Halloween party ideas 2015
Showing posts sorted by relevance for query TEOLOGI. Sort by date Show all posts


Ada dua sikap yang muncul ketika berhadapan dengan orang yang kita kenal baik. Pertama, kita mengakuinya sebagai orang yang kita kenal. Namun, (kedua), kadang-kadang di antara kita, ada yang masih ragu-ragu dengan keyakinannya. Sepintas kita melihat masalahnya ada di objek (orang yang kita kenal). Namun, kalau disadari kita jangan mengabaikan juga dengan subjek (kita yang melihatnya).

Para murid bertemu Yesus (orang yang mereka kenal). Ada yang menyembah dan ada pula yang ragu-ragu. Mula-mula saya melihat ke-ragu-ragu-an ini berkaitan dengan identitas Yesus. Kalau demikian, mereka kurang cekatan. Yesus hidup bersama mereka selama ini. Bagaimana mungkin mereka masih ragu-ragu? *Foto google images

Rupanya, ragu-ragu yang dimaksud adalah ragu-ragu dengan kesanggupan mereka untuk mengikut Yesus. Mereka tahu akan diutus. Namun, mereka ragu, tak berdaya. Mereka sudah mengetahui dan merasakan kasih Yesus bagi mereka selama ini. Mereka ragu-ragu, apakah mereka bisa seperti itu?

Iman para murid dipertebal dengan peristiwa ini. Kalau melihat dari perspektif sekarang, sikap mereka tak ada salahnya. Justru memang seperti itu sebaiknya. Meragukan sesuatu berarti melihat lebih dalam dan mencari akar dari sesuatu. Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf modern, mengatakan “Aku yang ragu adalah aku yang eksis”. Dengan kata lain, eksistensi kita nyata dalam tindakan meragukan itu. Iman yang semula diragukan—menurut saya—akan menjadi iman yang murni dan mengakar kuat.

Meski demikian, sebagai orang beriman Katolik, keragu-raguan terhadap iman itu semestinya jangan dipupuk-berkepanjangan. Meragukan dalam jangka panjang tanpa mencari dasar mengantar kita pada sikap skeptis. Jika skeptis ini berkepanjangan akan berbahaya bagi perkembangan iman kita. Demikian juga dengan perkembangan kehidupan sosial. Kalau semuanya diragukan, apa yang masih bisa menjadi dasar pijakan kita? Masih adakah yang patut kita percayai jika semuanya diragukan?

Meragukan saja tidak cukup. Mesti ada yang menjadi dasar dan batu pijakan. Ibarat rumah yang berdiri di atas batu dan fondasi yang kuat. Teologi Katolik—menurut saya—sangat tepat. Ada dasar yang kuat yakni iman dan wahyu. Kedua hal ini menjadi inti agama Katolik. Dua hal ini juga yang menjadi batu pijakan agar kita bisa percaya pada Allah dan yakin akan iman yang dipilih. Pencarian dan pergumulan akan iman dan peristiwa pewahyuan terjadi dalam peziarahan hidup. Kadang-kadang sangat sulit untuk memahami cinta Allah yang begitu besar. Tetapi jangan takut “Allah menyertai kita” dalam peziarahan hidup ini.

Ibarat seorang pewarta, para murid mempunyai sesuatu yang diyakini betul untuk diberitakan kepada orang lain. Demikian juga kita, umat Katolik mesti mempunyai dasar iman yang kuat supaya bisa percaya pada Allah dan bisa dibagikan pada sesama. Iman itu berakar dalam pengalaman—seperti dialami para murid—namun iman itu mesti dipertanggungjawabkan. Jangan sampai kita “Ya” saja tetapi tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Yesus yang naik ke surga itu memberi warisan rohani pada para murid dan para murid memberi pada kita di zaman ini. (Pesta Kenaikan Tuhan Yesus, 2011).

Cempaka Putih, 2 Juni 2011
Gordi Afri

Tulisan ini dibuat karena tersentuh dengan salah satu mata kuliah semester ini (semester ganjil tahun ajaran 2011/2012). Tersentuh sama sekali tidak ada niat untuk melawankan dengan kata tidak tersentuh. Dalam artian, mata kuliah lain tidak tersentuh. Tidak! Bukan itu maksudnya.

