menyuruh kami pindah ke kapal besar itu.

Wah…rasanya bagus sekali di sini. Bisa melihat ke mana-mana. Kami bisa melihat ikan yang menari-nari di permukaan air laut. Di perahu kecil tadi, kami hampir saja tidak memerhatikan keindahan seperti ini. Kami memang dekat dengan permukaan laut, tetapi kami rasa jauh dari keindahan ini. Ah, keindahan itu rupanya sudah mulai aku nikmati.

Di pelabuhan, kami turun. Kami dibawa ke rumah penampung. Di sana, kami diberi makan dan dicek kesehatan. Kami dilayani dengan baik. Lagi-lagi, aku mulai menikmati keindahan itu. Keindahan yang aku impikan. Keindahan yang aku kira hanya milik mereka yang berkulit putih, yang bermata biru, dan yang berambut lurus saja. Rupanya tidak. Mereka rupanya ingin berbagi keindahan mereka itu pada kami. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan indah ini. (bersambung ).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

Dari postingan di kompasiana PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA 

FOTO, print,kompas,com
Di pantai itu, perahu motor kecil merapat. Tidak seperti di pelabuhan. Maklum, perahu milik nelayan. Kulihat orang berlari ke arahnya. Aku pikir, aku juga harus berlari seperti mereka. Kekuatan perang yang pernah kujalani rupanya membuatku menjadi orang terdepan di kelompok pelarian ini. Aku berhasil masuk di perahu motor ini. Jumlah kami banyak. Boleh dibilang, perahu ini sebenarnya tidak layak layar. Dengan beban yang begitu berat, mungkin akan macet. Namun, kami mencukupkan diri saja. Anggap saja layak. Kami rupanya punya satu misi yang sama. Ingin hidup lebih baik.

Setelah berahari-hari di laut, kami tiba di pelabuhan yang mewah. Satu kapal besar bersandar di dekatnya. Ingin rasanya segera turun dan mendekat ke sana. Sudah bosan di atas perahu ini berminggu-minggu. Aku ingat beberapa temanku tidak tahan lagi. Mereka akhirnya benar-benar pergi alias meninggalkan kami. Mereka tidak jadi meraih mimpi hidup indahnya. Mereka hanya mengimpikan kehidupan ini. Tetapi, mungkin mereka akan menemukan indahnya hidup itu, di seberang sana. Di dunia yang satu itu. Dunia yang tidak menyatu dengan kami. Entahlah. (bersambung).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

dari postingan di kompasiana, PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA



FOTO, media.iyaa.com
Aku mau pergi ke seberang. Aku ingat di dunia lain, masih ada kehidupan yang lebih baik. Aku ingin tinggal di dunia itu. Negeriku—seperti aku—mungkin mengimpikan itu juga. Sayang, negeriku masih jauh dari impian itu. Mimpi memang asyik tetapi kenyataan itu lebih asyik. Hidup di alam mimpi itu membuat kita beterbang ke mana saja meski tak bersayap. Namun, hidup di alam kenyataan juga tak kalah menariknya.

Aku berlari mengejar keindahan hidup itu. Aku ingin bergembira, tertawa, tenang, nyaman, seperti mereka. Ya, aku lihat mereka berbeda dengaku. Kulitku hitam dan rambutku keriting. Mereka putih dan rambutnya lurus. Mata mereka juga bening dan biru. Mataku hitam dan penuh bercak. Mataku memang sering berdebu. Debu akibat letusan di sana sini. Debu akibat bom yang memborbardir bangunan tinggi di negeriku ini. Mungkin karena itu, mataku tidak seperti mereka. Mungkin karena itu, kulitku tidak seperti mereka. Mungkin karena mata mereka sering melihat keindahan alam, sehingga tampak bening dan biru. Tapi, apakah mataku tidak bisa menjadi seperti mata mereka itu? Mungkin itu terlalu sulit. Tapi, aku mau coba. Aku ingin agar mataku juga bening seperti mereka. Kulitku mungkin sulit menyamai kulit mereka. Aku ingin pergi menikmati kehidupan seperti yang mereka miliki. (bersambung)

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

dari postigan di kompasiana, PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA

FOTO, news.liputan6.com
Mengapa duniaku ini kacau? Pertanyaan ini mengantarku ke alam yang luas. Mulai dari negeriku sendiri. Negeriku ini kacau. Tak ada lagi pemimpin. Yang ada hanya pemberontakan. Di mana-mana, kaum ibu dan anak-anak jadi korban. Aku dan kaumku dipaksa jadi prajurit perang. Mau atau tidak, wajib hukumnya. Aku pun terjun dalam dunia perang. Tak terhitung jumlah korban yang kutembak. Aku pun tak mau ingat mereka. Betapa tidak, aku membunuh mereka karena aku bernafsu. Entah dari mana datangnya nafsu ini. Yang jelas—saat itu—mereka adalah musuhku. Dan, intuisi inilah yang mendorongku menghabiskan nyawa mereka. Sejenak nafsu itu beranjak.