Mata Kuliah ini diberi nama Pembangunan Komunitas Inklusif. Komunitas (masyarakat) yang dibangun di atas suasana inklusif. Kata inklusif sendiri artinya terbuka. Kata yang dilawankan dengan eksklusif yang artinya tertutup. Kata inklusif ini berakar pada kata include yang artinya melibatkan, ikut serta.

Merujuk pada arti kata ini, kuliah ini mengasah pikiran para mahasiwi/a untuk terbuka. Terbuka terhadap pikiran orang lain. Terbuka terhadap pandangan lain, kelompok (orang) lain, negara lain, dan sebagainya. Semuanya yang berbau “lain” atau “beda dengan kami”, serta “bukan kami” diterima sebagaimana adanya. Keadaan mereka perlu dihormati, dihargai, dirangkul, dan dipelajari.

Hari pertama kuliah, para mahasiswi/a berdebar karena kuliah ini agak beda dengan kuliah lain yang didonimasi oleh ilmu Filsafat dan Teologi. Kuliah ini membawa unsur baru, dan sama sekali lain dari dua arus utama kuliah selama ini. Meski beda dengan arus utama, kuliah ini mengarah pada situasi konkret bangsa saat ini. Salah satu masalah bangsa sekarang ini adalah merosotnya nilai keterbukaan terhadap “kelompok” lain. Kelompok agama, budaya, suku, ras, dan sebagainya. Singkatnya kuliah ini relevan dengan situasi masyarakat.

Pada hari kedua kuliah (minggu berikutnya), kami, para mahasiswi/a diajak untuk melihat budaya sendiri. Ide dasarnya adalah “Menghormati budaya lain mesti berangkat dari budaya sendiri”. Kenalilah dulu budaya sendiri baru kemudian bisa mengenal budaya lain. Maka, kami diajak mendiskusikan nilai budaya masing-masing. Lalu, di-share-kan kepada teman. Dari sini saja, kami bisa belajar nilai budaya baru yang berbeda dengan budaya sendiri. Namun, kegiatan share ini sedikitnya membuat kami berbalik  arah. Kembali ke belakang, melihat akar budaya masing-masing.

Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai yang dihayati. “Kalau saya belum menghayati nilai budaya asli saya maka nilai budaya itu masih abstrak”, demikian dosen menjelaskan tentang ini. Maka nilai budaya itu merupakan nilai yang sedang saya hayati, akan saya hayati, dan sudah saya hayati. Nilai budaya yang dihidupi sendiri biasanya tertanam kuat dan akan selalu dibawa dalam tiap gerak langkah hidup. Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada nilai budaya itu tetap melekat. Sumber nilai-budaya itu bermacam-macam. Ada keluarga, masyarakat, sekolah, agama, kelompok sosial tertentu, dan lain-lain.

Konflik pelecehan budaya bisa jadi muncul karena orang tidak mengenal budayanya sendiri. Mengacu pada pernyataan menghormati budaya lain dengan berangkat dari pengenalan akan budaya sendiri, bisa jadi sekarang sebagian dari kita lupa akan akar budaya sendiri. Di kelas ketika diskusi, mudah sekali mendengar paparan teman tentang budayanya. Bisa jadi bagi kami—yang terbiasa dengan perbedaan pendapat dalam kelas—tidak sulit menghormati budaya lain. Namun, bagi orang yang belum terbiasa hidup dengan beragam perbedaan, pemaparan semacam ini menjadi ajang saling olok dan saling leceh tentang nilai budaya.

Apakah konflik yang melecehkan nilai budaya tertentu berangkat dari pemahaman dan kondisi semacam ini? Bisa jadi demikian. Kalau demikian, kuliah ini sangat relevan untuk mengubah pemahaman ini. Kami yang mengambil kuliah ini bisa ditugaskan untuk menyebar pemahaman baru ini. dan dari sini, diharapkan banyak orang yang melihat budaya orang lain sebagai sebuah nilai positif. Maka, Marilah kita menjadikan PERBEDAAN untuk merajut persatuan bangsa. Bhineka Tunggal Ika.   

Cempaka Putih, 12 September 2011
Gordi Afri


BAGIAN LANJUTAN BACA DI SINI

ARTIKEL LAIN TENTANG DIALOG ANTARAGAMA BACA DI SINI DI SINI DAN DI SINI

Dari Penuh jadi Hampir Kosong

foto, AFP Getty Images, dari thepromota.co.uk
Kemarin penuh, hari ini hampir kosong. Warna-warni situasi di Gereja Santa Cristina, kota Parma, Italia. Dalam suasana Paskah, hari ini sebenarnya masih ada misa meriah. Di Indonesia memang kebiasaan ini masih kuat. Paling tidak di Nusa Tenggara, Ambon, dan Papua, juga di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Jakarta, kurang begitu kuat. Semua seolah-olah berakhir pada Minggu Paskah. Di NTT umumnya ada istilah Paskah kedua. Maksudnya, hari Senin setelah Minggu Paskah. 

Di kota Parma, tidak ada istilah paskah kedua. Ada istilah pas’quaetta. Maksudnya sama seperti Paskah kedua. Kata ini berasal dari kata pasqua (easter) dan pas’quaetta diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Easter Monday. Dan, orang Italia masih merayakan paslkah kedua ini. Di bagian Selatan—kata teman saya—paskah kedua ini masih ramai. Banyak umat datang misa. Daerah Selatan memang boleh dibilang lebih hidup kekatolikannya ketimbang di Utara. Penyebabnya tentu banyak. Kita bisa menggunakan kacamata dengan berbagai merek untuk melihatnya. Ada kacamata ekonomi, politik, sosial, dan budaya masyarakat.

Di Santa Cristina hari ini, hadir setidaknya 30-an orang. Jumlah ini kecil sekali dan tidak sebanding dengan kemarin. Meski, sedikit, kami tetap merayakan misa dalam semangat kekeluargaan. Keluarga yang kecil—komentar beberapa teman—punya semangat kekeluargaan yang tinggi. Tentu keluarga yang besar juga. Tergantung kepala keluarga menciptakan suasana kekeluargaan dalam rumah keluarganya. Ada juga keluarga besar yang tampak sekali kekeluargaannya. Keluarga seperti inilah yang patut ditiru dan patut diambil semangat kekeluargaanya. Semangat kekeluargaan yang menciptakan suasana kebahagiaan.

Dan, kami merayakan misa hari ini dalam suasana bahagia paskah. Dalam homili, pastor paroki meminta saya untuk membacakan beberapa kutipan dari bahan kuliah yang dibuatnya, juga dari buku yang ditulisnya. Jadi, homili hari ini tidak seperti homili kemarin dan homili hari Minggu lainnya. Homili hari ini lebih bercorak kuliah. Tidak apa-apa. Ini juga bagian dari kreativitas. Setiap pastor yang memimpin misa mempunyai gaya tersendiri dalam membawakan homilinya. Seperti kita lihat juga gaya Paus Yohanes Paulus II yang sudah jadi santo itu beda dengan Paus Benediktus XVI yang profesor Filsafat dan Teologi itu. Homili Paus Benediktus XVI juga beda dengan Paus Fransiskus, Jesuit dan profesor itu. Apa pun coraknya homili, misa hari ini tetaplah misa Paskah kedua. Misa yang kami ikut dalam suasana kekeluargaan dan kebahagiaan Paskah.

Setelah misa, saya langsung mengambil sepeda saya dan kembali ke rumah. Di rumah, kami membuat pesta paskah. Makan siang bersama di halaman rumah. Makan yang kami siapkan sendiri. Tidak ada spagetti, pizza, pastasciutta. Hanya ada daging bakar, nasi, sedikit roti, cabe sebagai pendorong nasi, dan buah-buahan yang tak akan kami tinggalkan. Kebahagiaan Paskah ini kami ciptakan juga di halaman ini. bangku dan meja kami ambil di kamar makan. Radila halaman ini seperti kamar makan alam. Di kamar makan ada kebahagiaan. Di sini juga ada. Kami merayakan pesta ulang tahun seorang teman yang hari ulang tahunnya jatuh 3 hari yang lalu. Ada sepatah dua kata darinya sebagai ungkapan terima kasih. Ada juga lagu indah yang kami nyanyikan bersama dalam bahasa Prancis dan Spanyol. Ah indahnya kebersamaan dalam suasana kebahagiaan Paskah ini.