Aku kembali ke rumah. Rumah jiwaku. Rumah tempatku tinggal tidak ada lagi. Di sana—aku lihat—hanya ada puing-puing. Rumahku yang dulu jadi tempat mainanku, kini jadi segumpal tanah. Entah kapan terjadi. Aku tak ingat. Di atas gumpalan itu, ada darah korban. Entah siapa korbannya. Entah keluargaku, ibuku, adikku, ayahku, kakek, nenekku, atau tetanggaku. Tak ingat. Tak lihat dengan mataku. Tetapi, temanku bilang, “Tanah ini adalah tanah korban. Darah keluarga kita, dan terutama, keluargamu, tumpah, di sini.”

Aku tertegun dan sedih. Mengapa keluargaku seperti itu? Ke mana aku harus pergi sekarang? Tidak adalagi kah keluargaku? Tentu saja masih ada. Keluarga kini adalah mereka yang tinggal di sampingku. Keluarga tidak perlu dibatasi dalam sekat, rumah, agama, suku, ras, dan negara. Kelak, aku pun akan merasakan betapa keluarga itu tidak hanya mereka yang serumah dengan mereka. Keluarga itu sebenarnya sekumpulan orang saja. Itulah sebabnya, keluarga itu bisa dibangun di mana saja. Tentu bisa juga dibubar kapan saja. Tetapi, lebih baik keluarga tidak perlu dibatasi dalam sekat, yang sewaktu-waktu bisa dibangun dan dihancurkan. Keluarga ya hanya satu dan abadi selamanya. Keluarga itu ibarat cinta sehidup semati.

Tak perlu aku bertanya di mana keluargaku. Kini, aku hidup bersama keluargaku. Mereka yang hidup di sekitarku. Meski, dalam hati, bayangan akan kebersamaan dengan bapak, ibu, dan adik-adik, masih kuat dalam benakku. Mereka bagai penghias hidup harianku. Rasanya hidup tanpa mereka tidak banyak berarti. Namun, aku tak mau mencari arti hidup. Toh, hidup jadi berarti jika dijalani. Bukan diingat. Bukan dinostalgia. Bukan diratapi. Bukan. Aku hanya ingin hidup. Aku hanya ingin menatap masa depanku. Perang yang bernafsu itu mungkin akan menghambatku. Betapa, saat aku bernafsu, semua orang di sekitarku jadi musuh yang harus kutembak. Senjata itu begitu angkuhnya. Keluarga pun bisa dihabisinya. Ah, betapa jahatnya dunia ini. Aku tak ingin nafsu itu datang lagi. (bersambung).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa. 

dari postingan di kompasianaPINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA 

FOTO: laineygossip.com

Aku ingat ciuman itu. Rasanya nyaman banget. Ya, ciuman itu terjadi 5 tahun silam. Lama sekali. Bukan lamanya yang ingin dikenang. Tetapi, nyamannya ciuman itu. Waktu itu, aku dan dia sedang kasmaran. Dan, kami hanya diizinkan untuk berciuman. Ini batasnya dalam pacaran. Tidak boleh lbih dari situ. Betapa kami ingin taat pada adat kami. Ciuman itu bagi kami, sebagai remaja, menjadi puncak wujud cinta kami. Kami memang saling cinta. Bukan cinta monyet. Cinta yang bergelora. Aku pun tak segan mengatakan padanya, kita pacaran sampai nikah.

Ia dan aku setuju dengan janji ini. Maka, sekali lagi kami berciuman. Ciuman itu bagi kami menjadi tanda awal perjanjian yang mengikat kami seumur hidup. Kami tak ingin ada orang lain di antara kami. Kalau janji setia seumur hidup sudah diungkapkan di hadapan orang tua kami, baru kami memikirkan orang ketiga di antara kami. Orang ketiga itu adalah buah cinta kami. Betapa aku ingat janji itu. Dan, janji yang kami buat itu, rupanya menjadi janji terakhir juga. Setelahnya tidak ada janji lagi.

Setelah ciuman itu, kami menghidupi hari-hari kami dengan suasana tidak nyaman. Aku sibuk dengan kegiatanku sebagai aktivis sekolah. Dan, dia sibuk dengan kelompoknya. Susahnya pacaran dengan orang yang sesama sibuk. Saat sibuk, tidak ada pikiran untuk memerhatikan yang lain, bahkan kekasih sendiri. Dan, itulah yang kami alami. Aku sibuk dengan diriku dan dia sibuk dengan dirinya. Tak ada lagi pembicaraan kelanjutan tentang janji.

Janji yang bertanda ciuman itu menjadi ciuman terkahir. Ciuman itu pun menjadi tanda berakhirnya pacaran kami. Meski akhir, aku selalu mengawali hari-hariku dengan mengenang ciuman itu. Betapa ciuman itu masih kuingat dengan baik. Aku dan dia jadi satu. Kami merasa dunia ini hanya milik kami berdua saja. Dan, ciuman terakhir itu menjadi perpisahan antara aku dan dia. Aku kini tak tahu di mana dia berada. Aku hanya ingat ciuman itu bersamanya.

Ciuman yang membawa kenangan indah itu rupanya menjadi peristiwa buruk. CIuman itu memang asyik tetapi kenangan akannya membuatku tidak nyaman. Aku selalu mengingatnya sampai-sampai aku menghayal tentangnya. CIuman itu, betapa pun nyamannya, justru membuatku tidak nyaman. Aku kini mengingat peristiwa itu setiap kali mau berciuman dengan pacarku yang baru. Semoga dia di sana bahagia dengan mengingat ciuman itu. Dan, semoga aku tidak terlalu memikirkan ciuman itu.

*kisah imajiner
CPR, 15/6/13
Gordi

Sudah berdosa minta dicintai lagi? Aneh bukan? Dicintai maksudnya minta diampuni dosanya. Dengan demikian dia dibebaskan dari salahnya itu. Aneh lagi bukan?

Ya memang aneh. Tetapi baik kalau dicerna dengan baik. Pendosa itu adalah manusia. Dan, manusia adalah pendosa. Benarkah manusia adalah pendosa? Ya. Manusia—siapa pun dia—pernah berdosa. Tidak peduli dosanya banyak-sedikit, besar-kecil, manusia pernah berdosa.

Lalu? Sebaiknya dosa itulah yang dibenci. Kita sepakat membenci dosa. Mau menghindar dari dosa meski godaan untuk berdosa besar sekali.

Pendosanya? Pendosanya kita cintai. Dia juga manusia seperti kita. Kalau kita benci dia maka kita juga benci diri kita sendiri. Kita juga berdosa. Jadi, mari mencintai pendosa.

Tapi yang ini dosanya besar. Berzinah. Woao.... Ya berzinah itulah yang kita benci. Artinya kita jangan sesekali berzinah. Berusahalah untuk menghindari tindakan berzinah. Tetapi kita jangan menjauhkan/membenci pezinah. Dia juga manusia yang patut kita cintai. Rangkullah dia agar keluar dari kemelut perzinahannya.

Demikian kata sang guru yang membuatku heran dan berpikir. Lalu setuju. Bahwa dosalah yang kita benci dan bukan pendosa.

PA, 17/3/13

Gordi

CITA-CITA PETANI DESA

FOTO: SAWAH CANCAR

Ada keinginan untuk mengubah hidup. Dari miskin ke sejahtera. Dari sejahtera ke kaya. Perubahan yang menggairahkan.

Petani di desa kami mempunyai impian yang sama. Sebagian besar ingin sejahtera. Selama ini mereka kurang sejahtera. Kalau pun ada beras sebagai penghasil terbesar, hidup mereka belumlah sejahtera. Mereka tidak bisa hidup hanya dari beras. Kalau pun nasi selalu ada, kebutuhan lain belum tentu ada.

Mereka ingin sejahtera. Ada beras dan bisa dijual. Penjualnya diharapkan mau mengetahui keadaan mereka. Petani mengandalkan beras. Jadi, hargailah jerih payah mereka. Jangan membeli dengan harga yang tak seimbang dengan usaha mereka.

Hari demi hari telah terlewati. Mimpi tinggal mimpi. Sawah mereka pelan-pelan tegrusur. Mau bangun jalan tol, gedung perkantoran, perumahan, dan lahan industri. Ada yang cemas berkepanjangan. Sawahnya dikelilingi gedung. Bagaimana bisa diairi?