Selamat Paskah 2015 dan selamat ulang tahun temanku.

Parma, 6 April 2015
Gordi

Padre Corda SX
Setiap hari saya mendengar berita. Dalam negeri dan luar negeri. Ketika pagi hari mengecek email, saya sudah bisa menengok berita, dalam negeri, Italia dan luar negeri Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Italia. Kadang-kadang dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Portugis versi Brasil. Namun, untuk menyimak lebih dalam, saya lebih cenderung menengok dalam tiga bahasa pertama. Tiga bahasa lainnya hanya sepintas lalu. Toh, saya tidak memahami bahasa-bahasa tersebut. Tetapi, maklum tinggal bersama-sama, jadilah saya juga ikut melihat berita tersebut.

Email gmail, ymail, dan yahoo saya sudah cukup untuk membawa informasi. Dari ketiganya juga, saya bisa berhubungan dengan dunia lainnya, sebab ketiganya saya hubungkan dengan koran dan majalah internasional seperti Vatican.va, BBC, the Guardian, UCANews, kompas.com, dan sebagainya. Sudah banyak berita yang saya terima dari media-media ini. Berita-berita itu datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Berita yang menyenangkan, menyedihkan, membakar semangat, memunculkan rasa haru, dan sebagainya. Berita-berita itu meninggalkan kesan dan pesan tersendiri buat saya.

Berita hari ini, Jumat, 30 Januari 2015 justru berita yang mengejutkan. Saya terkejut membacanya. Langsung seketika juga ikut berduka, sedih sekali. Padahal, sebelumnya, saya senang sekali. Saya baru saja menyelesaikan ujian lisan di kampus dan hasilnya bagus. Pulang ke rumah dengan perasaan senang dan bangga. Saya lalu mengecek facebook. Dari situlah saya mendapatkan berita mengejutkan ini. Padre Corda, SX meninggal dunia.

Berita meninggalnya padre ini ditulis dengan beragam status teman-teman di facebook. Saya menyimak beberapa di antaranya. Banyak kesan, ingatan, kenangan, perasaan terharu, ada di sana. Ada juga yang mengupload foto-foto tentangnya, tentang kebersamaan dengannya, tentang bekerja dengannya, tentang perjalanan dengannya. Begitu panjang jika didaftarkan. Intinya berita-berita tersebut muncul sebagai tanggapan atas berita yang mengejutkan tadi.

Berita meninggalnya padre Italia ini seperti berita meninggalnya kakak kandung saya pada bulan Oktober tahun 2008 yang lalu. Rasa sedih saya bertambah besar waktu itu. Dan, saat ini juga rasa itu muncul lagi. Sekali lagi, saya sedih sekali mendengar berita itu. Berita yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. Saya membagikan rasa sedih saya ini dengan teman-teman mantan murid-murid Padre Corda di kota Parma ini. Kami sama-sama sedih mendengar berita ini.

Berita sedih ini menjadi bertambah karena di Parma ini, tadi malam, meninggal seorang padre lainnya, Padre Battista Mondin, SX. Filsuf dan Teolog ternama di Italia. Dia menjadi satu di antara sekian ahli filsafat Santo Thomas Aquinas di Italia. Penelitian dan karya-karyanya menjadi rujukan banyak pakar filsafat dan teologi di seluruh dunia. Tentangya juga saya mempunyai kenangan. Memang, beberapa kali saya bersapa dengannya setelah dia pindah ke kota Parma pada 2013 yang lalu. Selain, itu saya mengenalnya sejak di Jakarta, melalui bukunya tentang Filsafat Abad Pertengahan dan Filsafat Manusia. Salamat jalan untuk kedua padre saveriani ini.