Negeri ini tidak memerhatikan mereka lagi. Daripada dia sendiri saja, lebih baik sawahnya sekalian dijual. Jadilah lahan sawah itu berubah jadi lahan industri. Mereka tak memiliki apa-apa lagi. Uang hasil lahan tidak bertahan lama.

Mimpi mereka tetap ada. Namun, tidak ada lagi pijakan dasar. Mereka kini merana. Kawasan sawah yang menjadi penopang hidup dikepung perkembangan perekonomian yang kurang manusiawi. Ya mereka itu tidak dihargai sebagai petani padi. Mereka dihargai sebagai pemilik lahan yang bisa dibeli dengan harga murah. Sayang sekali impian petani tidak terwujud. Hidup jadi petani sejahtera memang hanya dalam mimpi saja.

PA, 13/3/13

Gordi


Kapan Indonesia bangkit? Ini pertanyaan nakal untuk negeri ini. Negeri tercinta. Bangkit memiliki banyak arti. Bangkit di sini berarti berubah dari keterpurukan. Bangkit dari kemiskinan, kebodohan, kejahatan, kriminalitas, budaya instan, pelecehan, korupsi, penjajahan, tipi muslihat, dan sebagainya.

Penyebutan di atas ada semua di negeri ini. Entah kapan itu akan lenyap. Boleh jadi tidak akan. Sebab, kejahatan tumbuh bersama kebaikan. Keserakahan tumbuh bersama keramahan. Tak akan hilang. Yang perlu dihilangkan adalah kemauan untuk berubah. Dari berubah menuju pada meminimalkan.

Selagi itu belum ada, Indonesia ini tidak akan bangkit. Indonesia tetap seperti ini dan mungkin jauh lebih buruk lagi. Ekonomi boleh saja aman tetapi Indonesia bukan hanya ekonomi. Ada sosial, keamanan, budaya, kenyamana, keindahan alam, dan sebagainya.

Lalu kapan Indonesia bangkit?

PA, 12/3/13

Gordi


Aku mendamba sepi. Batinku merindu itu. Sudah lama aku jauh dari kampung halaman. Padahal di sana ada sepi.

Aku tinggal di kota ini sejak puluhan tahun. Bosan rasanya jika mengingat kampung halaman. Di sana tidak ada bising kendaraan, udara kotor, kesibukan, tugas yang menumpuk, dan sebagainya.

Aku mendamba sepi karena dalam sepi, aku menemukan diriku yang sebenarnya. Diri yang seperti apa? Diriku yang nyaman, mendengar suara alam, kokok ayam, gonggongan anjing, kicauan burung, suara alam nan merdu.

Di situ aku kembali ke alamku yang sebenarnya. Ya sebelum ada mobil, motor, pesawat, mesin listrik, TV, musik, alam seperti itu. Sepi tetapi nyaman.

Aku mendamba itu. Dan hari ini saudari/i ku di Bali menikmati itu, ingin rasanya suasana itu ada di sini. Dan saat ini aku sepi. Dalam sepi aku menggores ingatan. Sampai kapan aku dapat sepi seperti ini?

PA, 12/3/13

Gordi

FOTO: setgab.co.id

Hidup ini tak boleh diandai-andaikan. Tetapi bolehlah aku berandai. Ada andaian yang jadi nyata. Jadi tak sepenuhnya hidup dalam dunia andai itu jelek.

Andai aku jadi dokter desa ini akan berubah. Tetapi bisakah itu jadi nyata? Aku orang miskin. Kampungku kampung miskin. Ada penghasilan di sini. Tanahnya subur juga. Padi, cokelat, fanili, pisang, ubi, kacang tanah, kopi, cengkeh, rambutan, durian, kayu jati, mahoni, dan sebagainya.

Kami punyai semua itu. Masalahnya kami tidak bisa menjual ke kota. Truk dan mobil tidak bisa masuk di kampung kami. Jadilah semua itu hanya tinggal kebanggaan saja. Membanggakan hasil yang tidak bisa dijual ke pasar. Makanya, sebagian buah disumbangkan lagi pada alam, pada burung dan kera yang berkeliaran di hutan dekat kampung kami.

Satu hal yang memprihatinkan adalah kondisi kesehatan di kampung kami. Angka kematian ibu meningkat. Anak juga. Ibu meninggal saat melahirkan anak. Banyak yang tidak tertolong. Tidak ada bidan desa. Jauh dari puskesmas dan rumah sakit. Apalagi dokter, tidak ada yang mau bekerja dan tinggal bersama kami.