Mereka meninggalkan banyak kenangan untuk kami.
Hanya kenangan itulah yang kami ingat.
Kenangan itu ditulis dalam ingatan kami.
Kami mengingatkan kembali kebersamaan dengan mereka.
Itulah mereka yang mendahului kami.
Selamat jalan ya padre.


Prm, 7/2/15
Gordi

Kue Unik di Hari Ulang Tahun Kota Parma
 
model lain dari kue berbentuk sepatu 'scarpette di sant'illario'
FOTO: comeunfiorellinodirosmarino.blogspot.com
Kota Parma termasuk kota kreatif. Kreatif bisa dalam bidang apa saja. Beberapa di antaranya sudah terkenal di seluruh dunia. Sebut saja keju parmigiano yang sudah akrab di lidah pecinta kuliner. Satu lagi rupanya yang membuat warga Parma makin kreatif yakni kue kas dalam pesta HUT kota Parma.

Setiap tanggal 13 Januari, warga Parma beramai-ramai memeriahkan ulang tahun kota yang mereka cintai. Hari itu pun menjadi hari libur untuk seluruh warga kota. Universitas dan sekolah-sekolah libur, kantor pemerintah dan pabrik juga demikian. Pada hari itu—atau juga sehari sebelumnya—di rumah-rumah warga dan di tempat belanja atau di restoran, disediakan makanan kas warga Parma. Makanan ringan yang manis itu disebut Scarpette di Sant’Ilario atau sepatu dari Santo Hilarius.

Kue ini memang berbentuk sepatu. Kisahnya mengingatkan mereka akan sosok Santo Hilarius atau Sant’Ilario sebagai Pelindung kota Parma. Dalam legenda yang beredar, Ilario melewati kota Parma pada musim dingin. Ia sedang melakukan perjalanan panjang dari Poiters-Prancis ke Roma-Italia. Tukang sepatu di kota Parma yang melihatnya tanpa sepatu memberinya sepasang sepatu. Illario berterima kasih kepada tukang sepatu itu. Keesokan harinya, tukang sepatu itu melihat sepasang sepatu dari emas di tempat ia bertemu dengan Sant’Illario sehari sebelumnya. Ia kaget dan mengira tidak benar. Tetapi, sepatu itu memang benar-benar dari emas.
 
Sant'Illario atau Santo Hilarius FOTO: morethanfood.wordpress.com
Illario (315-367) sendiri adalah seorang Uskup dalam Gereja Katolik. Ia lahir dan meninggal di kota Poiters, Prancis. Dalam sejarah literatur Gereja Katolik, Illario dikenal sebagai Filsuf, Teolog, Penulis, dan Doktor Gereja atau Pujangga Gereja. Tentu saja dia juga adalah seorang Uskup dan akhirnya juga diberi gelar Santo pada pertengahan abad XIII (1851) oleh Paus Pius IX. Tidak banyak Filsuf dan Teolog dalam Gereja Katolik yang diberi gelar Pujangga Gereja atau Doktor Gereja. Sant’Illario menerimanya karena kepiawaiannya dalam bidang Filsafat dan Teologi.

Dalam sejarahnya, kepiawaian Illario sebagai Filsuf dan Teolog diakui bukan saja oleh Gereja Katolik. Gereja Anglikan di Inggris dan Gereja Ortodoks di Rusia pun mengakuinya. Illario sendiri berasal dari keluarga kaya yang tidak mengenal agama (pagano). Dengan kepiawaiannya dalam bidang FIlsafat, ia mencari dan terus mencari ilmu pengetahuan termasuk membaca Kitab Suci agama Kristen Katolik dan akhirnya bergabung dan menerima baptisan dalam Gereja Katolik.

Boleh jadi tidak semua warga Parma tahu sejarah sosok Pelindung kota mereka ini. Tetapi, yang jelas bagi mereka, sosok ini adalah Pelindung kota mereka yang memberi mereka anugerah dan rejeki termasuk untuk menghadiahkan Kue Kas Scarpette di Sant’Ilario pada hari ulang tahun kota mereka.

Pada Jumat pagi itu, kami juga mendapat Kue Kas ini dari Tukang Roti yang datang setiap pagi. Dia memberikan secara gratis. Ini hadiah terindah. Tidak masuk dalam daftar roti yang akan dibayar setiap akhir bulan. Di sekolah, anak-anak yang kami jumpai pada hari sebelum dan sesudah pesta juga menyinggung soal kue ini. Rupanya sudah populer seperti makanan khas lainnya dari kota Parma.
 
SIndaco atau Walikota Parma Federico Pizzarotti memberi sambutan
sebelum penyerahan hadiah medali, tampak pejabat kota madya Parma
bersama Uskup Parma Mgr Enrico Solmi (kedua dari kiri)
di Auditorium Paganini, FOTO: parmadaily.it
Pada perayaan HUT yang ke-2200 ini, Pemerintah kota Parma memberikan hadiah (premio di Sant’Illario) Medali Emas dan Setifikat Prestasi Sipil (Attestati civica benemerenza) kepada 7 orang dan lembaga yang berjasa untuk kota Parma. Penghargaan ini diberikan setiap tahun pada perayaan HUT. Tahun 2017 ini, medali emas diberikan kepada Arturo Carlo Quintavelle (Profesor emeritus Sejarah Seni di Universitas Parma), dan Sertifikat Prestasi Sipil kepada Giulia Ghiretti (Perenang Putri nasional dan internasional, lahir tahun 1994 di Parma), Cus Parma (Lembaga Olahraga yang lahir dari inisiatif mahasiswa di Universitas Parma), Lanzi Trasporti (Perusahaan penghubung antar beberapa bandara dan dermaga di sekitar kota Parma), Emporio di Parma (Organisasi Pasukan Sukarela yang dibentuk selama krisis moneter tahun 2008), Comitato Orti (Lembaga non profit yang membantu di rumah-rumah para jompo), Giovanni Ballarini (Profesor dari Persatuan Akademi Masak Italia), Unione Veterani dello Sport (Lembaga Olahraga yang menekankan semangat Kekeluargaan dalam berolahraga).

Mereka ini dipilih dari sekitar 30 orang yang diusulkan pada tahun 2017 ini. Hadiah pada HUT ini diberikan sejak tahun 1986. Saat itu, pemerintah kota Parma berinisiatif untuk memberi penghargaan kepada orang dan lembaga yang berjasa membangun kota dan warga Parma dengan berbagai caranya. Warga dan pemerintah kota Parma berhak memberi usulan setiap tahun untuk menerima penghargaan bergengsi ini. Bidang yang bisa diusulkan adalah ilmu pengetahuan, seni, industri, lapangan pekerjaan, olahraga, bantuan amal, inisiatif dermawan, dan sebagainya.

Penghargaan ini datangnya baru-baru ini saja kalau dibanding dengan usia kota Parma. Kota Parma dalam sejarahnya mulai dibentuk pada tahun 183 Sebelum Masehi. Kota ini adalah satu dari sekian kota jajahan Pasukan Romawi. Dan, sejak saat itu, Parma terus berkembang menjadi kota yang betul-betul berguna. Boleh dibilang, kota Parma melalui banyak pengalaman berharga yang menjadi pijakan dalam perkembangannya.
 
Satu dari banyak model kue berbentuk sepatu pada HUT Kota Parma
FOTO:madeinparma.com
Berbagai torehan prestasi pernah diraih oleh kota berpenduduk sekitar 194.464 orang pada Agustus 2016 ini. Penghargaan internasional pernah diraihnya pada tahun 2014 yang lalu. Saat itu, koran The Telegraph dari Inggris memberi peringkat ke-4 kepada kota Parma dari semua kota di seluruh dunia sebagai kota paling layak dihuni. Sementara majalah Panorama dari Italia—pada tahun yang sama—memberi peringkat sebagai kota terfavorit yang layak dikunjungi oleh seluruh warga Italia.

Setahun setelahnya (2015), Parma mendapat penghargaan internasional dari UNESCO sebagai satu dari beberapa kota kreatif (UNESCO Creative Cities Network). Kota Parma dipilih sebagai “Città creativa” dalam bidang perkembangan ekonomi. Di Italia pada saat itu, hanya terpilih 5 kota saja dari 69 jumlah kota yang dipilih oleh UNESCO.