Anak-anak di kampung kami pada umumnya sehat tetapi ada yang meninggal tiba-tiba saja. Jumlahnya tidak sedikit. Tampaknya meninggal karena penyakit menular. Ada malaria, influensa, luka bernanah yang tak terobati. Tampak sederhana tetapi membawa kematian.
Ini karena tidak ada yang membawa obat. Kalau luka hanya bertahan dengan ramuan kampung. Ya kalau luka parah tidak akan terobati. Tinggal menunggu ajal.

Andai aku jadi dokter, aku akan mengobati para pasien yang berpenyakit itu. Aku akan berusaha memberi obat, dan mengajarkan cara hidup yang sehat. Aku juga akan menolong mereka yang menderita berat.

Andai andaianku jadi nyata, keadaan kampung kami makin baik. Aku akan mengundang teman-teman kuliahku mengunjungi kampung kami. Menjual hasil pertanian kami ke kota. Aku akan undang juga ahli pertanian agar tanah kami digarap dengan benar.

Ah ini hanya andaian saja. Moga desa kami bisa berubah ke depannya. Apakah pemerintah memerhatikan kami?

PA, 11/3/13

Gordi

Aku bosan di ruang kerja ini. Setiap hari duduk dan menerima tamu. Kadang-kadang membuka situs online, berinteraksi dengan teman-teman jauh. Teman sekota juga yang sama-sama sibuk.

Aku ditempatkan di sini sama bosku. Ruang kerja yang tidak terlalu luas. Memang tidak membutuhkan ruang yang besar. Hanya ada 3-4 kursi untuk tamu yang datang. Ada dua meja kerja, dan 1 kursi untuk saya sendiri.

Dua meja itu diisi seprangkat komputer. Ada juga pencetak/printer. Komputer itu dilengkapi jaringan internet yang membuat aku nyaman berinteraksi di dunia maya.

Pekerjaanku hanya bergerak di ruangan ini. Kalau ada masalah berkaitan dengan jaringan internet, akulah yang didatangi klien perusahaan. Saya dituntut untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Bosku memercayakan bagian ini padaku.

Aku masuk kantor jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore. Setiap hari kerja seperti itu. Lima hari seminggu. Tak ada yang istimewa selain mengulangi hal yang sama.

Sehari kadang-kadang hanya ada 1 tamu. Kadang-kadang 3 kali ada tamu. Tergantung situasinya. Perusahaan kami memang memberi pelayanan yang sebaik mungkin. Selekas mungkin keluhan diminimalkan. Misi kami memberi pelayanan sebaiknya.

Aku duduk di ruangan ini siang ini. Ukurannya hanya 2 x 4 meter. Ada AC yang mendinginkan suhu ruangan. Tidak ada jendela besar. Yang ada hanya ventilasi kecil yang ditutupi plastik. Sesekali saja ventilasi itu dibuka agar ada pergantian udara.

Aku menerima banyak uang dari gajiku dalam pekerjaan ini. Bosku juga percaya padaku. Tetapi sudah 5 tahun bekerja di sini, aku belum menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan apa yang saya cari? Saya mendamakan suasana nyaman.

Setelah pulang kerja saya merasa capek dan tidak nyaman. Padahal saya tidak mengeluarkan tenaga fisik yang banyak. Tidak seperti tukang keruk pasir di kali. Tidak seperti kuli barang di pelabuhan. Aku hanya duduk dan menerima tamu. Membantu mereka sesekali membereskan jaringan internet.

Tetapi kok tidak nyaman? Aku haus akan kebahagiaan. Relasi dengan teman kantorku baik-baik. Hanya satu yang kurang dan mungkin ini penyebab ketidaknyamanan saya. Saya tidak bebas bekerja sesuai kemauan hatiku. Saya bekerja seperti ini karena diprogramkan dari perusahaan. Tidak ada kreasi dari saya sendiri.

Ini yang membuatku tidak nayamn. Akankah aku melepas pekerjaan ini? Apalah artinya uang banyak tetapi tidak bahagia? Apalah artinya kebebasan hidup jika aku diatur dan diperintah sesuai program bosku?

Aku mendambakan kebebasan untuk. Bukan kebebasan dari pekerjaan. Maka, besok aku akan usulkan agar aku diberi ruang untuk berkreasi.

PA, 11/3/13

Gordi
Powered by Blogger.