Saat ini, sudah terpilih sekitar 116 kota dari 54 negara yang tergabung dari jaringan Kota Kreatif ini. Sekitar 7 bidang yang dinilai untuk masuk kategori kota kreatif—lihat situsnya di sini—yakni Crafts & Folk Art, Design, Film, Gastronomy, Literature, Music and Media Arts.

Sampai saat ini, 5 kota di Italia mendapat penghargaan di 5 kategori. Kota Roma dipilih untuk bidang Film, Bologna untuk bidang Musik, Fabriano untuk bidang Seni Kerajinan Tangan, Torino untuk bidang Desain, dan Parma untuk bidang Gastronomia.
 
Medali Emas pada premio Sant'Illario 2017, FOTO: parmaquotidiana.info
Satu lagi penghargaan yang sedang diusahakan oleh kota Parma adalah penghargaan dalam bidang kemanusiaan. Walikota (sindaco) Parma Federico Pizzarotti pada Desember 2016 yang lalu ikut dalam pertemuan tentang Imigrasi di Vatikan. Dia bersama beberapa walikota di Eropa ikut dalam pertemuan yang diprakarsai oleh Negara Vatikan itu ikut mempresentasikan cara menghadapi masalah keimigrasian di Eropa saat ini. Dia mempresentasikan situasi aktual di kota Parma.

Parma memang tergolong cukup terbuka untuk menerima kaum imigran. Banyak organiasi yang bergerak dalam bidang ini. Termasuk beberapa yang masuk kategori ‘daftar hitam’ karena secara gelap bekerja hanya demi keuntungan saja.

Pemimpin Gereja Katolik di Parma Monsinyur Enrico Solmi juga—dalam pesannya kepada warga Parma—mengharapkan kinerja yang lebih dalam bidang kemanusiaan. Dalam pesannya yang dibacakan saat misa HUT di Gereja Katedral Parma, Monsinyur Enrico mengatakan bahwa kebaikan dan kebajikan (volto) manusia-lah yang membangun kota Parma. Ini berarti, kemanusiaan yang menjadi titik pusat dari kota Parma. Lebih lanjut, Enrico mengajak warga Parma untuk memerhatikan bidang ini. Dia juga menghimbau warga Parma untuk memerhatikan wajah kemanusiaan daripada wajah agama atau kelompok ras dari kaum imigran yang hadir di kota Parma. Pesan dari Uskup Parma ini kiranya menjadi tugas bersama baik Pemerintah Kota maupun warga Parma.
 
Tampak sebagian dari Gereja Katedral Parma dalam Misa HUT Kota Parma,
ada pasukan keamanan dari Kantor Walikota Parma, FOTO: agoramagazine.it
Inilah keunikan Parma dengan segala kekayaan tradisi dan budayanya. Andai kota-kota di Indonesia mengembangkan kekhasannya, boleh jadi tidak ada warga kota yang ngangur karena semuanya sibuk bekerja demi kebaikan warga dan kotanya.

Wajah kota yang seperti inilah yang diimpikan untuk Indonesia. Jika ini mulai diterapkan, tidak ada lagi kelompok tertentu—entah yang berbasis agama atau suku bangsa—yang bertindak semau gue. Tetapi, jika Indonesia masih sibuk dengan pencarian, siapa yang benar atau malah memutlakkan hanya agama kami kami yang benar, niscaya pencapaian seperti ini tidak akan tercapai.

Ingat, bukan kelompok berlabel atau suku berlabel yang memajukan sebuah kota tetapi kebajikan dan wajah manusia. Maka, siapa pun Anda, agama apa pun asal Anda, tidak penting. Tidak perlu mengadili agama orang lai. Buktikan dengan perbuatanmu bahwa agamamu benar dan bukan dengan orasi dan demo atau adu otot.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

SELAMAT HUT Kota Parma.

PRM, 15/1/2017
Gordi

*Dari postingan pertama di blog kompasiana





Menulis skripsi ibarat berjalan di jalanan umum. Ada rambu lalu lintas yang mesti dipatuhi, ada petunjuk jalan yang mesti diikuti. Maka, pada bagian keempat ini, kita akan membahas “rambu-rambu menulis skripsi” yakni Membaca Buku Petunjuk Menulis Skripsi.

Buku petunjuk menulis skripsi biasanya disiapkan dari kampus. Di kampus kami, buku ini dibagikan saat ketua program studi membahas persiapan bersama sebelum menulis skripsi. Buku itu dibagikan keada setiap mahasiswa. Di dalamnya terdapat petunjuk misalnya, bagaimana memilih buku, membaca buku, membuat rangkuman dan kesimpulan, teknik mencari ide utama paragraf, dan sebagainya. Ada juga petunjuk praktis lainnya seperti ukuran kertas, model catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote), ukuran huruf, panjang kiri-kanan-atas-bawah, tata letak judul, kulit depan skripsi, penulisan abstraksi, dan sebagainya. Singkatnya, segala yang berkaitan dengan teknik penulisan dan teknik praktis, ada di situ.

Buku petunjuk menulis skripsi juga sebenarnya sudah banyak dijual di toko buku umum. Ada banyak dosen dan penulis lain yang membuat satu buku petunjuk menulis skripsi dan karya ilmiah lainnya. Buku petunjuk semacam ini amat membantu kita dalam menulis. Beberapa teman mengalami kesulitan pada awal menyusun skripsi. Ada juga beberapa teman yang tidak mengalami kesulitan karena sudah membaca buku petunjuk itu sebelumnya. Ini berarti bahwa buku petunjuk itu sangat membantu kita dalam menyusun skripsi.

Buku petunjuk yang dijual di toko buku umum digunakan sebagai referensi menulis. Dengan petunjuk yang tertulis di situ, kita bisa menulis dengan baik. Kekreatifan dalam menulis akan muncul setelah membaca buku itu dan mulai mempraktikkannya.

Namun, untuk keperluan yang lebih penting sebaiknya membaca buku petunjuk dari kampus. Sekali lagi, buku petunjuk dari toko buku umum hanya digunakan sebagai bahan untuk memperkaya bacaan dan pegangan. Buku petunjuk dari kampus tetap digunakan sebagai referensi utama dalam menulis. Mengapa?

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap kampus memiliki kriteria tersendiri dalam menulis skripsi. Ini kebijakan intern kampus. Standar atau model skripsi di UGM misalnya bisa jadi berbeda dengan standar dan model skripsi di Universitas Nusa Cendana Kupang. Bahkan boleh jadi, standar dan model skripsi di setiap fakultas dan program studi di satu kapus akan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, sebaiknya kita berpegang pada buku petunjuk yang diberikan dari kampus, entah melaui ketua program studi atau dekan fakultas.

Di kampus kami standar dan modelnya sama untuk dua program studi Filsafat dan Teologi. Standar di sini mencakup peraturan tentang ukuran kertas, panjang kiri-kanan atas-bawah, ukuran huruf, dan sebagainya.

Hal ini kelihatan sepele namun turut berpengaruh dalam keberhasilan dalam menulis skripsi. Ada kisah menarik dari kakak kelas saya dulu. Seorang dosen penguji menanyakan alasan mengapa tidak dicantumkan tujuan penulisan skripsi sebagai persyaratan mencapai gelar sarjana. Syarat itu tertera dalam buku petunjuk dari kampus. Gara-gara itu nilai ujian skripsi berkurang.

Jadi, dalam menulis skripsi perlu diperhatikan hal kecil semacam ini. Petunjuk itu berguna bagi kita demi kelancaran penulisan skripsi sekaligus menjadi momok yang mematikan jika kita melanggarnya. Bayangkan jika kita tidak berhasil gara-gara melanggar peraturan dalam buku petunjuk itu? Bagian berikutnya, kita akan melihat bagaimana membaca buku skripsi. Salam, 26/3/2012 Gordi Afri.***

Menulis Skripsi (3)



Powered by Blogger.